Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melihat Demokrasi Indonesia Hari Ini

28 Maret 2019   20:44 Diperbarui: 29 Maret 2019   19:56 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekiranya bahan apa yang bisa menentang moderitas kehidupan? Perubahan prilaku dan berbagai tantangan datang bertubi-tubi. Ketika sudah banyak hiburan yang tersedia bisakah upaya hidup manusia dengan berbagai fasilitasnya dikebiri? Saya mengira tidak mampunya otoritas merengakul moderitas prilaku, bahkan semesta berpikir masyarakat yang kian meruncing tajam .

Tentu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi muktahir sesuatu yang sifatnya memerintah akan binasa pada akhirnya. Kini dari banyak orang modern ingin menentukan nasibnya sendiri. 

Dalam hati dan pikirannya ingin bebas tanpa ada kententuan dari luar dirinya. Saya mengira ketika suatu otoritas baik keagamaan atau pemerintahan berlebihan dalam membuat suatu aturan tentu akan semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Karena saat ini bukanlah masyarakat bar-bar yang perlu diatur dengan wacana-wacana irasional. Masyarakat telah cerdas, ini eranya masyarakat teknologi bukan bar-bar yang identik dengan terbelakang.

Dengan berbagai informasi yang ada, kemudahan yang didapatkan dari teknologi dan semakin meningkatnya manusia dalam mengenyam pendidikan untuk berpikir, selangkah membuat masyarakat menjadi lebih dewasa saat ini. Selayaknya orang yang sudah dewasa dalam berpikir. Mereka tidak mau keputusan yang diambil oleh dirinya sendiri digantungkan pada lembaga otoritas yang katanya "sebagai lembaga yang berwenang sampai pada ruang privat". Mereka " masyarakat" tahu mana yang baik dan mana yang baruk untuk dirinya sendiri.

Setiap tanggung jawabnya-pun merupakan hal yang wajib ditanggung oleh dirinya sendiri. Seperti di banyak Negara Demokratis lainnya, nasib mereka ditentukan oleh diri sendiri dan untuk mereka sendiri. Masyarakat teknologi sadar hukum, tentu orang yang berpikiran waras tau betul bagaimana memperlakukan hidupnya sendiri.

Kita dapat melihat bagaimana hukum dulu tidak-lah kuat. Sebelum dibuat suatu Undang-Undang kekerasan yang melibatkan krumunan atau personal, Masyarakat menyelsaikan masalahnya dengan kekerasan. Terbukti, cara kekerasan tidak hanya merugikan dua pihak tetapi merugikan masyarakat sekitar yang masih dalam krumunannnya.

Saya ambil contoh di Desa saya dulu, pertengkaran pribadi anak muda seringkali membawa masalah yang serius bagi krumunan masyarakat. Karena belum ada hukum, tentu mereka beradu kekuatan untuk sama-sama keras. 

Tentu narasi ini menciptakan mana lawan mana kawan. Jika salah satu kerumunan itu menyerang mau tidak mau serangan juga harus dibalas. Tidak jarang kererasan itu melibatkan kerumunan yang tidak tahu apa-apa. Karena rumah tinggalnya diserang, dia juga ikut melakukan serangan. Itulah yang menjadi dasar antar warga masyarakat terlibat tawuran.

Hukum kuat, Undang-Undang tentang kekerasan berjalan, praktis ketika ada pelanggaran atas nama kekerasan dapat dituntut dan di proses secara hukum. Denda atau hukuman yang berat membuat volume pertangkaran dengan kekerasan berkurang. 

Adanya jejak visum bahwa dia telah teraniyaya dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk personal dalam menuntut secara hukum. Inilah salah satu hukum paling rasional yang telah dibuat.  Dimana hukum menjadi efektif dalam menata tatanan sosial masyarakat menghindari kekerasan.

Anomali Demokrasi Indonesia 

Sedikit mungkin menjadi ganjalan, bagaimana cara mengontrol orang dengan keyakinannya bahkan kesenangannya? Saya kira itu tidak akan efektif selama kontrol itu pada tatanan "ia tidak merugikan orang lain". Merdeka secara pribadi memungkinkan menjadi ciri masyarakat di Negara Demokrasi.

