Larangan akan bermain game pun jelas punya maksud. Tentu agar tidak adanya referensi hiburan lain sebagai Manusia modern. Untuk apa referensi itu dikekang? Karena game mengandung unsur kesenangan. Tentunya ketika seorang sudah menemukan kesenangannya sendiri, titah dari otoritas memerintah tidaklah laku. Tidak lain itu hanya upaya kekewatiran berlebih akan berubahnya prilaku masyarakat.
Ormas kuat ingin terus mengabadikan doktrin atas nama aturan teologis. Supaya mereka tidak kehilangan unsur politik dalam pemilu yang menjadi pembenaran Demokrasi bagi sebagaian politikus pragmatis indonesia. Â
Padahal dalam demokrasi banyak berbagai bentuknya, tidak hanya pemilu. Namun juga ruang kebebasan yang tidak dikekang dan diberi ruang se-luas-luasnya. Karena berbahaya tentu bagi mereka, ketika pemilihnya sedikit mereka tidak akan kembali menguasai negara untuk kepentingan golongan mereka. Termasuk upaya untuk tetap korupsi mendanai ormas pendukung agar tahun depan terpilih lagi.
Inilah yang terjadi ketika Demokrasi salah urus  dan dikuasai oleh orang-orang yang tidak demokratis. Bukan tidak mungkin demokrasi akan menjadi tirani baru bagi Indonesia yang selangkah maju menuju masyarakat teknologi.
Disudut sekolah sana berbasis identitas, bisnis-pun mendapat ruang yang sama bagi indentitas, semua rasanya serba di identitaskan. Tentu jika identitas terus digulirkan Demokrasi bukan lagi anomali tetapi hacur lebur menjadi fasisme baru yang mengatasnamakan Negara Demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H