Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Subsidi: yang Ada Hanya Kontradiksi?

16 Agustus 2020   13:15 Diperbarui: 23 Agustus 2020   00:11 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja apapun suatu bentuk kebaruan dari cara hidup didalamnya pasti akan terselip apa yang dinamakan pro dan kontra.

Sebab hidup baru "new normal" oleh masyarakat kita, saya sebut sebagai perdebatan itu--- tidak ada beda dari tawar menawar seperti harga dipasar yang naik turun sebagai untung dan rugi masyarakat.

Tetapi hal yang sudah menjadi budaya baru. Lama-lama setelah dijalankan itu pun pasti sudah tidak ada pro kontra lagi. Semua patuh seperti telah menjadi kebiasaan baru masyarakat yang tidak disadari.

Termasuk dimasa pandemi covid-19 ini menerapkan new normal atau "normal baru" sebagai bagian dari kebudayaan baru kita:" masyarakat Indonesia yang dilanda pandemi covid-19".

"Dimana cara hidup yang termuat tentu baru: "membudayakan gaya hidup sehat serta meminimalisir kerumunan adalah dasar dari diberlakukannya normal baru. 

Aktivitas minimalis kegiatan masyarakat dimasa pandemi covid-19 yang fungsinya memutus penyebaran virus covid-19".

Tidak dipungkiri konsekwensi yang terjadi akibat pandemi covid-19 di masyarakat dampaknya memang memprihatinkan. 

Saya tidak menampik keprihatianan itu dengan "saya" juga menerima konsekwesi adanya covid-19 ini berdampak pada ekonomi membawa saya sebagai pengangguran baru.  

Banyak pabrik-pabrik yang tidak berproduksi, perusahaan melakukan efisiensi pegawai, dan banyak Negara hutang sana-sini untuk pemulihan ekonomi, termasuk Indonesia sendiri yang hutangnya sudah mencapai ribuan trilyun.

Menjadi polemik jika yang terdampak atau tidak terdampak ekonominya karena covid-19 dipukul timpang diberikan bantuan atau apapun bentuknya semisal dalam bentuk subsidi pemerintah. 

Polemik di masyarakat tersebut adalah merasa tidak dapat bantuan atau kurang mendapat bantuan di kalangan masyarakat menjadi perdebatan yang umum.

Maka dari itu pro kontra subsidi kesemuanya adalah untung dan rugi masyarakat yang menerimanya dan tidak menerimanya. 

Sebab tidak ada bantuan yang benar-benar tepat sasaran karena kesemuanya mendambakan adanya bantuan tanpa berpikir bagaimana nasib yang akan memberi bantuan tersebut yakni negara.

Seperti telah menjadi wacana debat yang pelik. Apakah pelajaran jarak jauh (PPJ) tidak ada masalah jika tanpa subsidi pulsa? 

Kenyataannya semua mendukung untuk diberikan juga subsidi pulsa tersebut mengingat yang lain selain pelajar juga dapat bantuan covid-19.

Padahal dengan siswa yang tetap dirumah tidak sekolah, orang tua yang tidak mengeluarkan ongkos kendaraan, jajan, serta yang lain-lainnya juga dapat mengganti pulsa kuota dengan tidak adanya pengeluaran tersebut untuk anak sekolah.

Tetapi nyatanya semua berdasar atas nama pro kontra, dapat atau tidak dapat, yang lain dapat ia sendiri tidak dapat.

Begitu juga dengan subsidi listrik--- juga mengandung suatu masalah baru yang sampai saat ini masih berlaku subsidinya.

Pelanggan listrik diatas 900 watt mengeluhkan tagihan listriknya yang bertambah semakin banyak tanpa disadari saat masa pendemi covid-19.

Membuat mereka juga protes dirugikan dengan adanya subsidi untuk tingkat ekonomi dibawahnya yang ukuran tarif listriknya tingkat bawah. 

Mereka pun berpandangan subsidi listik dari Negara--- mereka ikut serta mensubsidi membantu Negara untuk kelas-kelas pelanggan listrik dibawanya. Padahal mereka juga sama terdampak covid-19, tidak ada bedanya dengan masyarakat bawah.  

