Selama 13 tahun menjadi pemain, yang paling ia banggakan adalah Ramang yang legendaris.  Kewibawaan dan kehebatan bermain bola Ramang yang ditakuti oleh pemain lawan di seluruh negeri ini jelas sangat menaikkan moral para pemain.  Â
Keng Wie masih ingat satu pertandingan yang ia lakoni bersama Ramang, di tahun 1965. Dalam pertandingan final di Jakarta, PSM berhadapan dengan Persebaya Surabaya.Â
Di babak pertama, PSM ketinggalan 1-2 atas kesebelasan dari Kota Pahlawan itu. Beberapa tembakan Ramang di babak pertama berhasil ditahan penjaga gawang lawan, Djauhari.
Begitu memasuki babak kedua, Ramang main habis-habisan. Dia seolah 'mengamuk' atas ketinggalan timnya menjaringkan bola ke jala lawan. Dia langsung mencetak dua gol di babak kedua, menjungkalkan Persebaya, menghapus impian kesebelasan Jawa Timur itu sebagai juara. Kedudukan akhir 3-2 untuk PSM.
"Ramang tidak ada duanya. Bersama dia, PSM meraih juara terakhir dua tahun berturut-turut, 1965, 1966. Pada tahun 1966, di final PSM melindas Persib Bandung yang gawangnya dijaga Yus Etek yang jangkung dengan angka 2-0. Gawang PSM ketika itu dijaga Husain."
Di mata Keng Wie, Ramang bisa menendang bola dari segala posisi. Namun yang sangat berbahaya adalah kaki kanannya. Mencetak gol dengan salto, termasuk yang sering dipertontonkan kepada publik sepakbola setiap dia memiliki peluang.
Sama halnya dengan ketika dia mencetak dua gol untuk kemenangan PSSIÂ atas tim dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT)Â di Gelora Bung Karno. Salah satu gol yang dia ciptakan itu dihasilkan melalui tendangan jungkir balik, salto.
"Ramang bisa menembak sambil lari. Larinya kencang. Dia sebenarnya kurang piawai menggoreng bola. Tidak terlalu mahir,''Â sebut Keng Wie.
Hanya saja, ayah enam anak dan kakek dari 10 cucu ini mengakui, yang paling hebat dari Ramang adalah ketika mengesekusi tendangan penalti. "Dia membelakangi bola. Namun begitu balik dia langsung menendang. Kebanyakan bola masuk di pojok gawang lawan."
Jika sedang bertanding, tidak seperti zaman sekarang, pemain saling teriak minta bola dan sebagainya. Dulu, kata Keng Wie, para pemain hanya saling mengingati saja. "Ehh. Lihat di belakangmu. Asal teman mendengar,''Â katanya.