Masyarakat demokratis sendiri berarti percaya akan hukum rasional, mengapa? Karena bagi seorang  warga negara "demokratis" yang tidak mampu mengatur dirinya sendiri secara tidak sadar ia harus diatur oleh hukum. 

Penegak Hukum dan Undang-Undang hukum yang kuat menjadi hal yang krusial dalam sistem Demokrasi. Bagi saya Hukum dan Demokrasi berjalan beriringan dan keduanya saling melengkapi. Hukum tidak kuat praktis Demokrasi lemah.

Menilik bagaimana Demokrasi Indonesia muktahir tentu menarik. Pertanyaannya begini sudahkah Indonesia Demokratis? Tentu ini pertanyaan yang diraguakan banyak ahli di bidang Politik, Sosial maupun Budaya. Jika pertanyaan itu diubah, sudahkah Indonesia melakukakan tradisi Demokrasi? Saya yakin belum! Bahkan masih jaih dari Demokrasi.

Umumnya di negara Demokratis lainnya, dimana warga negara bebas menetukan pilihan hidupnya sendiri. Memang dalam hal ini, kebebasan bukan berarti bebas melakukan apa saja, bukan! 

Bebas dalam Demokrasi sendiri adalah bebas untuk bereksprsi, berpendapat dan bebas menjadi apa yang dia mau melalui proses dalam kehidupannya sendiri. Tentu itu dilakukan atas dasar kesadaran tanpa merugikan orang lain.

Tetapi ini Indonesia, dimana kekuatan identitas rasanya ingin juga menjadi Negara di dalam Negara. Oleh karna itu patut dicermati setiap kebijakan yang diambil entah itu atas nama Negara atau atas nama Organisasi Masyarakat (ormas)  yang bertransformasi menjadi partai politik.

Sikap memerintah atas pendapat satu pihak tentu mencidrai Demokrasi itu sendiri. Tidak jarang karena dalam Demokrasi mayoritas-lah yang menang. Bukan tidak mungkin ketika mereka berkuasa dan menganggap superior menduduki semua jabatan publik dalam negara, upaya untuk meminggirkan minoritas pasti ada.

Ini jelas bertentangan dengan Demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi memungkinkan hak yang sama bagi semua warga negara. Suara minoritas-pun haruslah didengar dan dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. 

Tetapi berbanding terbalik di Indonesia. Karena demokrasi Indonesia hanya untuk mengakumulasi entitas politik. Menjadi sarana berkuasa atas nama Demokrasi melalui pemilu atau pemilihan umum. Tidak heran jika Demokrasi hanya alat politikus pragmatis kebetulan kaya  yang ingin berkuasa.

Kita bisa lihat bagaimana cermin Demokrasi Indonesia kini. Warga negara mengikat diri pada identitas menjadi hal yang biasa, bahkan sebagai komuditas tawaran politik yang menjanjikan suara bagi yang ingin berkuasa. Untuk itu, Demokrasi muktahir, ingin menjadi wakil rakyat atau pemimpin Negara tidaklah rumit. 

Seperti hal-nya komuditas, suara juga masuk perdagangan itu. Mutlak, untuk menjadi Wakil Rakyat atau Pemimpin Negara Indonesia muktahir akan sangat bisa jika punya Uang banyak. Tidak lain Uang itu untuk menyuap dan membeli suara masyarakat.

Terlebih akan lebih mudah lagi jika masyarakat sudah terwadahi organisasi. Seperti kata seorang teman yang menjadi pimpinan suatu Ormas di Kota kecil sekitar Pantura. Ketika tahun politik datang, dia di datangi bakal caleg (Calon Legeslatif) menawarkan sejumlah Uang untuk membeli suara komunitas. Bagi saya ini tidaklah aneh, Demokrasi adalah pencipta yang ulung Politikus pragmatis bermodal Uang termasuk Demokrasi di Indonesia.

Maka jangan heran ketika ada banyak calon Pemimpin Negara Demokratis memanfaatkan Ormas dari berbagai golongan apapun untuk kepentingan politiknya. Adanya kongsi dagang saling menguntungkan dalam menjalin kerja sama antara calon dengan Ormas menjadi alasan. Jika sudah terjadi kerjasama ini, Politikus pragmatis tersandra pada pembuatan kebijikan publik yang menguntungkan Ormas pendukungnya. 

