Kesunyian ini membuat aku ingin berpuitis ria. Aku sedikit agak cemas, aku cemas menunggu kenyataan dari setiap gagasan-gagasanku sendiri. Rasanya aku ingin membangunnya dengan semangat, memberi harapan baru pada kemanusiaan dan juga kehidupan.
Aku memang sendiri bersama setiap gagasan-gagasanku kali ini. Tetapi bukanlah masalah ketika "aku harus berjuang dengan tulisan seorang diri". Mimpiku banyak bahkan itu semua tidak pernah terhitung. Terkadang aku pun bingung, tentang apa yang diharpakan dari waktu. Seakan aku ingin hidup sehidup-hidupnya tanpa beban harapan yang ada.
Kegelisahan ini membuat tidak nyaman rasanya. Seperti biasa aku terkadang tidak nyaman dengan diriku sendiri karena setiap harapan-harapanku yang terkadang terlalu tinggi. Sejenak aku piker, apa yang harus aku perbuat dengan semua ini? Lampu semakin pijar dan malam semakin larut membawa aku pada lamunan-lamunanku.
Disetiap lamunan aku biasa menyadari, tentang apa yang harus aku rekam. Kalau bisa aku rekam semuanya tentang apa yang baik untuk hidupku. Tetapi karena keterbatasan, aku tidak bisa melakukan semua itu. Hanya ada garis bawah bahwa; "aku tidak boleh menjadi pengikut yang kehilangan dirinya sendiri".
Malam ini aku akan mencoba menyadari bahwa hidup sebagai seorang pengikut sangat menghawatirkan. Mereka seperti tidak punya deskripsi tujuan yang pasti. Konsep hidupnya hilang direduksi orang-orang yang ada disekitarnya yang mereka ikuti.
Hay, malam cobalah katakan padaku sekali lagi, jadilah aku kuat, menggengam untuk tidak kehilangan diriku sekali waktu saja. Mencoba dan mencoba menggali diriku sendiri agar ia kuat dan semakin kuat. Malam yang bertepi, aku ingin kau menjadi saksi atas hidupku yang ingin bebas ini.
Saat ini dan waktu dihari depan, aku tidak ingin peduli dengan kata-kata apapun dan dari manapun. Mungkin menjadi muda, liar dan bebas bukanlah masalah. Namun menjadi masalah ketika "harus membawa diri kemana tidak dapat mendeskripsikannya".
Adakalanya mengenal diri harus dibayar mahal dengan suatu rasa, entah pahit atau berbahagia. Malamku berkata jangan pernah kehilangan dirimu sendiri dari genggaman'mu. Titik kuat dan lemahmu ada pada dirimu sendiri. Ketika ia hilang kau pun hilang ditelan gelombang kehidupan.
Romansa kehidupan ini membuat aku ingin bertanya, mengapa selalu ada romansa dalam hidup yang dijalani ini? Seaakan diriku terbangun dengan berharap-harap dan terus berharap.
Begitupun tidurku selalu membayangkan hal indah disetiap akan tertidurnya. Kini aku sadar tak sekalipun waktu aku terlepas dari romansanya hidup yang berwarna-warni, meskipun tetap dihantui dengan keputusasaan tidak bisa ditolak keberadaannya.
Terbangun dari tidur ini, kurasa aku ini sibebal yang tetap akan bebal. Hatiku ini keras bagi batu, apa lagi dihadapkan dengan cinta "semakin keras dan mengeras". Aku kira karena kerasnya hatiku, ia tidak akan jatuh seperti beberapa tahun kemarin.
Memang tidak bisa disangka hati lelaki, sekeras apapun tetap akan jatuh juga kaerna wanita. Mungkinkah aku tetap menjadi pemalu yang menyiakan kesempatan? Rasanya kali ini adalah yang terbaik, kesempatan datang tanpa diduga meskipun gagasan sebelumnya telah sampai ke sana . Namun lagi-lagi aku adalah sibebal yang tak tahu arahnya. Juga tidak tahu cara mengawalinya.
Romansa ini rasanya sayang untuk dilewatkan, namun dapatkah aku memanfaatkannya? Oh sibebal yang tetap gelisah! Hidupku memang keras, aku mengawalinya sejak dini. Tetapi aku sadar didalam kekerasan akan terkesan kelembutan, bahkan segudang kelemahan-kelemahan yang harus diterima.