Atau dengan para pegawai gaji dibawah 5 jutayang justru masih bekerja malah mendapat subsidi gaji. Sedangkan pengangguran belum tentu mendapatkannya. 

Karena tidak aktifnya BPJS ketenaga kerjaan yang syratnya harus tetap aktif disetorkan rutin oleh perusahaan untuk medapat bantuan subsidi pemerintah untuk kaaryaawan. 

Inipun menjadi polemik seharusnya pengangguran terkena PHK mendapat bantuan subsidi untuk menjaga daya beli ekonomi mereka tetapi ini kemungkinan tidak.

"Sampai-sampai kesemuanya apapun yang berbentuk subsidi covid-19 di media, selalu menjadi topic pembahasan utama berserta subsidi yang akan dibagi-bagikannya---termuat pro-kontra dan untung-rugi siapa-siapanya yang mendapat dan tidak mendapatkannya".

Tetapi seperti judul yang termuat dalam artikel saya ini--- apapun bentuk subsidi negara kesemuanya antara pro-kontra, untung- rugi, dan negara ujung- ujungnya pasti negara hutang menambal berbagai subsidi itu untuk masyarakat atau pegawainya.

Sebab tidak hanya masyarakat diluar pegawai negri yang meminta bantuan, didalam tubuh pegawai Negara "negri" juga tidak mau ketinggalan cepat-cepat diberi layaknya bantuan dengan nama gaji ke-13 dan sebagainya, atau yang lain--- yang mungkin masyarakat awan tidak mengetahui.

Tetapi dengan segenap masyarakat umum siapapun pegawai negrai atau bukan, yang penting mereka dapat uang, dapat bantuan, tidak pernah peduli Negara uang hasil hutang. 

Disaat hutang negara sudah menumpuk banyak, disitulah masyarakat kebakaran jenggot memepertanyakan hutang.

Berpendapat: "pasti uang Negara dikorupsi oleh pejabat Negara. Padahal nyatanya juga untuk program masyarakat yang uangnya dapat disunat itulah potensi korupsi mereka pejabat negara. 

Sebab nyatanya dari berbagai media masa disebutkan berita yang fenomenal terkait dengan covid-19 ini lahan untuk menghabur-hamburkan anggran".

Pemerintah melalui dinas apapun saat ini jor-joran anggaran yang dialokasikan penanganan covid-19, pemulihan ekonomi, dan bebasnya hutang kepada Negara lain atau bank dunia untuk terus berhutang, yang katanya akibat krisis pandemi covid-19 semua Negara merasakannya.

Bahkan pendapat yang sampai pada masyarakat, yang penyakit apapun saat ini dan mati selalu saja dikaitkan dan digosipkan dengan positif covid-19. 

Petugas kesehatan banyak yang melakukan salah pendapat  tidak terinfeksi covid-19 dikatakan terinfesksi yang akhirnya bisnis mereka semakin maju seperti rapid test atau swab, yang dijadikan lahan berbisnis baru orang-orang kesehatan.

Belum dengan polah-polah masyarakat, media, dan pemerintahan dengan alibi covid-19 yang justru menambah keadaan semakin kacau dan pelik simpang-siurnya ketidak jelasan informasi. Bahkan bantuan sendiri yang cenderung asal membantu tidak benar dikonfirmasi layak atau tidaknya.

Jika di desa saya, mungkin juga di desa lainnya, atau di kota. Saat ada bantuan pemerintah semua mengaku miskin.

Bahkan di desa saya tanah luas, tidak jarang juga mendapat bantuan pemerintah di masa pandemi covid 19, walapun dengan pro-kontra nada miring masyarakat dikaitkan kerabat perangkat desa atau pejabat RT setempat.

Memang rupa-rupa fenomena covid-19 dari kesehatan untuk bisnis, bantuan "subsidi" juga untuk bisnis, serta apa-apa kegiatan juga untuk bisnis, baik dikalangan masyarakat maupuan pemerintahan.

Sepertinya apapun dibalik pro kontra terselip bagaimana caranya dapat untung dan tidak mau rugi--- tidak hanya pejabat pemerintahan, masyarakat pun sama semua mengaku butuh dibantu. 

Dan pada kenyataannya Negara hancur lebur selamanya akan terus terlilit hutang ketika kesemuanya meminta bantuan kepada negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun