Ramai-ramai pegawai pemerintahan arogan dari DPRD hingga TNI
"Kata seorang agamawan yang sering saya dengarkan ceramahnya saat bulan ramadhan tiba. Jabatan hanya titipan Tuhan, jika Tuhan sudah tidak berkehendak sirnalah jabatanmu tersebut di dunia".
Saya katakan kata-kata diatas adalah kata pemanis untuk membuka tabir-tabir mengapa arogansi pegawai-pegawai Negara saat ini sangat merejalala.
Entah apa lagi nama fenomena ini. Saya karena bukan pegawai Negara, hanya rakyat sipil biasa, penasaran dengan fenomena akhir-akhir ini yang kerap terjadi: "arogansi membabi buta berujung pada kekerasan".
Mungkin kata pemanis diatas karena saya bukanlah seorang agamawan, jika memang Anda ingin mengkajinya lebih dalam lagi silahkan.
Carilah agamawan yang benar-benar agamawan, tidak dumeh karena ia mengerti agama saja lalu seakan-akan dirinya paling tahu.
Saya tidak mau seperti itu. Kenyataanya dengan kata-kata manis tentang jabatan di dunia. Saya hanya mengutip agamawan-agamawa yang popular disana.
Karena sesekali juga diera media social saat ini. Banyak mengutip kata-kata tersebut sebagai meme atau sebagai kata-kata bijak teman-teman saya di media social mereka.
"Jabatan, uang, dan kemewahan tidak di bawa mati. Saya yakin Anda sebagai pendengar dan pengamat seperti saya terbiasa mendengar dan membaca tulisan tersebut".
Untuk membawa pada narasi coretan-coretan saya ini membahas ramai-ramai "arogansi" yang dilakukan oleh pegawai Negara.
Saya yang sebelumnya singgung kata-kata" ojo dumeh". Benar, jika Anda orang jawa, sudah pasti tidak akan saya jelaskan lagi.
Tetapi di dalam pembaca membaca tulisan saya, bukan saja orang Jawa, ada saudara sebangsa Indonesia yang mengakses blog saya ini.
Ditambah dengan kompasiana, dimana media sosialnya seperti di instagram dan facebook mengakui bahwa; kompasiana adalah paltfrom citizen journalism terbesar di Asia Tenggara.
Saya mungkin tidak kaget seperti Pasar Tanah Abang sebagai pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Atau dengan Masjid Istiqlal Jakarta juga yang juga sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara.
Memang tanpa memandang arogan dan sebagainya. Secara automatis dengan penduduk yang besar, membuat sesuatunya juga pasti besar karena kembali pada kebutuhan penduduk.
Kompasiana platform terbesar citizen journalism adalah biasa. Masjid istiqlal terbesar pun biasa, apalagi Pasar Tanah Abang jelas biasa sebagai pasar.
Yang penting menangapi segala sesuatunya: "ojo dumeh". Nama besar atau apapun yang disandang, istilahnya diatas langit masih ada langit. Jangan mentang-mentang. Jika dipikir semua biasa-biasa aja.
Arogansi yakni dumeh: (mentang-metang)
Tepat "ojo" berarti jangan. Dumeh berarti "mentang-mentang". Merupakan kata yang yang akrab ditelinga kita orang indonesia.
Dumeh sendiri popular karena penduduk Jawa sediri banyak, apa lagi tersebar di Indonesia karena faktor transmigrasi.
Jadi tidak usah membangga-banggkan bahasa Jawa, meski kenyataanya harus dipakai supaya bahasa Jawa tidak hilang.
Tetapi ini pun berlaku pada daerah-daerah lainnya supaya melestarikan bahasa daerah masing-masing. Apa jadinya ketika bahasa tidak lestari? Mungkin besok tidak ada sebutan orang Jawa, Sunda, atau Batak dan Papua. Semua sama Indonesia.
Bukankah jika mentang-mentang Indonesia, kemajemukan itu berbeda-beda tetap satu jua atau perbedaan yang menyatukan kita, dapat hilang ditelan begitu saja sebagai semboyan persatuan indoensia?