Fenomena politikus pragmatis dan Ormas kuat ingin berkuasa sebagai anomali lain sedang terjadi di Demokrasi Indonesia muktahir. Mereka tidak hanya ingin semakin kuat dengan berbagai doktrin-doktrin dan aturan yang mereka buat. Tetapi ada upaya juga mendiskriminasi minoritas yang tentu didasari dari kontrak politik. Jelas ini diprakarsai antara politikus pragmatis dan sejumlah Ormas kuat menguntungkan suara.

samd-5c9e14c23ba7f736a2310422.jpg
samd-5c9e14c23ba7f736a2310422.jpg

sumber gambar dari kartunrossem.blogspot.com 

Kita bisa menilik bagaimana pemikiran seorang politikus ingin Bali dijadikan Wisata Halal? Juga bagaimana Golput itu diharmakan oleh wadah komunitas tertentu? Atau main geme yang sejatinya adalah kenikmatan juga ingin dikebiri dengan dalih mendasari prilaku radikalisme? Masih banyak hal yang ditimbulkan dari anomali Demokrasi Indonesia kini. Belum tentang pemberdelan dan penyitaan buku-buku, dan masih banyak lainnya.

Saya mengira pemaksaan atas nama kuasa mayoritas dan para penentu keputusan politik itu sendiri yang membuat anomali Demokrasi di Indonesia. Praktis ketika ada anomali dari demokrasi, tentu demokrasi bukanlah tradisi melainkan nama saja bagi sistem ketatanegaran. Mengacu pada hukum dan kebijakan publik rasional, tentu berbagai pertanyaan diatas tidaklah memiliki dasar dari masyarakat Demokratis itu sendiri. 

Antara main game dan bibit radikalisme, jika hukum kuat, mengapa harus dilarang? Bukankah hukum mengatur kepemilikan senjata? Juga bagaimana istrumen-istrumen mendukung radikalisasi itu beredar? 

Di mana intel-intel pelacak? Bukakah negara membayar mereka untuk menjadi pengamat yang baik? Atau mungkin pelarangan ini adalah ketidakmapuan Negara itu sendiri melindungi masyarakatnya? Sehingga apapun bentuk kekerasan walau dari dalam permainan itu harus dilarang? Memasuki masyarakat teknologi, aturan Negara haruslah berbenah semakin rasional, agar Negara mampu bersanding setingkat dengan masyarakatnya.

Kita tahu bagaimana Bali dengan budaya dan keyakinan masyarakat mayoritas disana tidak menerapkan standart Halal dan Haram bagi tatanan kehidupanya. Jelas, upaya politikus tersebut sangatlah diskriminatif terhadap budaya minoritas, jika ada pemaksaan. Atau mungkin karena adanya politik praktis dimana kongsi saling menguntungkan antara politikus pragamtis dan Ormas kuat  itu yang mendasari? 

Untuk menarik suatu simpatik dari para pendukungnya, politikus mengikatkan diri pada keyakinan mayoritas ormas kuat itu. Mereka para politikus memberi tanda, "ia berpihak pada golongan tertentu". Catat, pragmatisme itu buruk, Politikus pragmatis akan lebih buruk. Begini, setiap daerah mempunyai kearifan budayanya sendiri. Jika suatu wilayah harus dipaksakan menjadi sama demokratisasi hanyalah simbol bukan? Untuk apa Demokrasi?

Tidak dapat dipungkiri, Demokrasi Indonesia menciptakannya; bahwa mayoritas politikus kini bekerja bukan atas dasar kebijakan publik, tetapi kebijakan akan tendensinya pada identitas tertentu. Dengan dukungan mayoritas Ormas besar, politikus dapat menjadi pejabat publik karena ada suara mereka di pemilu. Disinilah berbagai konflik kepentingan itu, dimana politikus tersandra bagaimana rancangan Undang-Undang itu akan dibuat atas nama kepentingan Ormas.

Tentu dengan kabar  ini atas pendapat Ormas besar tertentu yang mengatakan bahwa "golput haram dan main game dilarang", akan mungkin masuk dalam hukum dan Undang-Undang kebijakan negara. Pasti mereka "ormas besar" menekan para politikus atas nama indentitas, bahwa ia harus berpihak keyakinan mereka. Jelas, jika hukum tidak kuat dan rasional, berbagai pelanggaran sistem Demokrasi didalamnnya akan tumbuh subur.