Aku lemah dihadapan romansa kehidupan yang penuh dengan derita dan bahagia. Bahkan rasanya aku tidak berpihak pada keduanya. Sendiri merana mengais-ngais belas kasih imajinasi dalam diri. Mau tidak mau, segelas air romansa kehidupan harus aku telan. Membuat sesuatu yang baru haruslah dilakukan. Entah mau bagaimana akhirnya? berani atau tidak berani? gagal atau berhasil? hancur atau terbangun?
Malas, bahkan tidak peduli romansa untuk dimulai. Seakan menjadi kutukan baru dalam hidupku. Terheran-heranya adalah di dalam hatiku pun menginginkan romansa yang indah, bahagia dan penuh harapan.
Setan rasanya ingin aku kutuk masa jayanya dikehidupanku, kau gelap dan selalu menjadi kegelapan. Akan aku tengok matahari untuk memulai yang baru dengan sadar-sesadar-sadarnya demi romansa kehidupanku. Hay, Kau yang terang bersinar lah didalam sianarnu menerangi hatiku. Aku tunggu di persimpangan jalanku menentukan hidupku. Oh, kau yang terang seakan ingin ku tulis dengan pena cinta di kehidupanku.
Aku begitu heran, bahkan di usiaku yang mau mengajak dua puluh lima tahun aku masih tersesat. Malam ini aku merasa tidak melihat bintang kembali. Yang aku lihat adalah gumpalan awan kecil hitam membentuk persegi panjang. Setahuku malam ini aku harus tidur lebih pagi lagi, persetan dengan besok pagi. Tetap saja rutinitasku memanggil kembali seakan tidak pernah selsai.
Terkadang disetiap malam menuju pagi, pertanyaan ini datang. Dimanakah aku akan menentukan masa depanku? Bagaimanakah pelabuhan terbaik untuk ku ? Setiap pertanyaan ini datang menggelisahkan aku tentu saja.
Bulan apakah kau mendengar ku? Kulihat kau mengkilap bagaikan emas permata, akankah kau kapal yang bisa aku tumpangi untuk sama-sama mengarungi hidup ini? Ternyata kembali aku berpikir, apakah bulan juga sama sepertiku sedang gelisah malam ini? Ya ampun kita seperti saudara yang tidak saling mengenali sebelumnya.
Semakin hari rambutku semakin mengeriting, wajahku semakin pucat pasi. Bahkan hampir setiap hari aku mengutuk hari. Dimanakah tempat yang nyaman itu? Tunjukan lah dimana? Jika aku bertanya pada orang-orang apakah jawabnya? Rasanya orang-orang itu bingung juga menjawabnya. Ah, yang tidak bertepi ini dimanakah kebenarannya? Kau sungguh sial yang beruntung.
Aku terlelap di kamarku yang panas. Sesekali menyalakan kipas angin yang agak mengangguk. Tidak nyaman sekali angin ini, aku berhentikan kipas itu dan badanku panas lagi. Apa mau dikata malam pun tak konsisten dengan kesejukannya. Di sebelah terdengar orang sedang mencuci piringnya. Hmm, apa itu juga upaya manusia mengutuk hari? Oh, rasanya kebenaran semakin nyata saja jika seperti itu.
Saat malam hari ini terasa panas, gagasanku seakan hilang sedari kemarin. Hariku adalah sejengkal kerjaku. Mencari uang, membelanjakan barang, dan mengumpulkan uang lagi seperti itu terus.Â
Bahkan untuk menikmati hidup sebagai seorang pengangguran pun masih sedikit agak ragu. Kemanakah bahagia tanpa kerja, kemanakah? Lagi dan lagi aku seperti tertutupi oleh logika ku sendiri yang terhina oleh dunia.
Hah, aku berasa membenci kecerdasan bahkan sangat membenci kebodohan. Sudah tak sanggup lagi aku berkata-kata. Mungkinkah aku harus membenci diriku lebih dalam? Mengapa aku tidak menjadi seorang pengemis kebahagiaan saja? Jika aku mengemis tidak mungkin aku bayar kebahagiaan itu.
Tetapi apa daya aku sungguh tak mampu. Sepertinya aku harus berdamai lagi dengan penderitaan ku sendiri. Sungguh malam yang kelabu, dimana benar?dimana benar? Hanya kesalahan? Hanya kesalahan? Jalan di kegelapan sangatlah terjal bahkan berliku. Namun harus dengan apa aku melihat? Aku hanya merasa tulisanku akan lebih baik dari kemarin. Ketika aku salah mengetik kata per kata, secara otomatis sistem akan membenarkannya. Oh padamulah aku, Hay, "kau yang benar".