Maka dari itu bahasa juga seharusnya dipakai yang biasa-biasa saja. Jangan menuruti trend dan sebagainya. Nanti kita dapat terasing di dalam lingkungan kita sendiri. Dari mana asal diri kita tetapi kita tidak tahu.Â
Inilah juga yang menjadi pertanyaan saya, apakah dengan mereka yang saat ini menjadi pegawai Negara sudah tidak tahu mereka asalanya dari mana dan akan kemana?
Argogansi dan kekerasan saat ini yang semakin merajalela. Sedikit banyaknya karena faktor membawa nama Negara dari jabatan sebagai DPRD hingga anggota TNI.
Saya kira semua mentang-mentang membawa nama Negara dengan berbagai kasusnya akhir-akhir ini yang mencengangkan.
DPRD tidak membawa masker ditegur di oleh petugas Bandara di Banggai melakukan penganiyaan. Juga dengan aparatur Negara TNI dan Polisi sedikit banyaknya juga berkonflik membawa nama atribut tertentu , dimana ejekan saja menjadi dasar mereka berkonfilk adu superioritas dihadapan nama Negara.
Fenomena pegawai Negara aroganÂ
Mengapa arogan itu sendiri multi tafsir. Tetapi dengan sesuatunya dimana faktor manusia menjadi dasar dari kelakuan-kelakuan mereka. Sesuatu jika memang ditentukan pendapatnya mengapa seperti itu "arogan" saya kira dapat dan mudah ditebak.
Saat ini adalah saat dimana semua orang berlomba-lomba menjadi pegawai Negara. Ada kebanggan yang sangat sensasional jika menjadi pegawai Negara. Bukan apa strata yang tinggi sebagai pegawai Negara saat ini dalam struktur masyarakat membuat mereka sangatlah mentang-mentang.
Bukan apa gaji yang lumayan dibanding pegawai-pegawai lainnya, jaminan pensiun yang mereka dapat, serta sragam yang mereka kenakan menjadi ukuran dimana mereka patut saja merasa tinggi bila dibandingan dengan manusia lainnya.
Memang tidak semua pegawai Negara seperti itu. Tetapi hari ini memungkinkan menjadi pegawai Negara arogan dan mentang-mentang karena untuk menjadi pegawai Negara kini sangat-sangat esklusif. Dimana kompetisi menjadi dasar bagaimana mereka melangkah menjadi pegawai Negara.
Itulah mengapa cikal dari bakalanya mentang-mentang atau arogansi itu ada. Sebab kompetisi dalam menjadi pegawai Negara saat ini dicari dengan kecerdasan. Sehingga membuat dan merasa orang yang paling cerdas dalam menjadi manusia yang terpilih diantara banyak orang.
Disamping itu juga menjadi pegawai Negara karena modal. Bukan apa untuk menjadi polisi ataupun TNI sendiri, nyatanya praktik-praktik suap itu  sudah menjadi rahasia public. Dimana untuk menjadi angota dua satuan tertentu nilainya bisa ratusan juta rupiah untuk biaya.
Belum dengan para politikus yang saat ini menjadi pegawai jabatan public seperti dewan perwakilan rakyat (DPR). Untuk kampanye, dan membeli suara rakyat, berapa modal yang mereka keluarkan?
Maka ramai-ramai arogan itu sendiri saat ini adalah wajar dan biasa karena memang fenomenanya sendiri mengarah kesana. Walapun semua ukuran untuk arogan dan mentang-mentang sendiri kemabli pada faktor manusia.
Tetapi sudahkah adab menjadi manusia itu sendiri diterapkan semua orang termasuk pegawai Negara itu sendiri yang membawa nama Negara? Dimana Negara sendiri keberadaannya adalah untuk mengayomi semuanya, segenap warga negara yang ada? Inilah yang rancu itu mungkin orang-orang belum mampu memikul jabatan yang tetap rendah hati dan merakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H