Bahkan Demokrasi berpotensi menjadi tirani baru kelompok mayoritas atas minoritas.  Jika tidak ada penengah yang kuat dari hukum dan Undang-Undang Negara berserta para aparuturnya, demokrasi dalam anomali akan terus terjadi di Indonesia. 

Memang sikap kritis dalam menanggapi anomali Demokrasi Indonesia kini sangat diperlukan. Bahkan upaya mempertanyakan pernyataan sepihak dari ormas besar itu sangat perlu. Apa sebenarnya maksudnya dan tentu bagaimana kepentingan akan bermain di dalammnya? Saya sendiri disini sebagai warga negara, saya tidak terikat pada minoritas bahkan mayoritas yang tentu lebih menarik dalam Demokrasi muktahir ini.

Saya sebagai warga Negara hanya ingin mengira dan sedikit bersuara atas fasilitas sisa demokrasi saat ini. Tentu untuk menyehatkan Demokrasi haruslah ada kritik bahkan sikap skeptisisme pada setiap aturan atau pernyataan sepihak tanpa dibarengi dengan diskusi rasional. Saya pun ingin menduga bahwa Golput di harmakan, dan main game dilarang sebagai upaya kepentingan yang di subversi oleh kedua entitas tersebut.

Bagi saya golput tidak merugikan demokrasi. Jika sistem pengendali ini "negara" kuat dalam menyelanggarakan demokrasi tentu tidak ada yang bisa mengancam Demokrasi. 

Berbeda ketika entitas penyelenggaranya sendiri "negara" hanya memanfaatkan kuasa atas Demokrasi tanpa merawat Demokrasi. Seberapapun upaya menjaga demokrasi akan tetap gagal, dalam hal ini Negara adalah tiang bagi demokrasi tersebut, tiang rusak logikanya rumah akan hancur.

Jika tiangnya roboh dalam arti Negara lemah, Demokrasi hacur! Saya mengira dengan banyaknya konflik kepentingan politikus selaku entitas Negara dengan berbagai kelompok ormas besar menjadi awal kehancuran Demokrasi Indonesia. 

Ketika Demokrasi hacur, hukum irasional pasti muncul, ruang berekspresi dikekang dan masuknya aturan kedalam ruang privat warga negara. Bagaimana dengan demokrasi Indonesia? Saya kira para politukus dan ormas menuju kesana. Dimana ambang batas Demokrasi telah dijebol oleh berbagai kepentingan-kepentingannya atas nama kelompok dan berbagai kuasanya.

Larangan akan bermain game pun jelas punya maksud. Tentu agar tidak adanya referensi hiburan lain sebagai Manusia modern. Untuk apa referensi itu dikekang? Karena game mengandung unsur kesenangan. Tentunya ketika seorang sudah menemukan kesenangannya sendiri, titah dari otoritas memerintah tidaklah laku. Tidak lain itu hanya upaya kekewatiran berlebih akan berubahnya prilaku masyarakat.

Ormas kuat ingin terus mengabadikan doktrin atas nama aturan teologis. Supaya mereka tidak kehilangan unsur politik dalam pemilu yang menjadi pembenaran Demokrasi bagi sebagaian politikus pragmatis indonesia.  

Padahal dalam demokrasi banyak berbagai bentuknya, tidak hanya pemilu. Namun juga ruang kebebasan yang tidak dikekang dan diberi ruang se-luas-luasnya. Karena berbahaya tentu bagi mereka, ketika pemilihnya sedikit mereka tidak akan kembali menguasai negara untuk kepentingan golongan mereka. Termasuk upaya untuk tetap korupsi mendanai ormas pendukung agar tahun depan terpilih lagi.

Inilah yang terjadi ketika Demokrasi salah urus  dan dikuasai oleh orang-orang yang tidak demokratis. Bukan tidak mungkin demokrasi akan menjadi tirani baru bagi Indonesia yang selangkah maju menuju masyarakat teknologi.

Disudut sekolah sana berbasis identitas, bisnis-pun mendapat ruang yang sama bagi indentitas, semua rasanya serba di identitaskan. Tentu jika identitas terus digulirkan Demokrasi bukan lagi anomali tetapi hacur lebur menjadi fasisme baru yang mengatasnamakan Negara Demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun