Seperti pada kisah seorang gadis berusia 12 tahun yang saya sebut sebagai A-Yin. Gadis cantik yang sabar ini harus menghidupi dirinya sendiri sebagai pemulung dan belas kasihan, karena kedua orangtuanya telah meninggal.Â
Oleh sebab itu, tidak jarang anak-anak muda yang sempat mengenyam pendidikan hingga level SMA/SMK, pergi meninggalkan kota ini dan merantau ke kota sekitar, seperti Pontianak, dan bekerja sebagai pegawai toko.
Kehidupan yang keras juga menimbulkan perilaku tak bertanggung jawab. Sebagaimana dalam kisah dua bocah lelaki berusia 8 dan 10 tahun, yang saya namakan A-Tong dan A-Teng.
Tiada bedanya dengan A-Yin, kedua bocah ini hidup sebatang kara di pondoknya yang sederhana, karena ayahnya minggat entah kemana, meninggalkan anaknya berdua dengan ibunya yang sedang sakit parah.
Benang Kusut Permasalahan.
Keadaan ekonomi yang miris ditambah dengan pengaruh pendidikan yang rendah, membuat para keluarga di Singkawang hidup dengan tetap terikat kepada nilai-nilai tradisi yang sudah tidak relevan lagi.
Prinsip seperti anak gadis tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan hanya terlahirkan menjadi istri yang beranak dan melayani suami, membuat para gadis singkawang semakin tidak memiliki pilihan.
Tidak Semua Berakhir Buruk.
Stigma negatif dari para Amoy yang setelah menikah, bagai koin yang dilempar, membuat sikap nyinyir bagi siapapun yang mendengarkannya. Namun, tidak semua juga memiliki cerita yang buruk.
Messy, kakak Frans termasuk salah satu diantaranya. Ia mengenal suaminya, seorang warga negara Taiwan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pada saat itu, ayahnya yang aktif sebagai pengurus keluarga Hakka Kalimantan Barat, mendapatkan tawaran dari sejawatnya di Taiwan.
Ibu dari sang suami yang kebetulan masih memiliki darah Singkawang, sangat menginginkan seorang menantu dari kota yang sama. Alhasil melalui Yayasan, perjodohan terjadi, dan hidup bahagia pun dijalani.