Rasanya kebenaran adalah keteraturan yang sebelumnya sudah teratur. Biarlah hidup ini gelap tanpa gagasan, "mungkin saja ini jalan yang benar". Distorsi dan mendistorsi kembali. Angan untuk berjalan kedepan mungkin belum sampai. Jika setiap insan harus merasakan hebatnya gelisah akan kehidupannya mungkin disinilah titik itu berada.
Jangan pernah berkata tidak kuat dan lari dari tanggung jawab, karena kau bisa lari mencari yang baru demi kehidupanmu, dan kau tetap bertanggung jawab terhadap hidupmu. Sudahlah kau merasa kuat? kalau di dalam dirimu itu sangat rapuh? tinggalkan-tinggalkan demi kebaruan demi jalan kebenaran arah hidupmu sendiri.
Sepertinya tidak ada yang benar "membuat bahagia selain menangkap apa yang menjadi issu di dalam diri". Memang sangat jarang orang yang bisa menebak-nebak kegelisahan yang ada didalam dirinya. Kepiluan rasa diri sedikit agak kurang mengenakan tumpuan batin. Tetapi ketika ia direfleksikan terselip sebuah ruang besar tanda tanya yang membuat bahagia.
Sungguh bahagia rasanya mengikuti bintangku sendiri. Aku memang sering terjebak lautan, tetapi ketika ditulis kemudian dibaca logika kembali, "rasanya aku seperti nakhoda kapal berbentuk aku yang paling berbahagia".Â
Rintangan di lautan memang terasa berat, kau harus butuh layar sampai jangkar yang kuat untuk menopang kayu yang membentuk kapalmu. Bahkan kaupun harus mempunyai tali yang besar agar; "kau tidak kehilangan dirimu sendiri terbawa arus badai yang suatu saat ia akan datang".
Memang ketika nakhoda melihat kedepan, karang dibawah adalah misteri. Namun bukankah kau bisa waspada ketika air itu terasa tenang? Ya, jebakan memang tidak pernah memberi tahu. Sepertinya semua orang tidak akan mau terjebak di dalam lautan kesengsaraan. Kini yang terjadi lautan membebaskanmu. Bahkan lautanpun cenderung menjadi dirinya sendiri yang acuh pada setiap fenomena yang ada. Nakhoda ini kecil, yang besar adalah kapalnya, ia butuh dipelihara bahkan crobongnya penuh dengan pemenuhan-pemenuhan yang harus ia dipenuhi.
Adakalanya memang nakhoda akan bingung kemana akan dilayarkan kapalnya. Kompas pun terasa hanya pajangan untuk berjaga-jaga. Ketika bingung, rasakanlah kebingungannya sembari bertanya-tanya pada dirimu sendiri. Badai hanyalah sementara, ombak tinggipun sementara. Matahari tak akan membuatmu sendiri, bulan pun tetap akan hidup bersamamu. Janganlah ragu dalam kesendirianmu. Suatu saat pasti akan ada ikan menghampirimu untuk kau nikmati, bisa saja kau jadikan teman hidup dari pada kau berjalan dengan kesendirian yang memilukan ini.
Usulan yang berbahagia, cerutu akan selalu ada, asapnya bak surga yang menyembuhkan keruwetan samudra. Hiduplah sebagaimana adanya, sesuai apa kehendaknya. Percaya bahwa samudra akan terasa tenang kembali jika ia terus dan terus diarungi. Rawatlah kapalmu, rawatlah seperti kau menjaga rasamu sendiri. Menjaga dan terus terjaga demi melihat matahari bersinar dari timur sana kembali.
Sejauh ini aku masih berkutat pada diriku sendiri. Aku pun ingin tahu apakah hidup ini melalui beberapa fasa untuk melihat sesuatu lebih luas dan menyeluruh? Sepertinya memang betul, "kegalauan sangatlah menyakitan". Ia diam seperti tempurung yang tidak dihinggapi Katak.
Selama hidup aku memang terus menganalisa obyek yang ada didalam diriku. Bahkan untuk melihat keluar pun harus melalui apa yang menjadi pertimbangan dari dalam diriku sendiri. Berjalan, berpikir dan melihat sesuatu selalu berpacu pada pendapatku sendiri dan digunakan untuk aku sendiri.
