Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keruh KPK di Periode Dua Jokowi dan Kontroversi Firli Bahuri

27 September 2020   20:01 Diperbarui: 28 September 2020   09:06 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pict-a.sindonews.net

Tidak mencuatnya prestasi KPK dalam sejumlah identifikasi masalah korupsi saat ini membuat publik merasa bahwa lembaga KPK sudah mati suri sejak ditinggal oleh Antasari Azhar, Abraham Samad, dan Novel Baswedan.

KPK atau (Komisi Pembrantasan Korupsi) saat ini, mungkin benar bukanlah KPK yang dulu masyarakat kenal dengan kegaranganya dalam mencari fakta dan idenitiviasi masalah korupsi.

Dimana keberanian pemimpin KPK yang selalu menjadi kontroversi dan tumbal politik saat akan mengidenfifikasi kasus korupsi jika tidak pandang bulu siapapun itu. Mungkinkah alasan menjadi "tumbal" tersebut menjadi dasar pengecutnya KPK saat ini?

Sebut saja keberanian Antasari Ashar atau Abraham Samad sampai mereka mendekam di penjara dalam menangani kebernaran kasus korupsi. Atau mungkin Novel Baswedan yang disiram air keras sehingga membuat matanya sendiri cacad.

Mungkinkah ada ketakutan tersendiri pimpinan KPK dalam menidentivikasi masalah korupsi melibatkan pembesar negri ini era pemerintahan ke dua periode Jokowi?

Mundurnya Juru Bicara KPK  Febri Diansyah tentu menjadi pertanyaan publik mengingat dirinya mengaku bahwa semangat lembaga anti korupsi KPK telah luntur saat ini.

Munginkah jika memang iklim kerja KPK baik dan tidak mengiris nurani, apakah mungkin jabatan se-mentereng jubir KPK akan dilepas oleh Febri Diansyah?

Secara psikologi kerja sendiri jika memang tidak ada suatu gejala amoral dalam menjalani kerja tersebut. Ditambah kemapanan ekonomi dari kerja itu sendiri menjawab kebutuhan hidup seseorang, saya kira akan setengah mati orang akan mempertahankan pekerjaanya.

Mungkin dapat dianalogikan sebagai buruh yang gajinya sebatas UMR, yang hanya cukup untuk makan dan kehidupan sehari-hari lainnya, bukankah nyatanya ia akan bela terus kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhannya?

Saya kira dengan kasus mundurnya Febri Diansyah,  saya sepakat dengan analisa ICW atau Indonesia Corruption Watch (ICW) memahami keputusan mundurnya Febri Diansyah dari KPK yang dinilai kondisi KPK memang tidak seperti dulu.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut dahulu KPK banyak menuai prestasi. Namun muncul kontroversi-kontroversi sejak KPK dipimpin Firli Bahuri.

Dimana kontroversi tersebut mencerminkan KPK yang sudah tidak anti korupsi dengan gaya hidup mewah yang dilakukan oleh pimpinan KPK  Firli Bahuri.

Salah satu kontroversi Firli Bahuri yaitu menggunakan alat transportasi mewah "helicopter" yang harganya hampir Rp 50 miliar.

Karena kotroversi itu, ada indikasi pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli Bahuri  sebagai pimpinan KPK. Bermula dari aduan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).

"MAKI menyebut Firli diduga melanggar etik karena menggunakan helikopter mewah saat kunjungan ke Baturaja di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan".

Saya sendiri menilai memang tidak pantas jika semangat anti korupsi ditegakan, tetapi pelaku dari peran anti korupsi itu seperti pimpinan KPK menerapkan hidup mewah yang dekat dengan potensi korupsi.

ICW juga menilai persoalan revisi UU KPK sangat berpengaruh pada kinerja KPK saat ini yang dilemahkan sebagai institusi penegak kasus korupsi di Indoenesia. Menurut ICW revisi UU KPK telah berhasil meluluhlantakkan kewenangan lembaga antikorupsi itu.

Kurnia Ramadan juga membeberkan analisanya tentang KPK kini. Menurutnya: "jika saja orang yang terbukti melanggar kode etik "Firli Bahuri" tidak terpilih menjadi Pimpinan KPK dan UU KPK lama masih berlaku, sudah pasti tidak akan ada pegawai KPK yang mengundurkan diri".

Penilaian salah satu peneliti ICW juga diyakinkan dengan pernyataan Febri Diansyah jubir  KPK yang memilih mengundurkan diri karena kondisi KPK saat ini memang telah berubah. Tapi Febri Diansyah tetap menghormati pilihan teman-teman yang bertahan ataupun selesai duluan.

Dengan berbagai masalah yang ada di tubuh KPK serta kerja yang tidak kunjung berprestasi mengungkap korupsi di negri ini. Oleh karena itu menurut saya, KPK harus dijaga dengan lebih kuat oleh pemerintah, baik dari dalam ataupun luar organisasi KPK sebagai Lembaga anti korupsi tersebut supaya lembaga itu kembali efektif.

