Kita bisa lihat bagaimana cermin Demokrasi Indonesia kini. Warga negara mengikat diri pada identitas menjadi hal yang biasa, bahkan sebagai komuditas tawaran politik yang menjanjikan suara bagi yang ingin berkuasa. Untuk itu, Demokrasi muktahir, ingin menjadi wakil rakyat atau pemimpin Negara tidaklah rumit.Â
Seperti hal-nya komuditas, suara juga masuk perdagangan itu. Mutlak, untuk menjadi Wakil Rakyat atau Pemimpin Negara Indonesia muktahir akan sangat bisa jika punya Uang banyak. Tidak lain Uang itu untuk menyuap dan membeli suara masyarakat.
Terlebih akan lebih mudah lagi jika masyarakat sudah terwadahi organisasi. Seperti kata seorang teman yang menjadi pimpinan suatu Ormas di Kota kecil sekitar Pantura. Ketika tahun politik datang, dia di datangi bakal caleg (Calon Legeslatif) menawarkan sejumlah Uang untuk membeli suara komunitas. Bagi saya ini tidaklah aneh, Demokrasi adalah pencipta yang ulung Politikus pragmatis bermodal Uang termasuk Demokrasi di Indonesia.
Maka jangan heran ketika ada banyak calon Pemimpin Negara Demokratis memanfaatkan Ormas dari berbagai golongan apapun untuk kepentingan politiknya. Adanya kongsi dagang saling menguntungkan dalam menjalin kerja sama antara calon dengan Ormas menjadi alasan. Jika sudah terjadi kerjasama ini, Politikus pragmatis tersandra pada pembuatan kebijikan publik yang menguntungkan Ormas pendukungnya.Â
Fenomena politikus pragmatis dan Ormas kuat ingin berkuasa sebagai anomali lain sedang terjadi di Demokrasi Indonesia muktahir. Mereka tidak hanya ingin semakin kuat dengan berbagai doktrin-doktrin dan aturan yang mereka buat. Tetapi ada upaya juga mendiskriminasi minoritas yang tentu didasari dari kontrak politik. Jelas ini diprakarsai antara politikus pragmatis dan sejumlah Ormas kuat menguntungkan suara.
sumber gambar dari kartunrossem.blogspot.comÂ
Kita bisa menilik bagaimana pemikiran seorang politikus ingin Bali dijadikan Wisata Halal? Juga bagaimana Golput itu diharmakan oleh wadah komunitas tertentu? Atau main geme yang sejatinya adalah kenikmatan juga ingin dikebiri dengan dalih mendasari prilaku radikalisme? Masih banyak hal yang ditimbulkan dari anomali Demokrasi Indonesia kini. Belum tentang pemberdelan dan penyitaan buku-buku, dan masih banyak lainnya.
Saya mengira pemaksaan atas nama kuasa mayoritas dan para penentu keputusan politik itu sendiri yang membuat anomali Demokrasi di Indonesia. Praktis ketika ada anomali dari demokrasi, tentu demokrasi bukanlah tradisi melainkan nama saja bagi sistem ketatanegaran. Mengacu pada hukum dan kebijakan publik rasional, tentu berbagai pertanyaan diatas tidaklah memiliki dasar dari masyarakat Demokratis itu sendiri.Â
Antara main game dan bibit radikalisme, jika hukum kuat, mengapa harus dilarang? Bukankah hukum mengatur kepemilikan senjata? Juga bagaimana istrumen-istrumen mendukung radikalisasi itu beredar?Â
Di mana intel-intel pelacak? Bukakah negara membayar mereka untuk menjadi pengamat yang baik? Atau mungkin pelarangan ini adalah ketidakmapuan Negara itu sendiri melindungi masyarakatnya? Sehingga apapun bentuk kekerasan walau dari dalam permainan itu harus dilarang? Memasuki masyarakat teknologi, aturan Negara haruslah berbenah semakin rasional, agar Negara mampu bersanding setingkat dengan masyarakatnya.