Entah mengapa sekarang-sekarang ini aku mulai berpikir, apakah salah hidup manusia itu seperti ini? Cenderung pemikir dan dengan cepat memutuskan atas nama hasil analisa diri sendiri tanpa pernah dibuktikan oleh realitas?
Aku sadar cara hidupku memang berbeda dari yang lain. Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak bisa menyesuaikan dengan orang lain? khususnya dengan gaya hidup atau mungikuti trend pergaulan masa kini.
Kalau dalam bergaul mungkin bisa karena bergaul itu membawa keunikan jiwanya sendiri. Rasanya aku seperti si konservatif yang hidup dijaman maju. Dilema ini membuat aku malah terus berpikir dan berpikir lagi. Aku memang sesekali ingin menghentikannya untuk mencoba sesuatu yang lain dari diriku "selain berpikir dan terus berpikir".
"Kelemahan orang berpikir dan memutuskan secara cepat adalah "dia yang akan cepat kehilangan momentum", "tetapi kelebihanya itu ketika momentum itu buruk bagianya", "ia tidak terbawa jauh pada keburukan itu".
Memang sepertinya ini menjengkelkan, mengapa aku tidak bisa seperti mereka yang anteng-anteng saja hidupnya? hidup tanpa berpikir berjalan seadanya? Tanpa berpikir bagiku adalah kemewahan, tetapi anehnya tidak bisa aku dapatkan kebahagiaanku tanpa berpikir. Tanpa berpikir aku seperti kehilangan diriku sendiri, karena hanya mengikuti apa wajarnya hidup ini, bagiku ini sebagai ketidakwajaran itu sendiri.
Mungkin jiwaku memang jiwa pemikir, aku merasa terkesan ketika aku melihat sudut pandang baru dalam hidup ini. Tetapi aku sadar, sangat langkanya jiwa pemikir itu, sangat sulit aku menemukan kecocokan dengan jiwa-jiwa yang lain. Bahkan dengan sesuatu yang aku nanti yaitu cinta.
Hidup sebagai seorang pemikir memang berat, maka dari itu biarkan yang berpikir saja yang mikir. Prinsip ber-ideologi tidak selalu benar, keyakinanpun menjadi hal yang paling rancu untuk terus dijalani. Sepertinya kebenaran realistis adalah pendapat yang paling rasional untuk di iyakan saja tanpa bertanya kembali.
Menjadi sosial bukanlah menjadi diri sendiri yang idealis, bahkan kau harus terjatuh diatas orang-orang yang sedang berlari. Kehidupan sosial adalah kehidupan yang kompleks, lambat laun manusia harus menyadari itu. Ketika kau satu warna, kau harus bisa menjadi warna lain dalam suatu kehidupan yang lain.
Perbedaan adalah hal yang biasa, ketika berada dalam lingkungan sadar perbedaan. Tetapi apakah suatu posisi yang nyaman akan terus ditimpangi untuk terasa lebih nyaman lagi? Sepertinya itu tidak akan terjadi. Arah bukanlah bunga, adakalanya bunga-bunga itu mengejek untuk satu warna dengannya. Memang tidak akan ada kata lain selain menjadi personal "yang flexible". Tentunya ini sangat dibutuhkan untuk menjalani hidup ini.
Dunia adalah tempat yang sangat menilai perbedaan. Kau berbeda dan kau harus diseragamkan, itulah yang terjadi. Yang sadar sendiri memang tidak akan menjadi bebal, menyembah rasa terkadang memang sulit untuk dijalani, tetapi tanpa kepekaan rasa, "kitalah orang yang tidak umum berada disini". Sedikit-sedikit haruslah melebur bersama yang berbeda itu, meskipun tidak sama, namun sedikit harus ada jengkal untuk bisa sama untuk menjadi toleran.
Kepekaan rasa yang terlatih menjadikan seutuhnya diri manusia, sikap melebur, merendah, bahkan menjunjung untuk terus sepadan. Realita sepertinya tidak mengajarkan idealisme yang seterusnya akan dijunjung. Adakalanya ia harus lunak, bahkan melunak untuk bersosial dengan lebih baik. "Jadilah manusia yang melebur bersama warna-warna mereka dengan catatan, kontrol tetaplah ada pada diri kita sendiri, semau kita, senyaman kita dalam menjalaninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H