Tetapi di dalam pembaca membaca tulisan saya, bukan saja orang Jawa, ada saudara sebangsa Indonesia yang mengakses blog saya ini.
Ditambah dengan kompasiana, dimana media sosialnya seperti di instagram dan facebook mengakui bahwa; kompasiana adalah paltfrom citizen journalism terbesar di Asia Tenggara.
Saya mungkin tidak kaget seperti Pasar Tanah Abang sebagai pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara. Atau dengan Masjid Istiqlal Jakarta juga yang juga sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara.
Memang tanpa memandang arogan dan sebagainya. Secara automatis dengan penduduk yang besar, membuat sesuatunya juga pasti besar karena kembali pada kebutuhan penduduk.
Kompasiana platform terbesar citizen journalism adalah biasa. Masjid istiqlal terbesar pun biasa, apalagi Pasar Tanah Abang jelas biasa sebagai pasar.
Yang penting menangapi segala sesuatunya: "ojo dumeh". Nama besar atau apapun yang disandang, istilahnya diatas langit masih ada langit. Jangan mentang-mentang. Jika dipikir semua biasa-biasa aja.
Arogansi yakni dumeh: (mentang-metang)
Tepat "ojo" berarti jangan. Dumeh berarti "mentang-mentang". Merupakan kata yang yang akrab ditelinga kita orang indonesia.
Dumeh sendiri popular karena penduduk Jawa sediri banyak, apa lagi tersebar di Indonesia karena faktor transmigrasi.
Jadi tidak usah membangga-banggkan bahasa Jawa, meski kenyataanya harus dipakai supaya bahasa Jawa tidak hilang.
Tetapi ini pun berlaku pada daerah-daerah lainnya supaya melestarikan bahasa daerah masing-masing. Apa jadinya ketika bahasa tidak lestari? Mungkin besok tidak ada sebutan orang Jawa, Sunda, atau Batak dan Papua. Semua sama Indonesia.