Diketahui selain Febri yang mengundurkan diri, rupanya sudah ada 37 pegawai KPK lainnya mundur dari lembaga antikorupsi itu dalam setahun ini.

"Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango merinci 37 pegawai yang mengundurkan diri dari KPK. Menurut catatan Nawawi, sebanyak 29 pegawai tetap dan 8 pegawai tidak tetap mundur sejak awal tahun".

Menjadi pertanyaan kita bersama, apakah memang benar KPK semakin dilemahkan oleh pemerintahan periode dua Jokowi?

Bukankah dengan banyaknya anggaran yang keluar dari kantong negra penanganan covid-19 butuh pengawasan dan kasus-kasus lain yang terus harus ditangani KPK dalam memberantas korupsi?

Secara realistis bukankah KPK butuh dikuatkan lagi dari sisi lembaga maupun kompetensi pimpinan KPK untuk terus dapat menuai prestasi sebagai lembaga anti korupsi di Indonesia?

Jelas semakin minimnya prestasi KPK saat ini membuat KPK sebagai lembaga anti korupsi semakin tidak dipercaya lagi oleh masyarakat di masa kedua periode pemerintahan Jokowi ini.

Mungkinkah KPK dilemahkan untuk melancarkan tindak korupsi di tubuh pemerintahan periode kedua Jokowi, dimana periode ini adalah periode terakhir pemerintahannya?

Yang jelas politik adalah kepentingan siapa yang berkuasa. Bukan tidak mungkin periode kedua yang sudah tidak akan menjabat lagi dijadikan acang-ancang persiapan masuk periode pensiun, memanfaatkan kemapanan sebagai pejabat pemerintahan untuk melakukan praktik korupsi.

Tentu tidak lain untuk bekal pensiun nanti setelah tidak menjabat. Dapat juga korupsi dijadikan bekal mengikuti kontestasi politik tahun 2024. 

Apapun peran yang saat ini dilakukan sebagai profesi yang bergabung dalam jajaran pemerintah Jokowi periode 2019-2024.

Bukankah kepentingan "bekal" sudah biasa dalam politik? Dimana yang menjadi mentri saat ini juga pasti punya peran dalam mensukseskan terpilihnya Jokowi dulu? Yang juga tetap berpikir bagaimana kepentinganya nanti setelah tidak menjabat di lingkaran kekuasaaan? 

Disebut oleh Mafud MD bahwa cukong politik itu pasti ada dalam pemilu termasuk pemilihan presiden. 

Mungkinkah yang berperan dalam politik kekuasaan saat ini dengan memperlemah KPK untuk menuju pada persiapan proyek kekuasaan 2024 nanti?

Dengan mudurnya juru bicara KPK Febri Diansyah, lalu pelemahan UU KPK sendiri pasti semakin memperburuk kepercayaan masyarakat pada institusi pemberantasan koruspi "KPK".

Maka dari itu sosok-sosok seperti Antasari Ashar yang berani, bahakan saat dirinya di fitnah dijebloskan ke penjara. Sangat diperlukan dalam memperbaiki citra seriusnya pimpinan KPK sebagai lembaga anti korupsi.

Untuk itu Antasari Ashar selalu di isukan menjadi dewan pengawas KPK ditahun 2019 lalu. Tanda bahwa ia benar masih dipercaya oleh masyarakat. Namun Antasari sendiri mengkonfirmasi bahwa dirinya tidak bisa.

Ada pasal yang membuat  Antasari Azhar tidak bisa menjadi dewas KPK yakni pernah dipenjara melebihi lima tahun dalam kasus keterlibatan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen pada 2009.

Saat dibebaskan dari penjara, Antasari Azhar mengaku dipenjara bukan perbuatan seperti didakwakan (pembunuhan berencana), melainkan pengadilan memintanya untuk menjalani hukuman karena membuat kegaduhan".

Maka dari itu semakin keruhnya KPK dengan berbagai kontroversi pimpinan KPK dan banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri di mata masyarakat. 

Saya sepakat dengan apa yang disarankan oleh matan ketua KPK Antasari Azhar yakni memperkuat undang-undang KPK sebagai lembaga anti korupsi.

Memang undang-undang seperti apapun jika orang yang ada didalam KPK sendiri tidak menjaga integritas, saya kira juga tidak ada bedanya.

Untuk itu sebagai langkah trasformasi baru KPK bila ingin dipercaya lagi oleh masyarakat buat UU memperkuat KPK dan pilih orang-orang yang ada di KPK yang mempunyai integritas tinggi pada semangat anti korupsi.

Jika memang pemerintah Jokowi tidak melakukan kedua transformasi itu sebagai pihak yang mendukung kasus korupsi yang ada di Indonesia sebagai kejahatan yang luar biasa.

Berarti secara tidak langsung pemerintah juga menginginkan semakin keruhnya lembaga anti korupsi, tiang harapan masyarakat Indonesia untuk negara bebas dari korupsi. Maka sejarah akan mencatat KPK keruh dimasa periode kedua pemerintahan Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun