PEMILU DAN PROBLEM Â NETRALITAS
Oleh : Komarudin Daid
Apa bisa Aparatur Sipil Negara atau Asn, TNI , Polri, kejaksaan,kehakiman, mahkamah konstitusi, Mahkamah Agung sampai kepala desa bersikap netral pada pemilu 2024 ?. Bagai mana meyakinkan masyarakat  kalau mereka benar-benar bersikap tidak memihak salah satu partai, caleg dan poslon presiden dan wakil presiden tertentu?.
Kapolri Listiyo Sigit berulang kali menegaskan komitmen institusinya soal netralitas polisi, terakhir beliau malah meminta agar masyarakat ikut mengawasi anggota polisi dan melaporkan kalau ada anak buahnya yang tidak netral. Panglima TNI yang baru dilantik Jendral  Agus  Subiyanto juga memastikan kalau TNI pasti netral,bahkan mempertegas kalau netralitas lembaga yang dipimpinnya adalah harga mati.  Apalagi presiden Jokowi berulang kali menegaskan soal keharusan netralitas ASN.
Selaku presiden beliau  mengundang ketiga capres untuk santap siang di istana negara, tentu saja ini upayanya membangun opini masyarakat soal posisi netralitasnya selaku presiden terhadap ketiga  capres yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subiyanto. Terkesan presiden tidak berpihak kesalah satunya dengan mengajaknya ketiga capres tersebut makan siang bersama.
Entah sudah berapa banyak petinggi dinegeri ini bicara soal netralitas pemilu.Belum lagi pernyataan dan ajakan berupa spanduk,banner,stiker dan lainya. Semua menyatakan komitmen, ajakan pemilu damai dan menjaga netralitas dari lembaga yang dipimpinnya masing-masing.
Pertanyaanya sejauh mana statemen, himbauan,atau ajakan bahkan yang disertai ancaman tersebut betul- betul dilaksanakan?. Sementara Masyarakat bisa menyaksikan sendiri apa yang sesungguhnya terjadi dilapangan. Buat orang awam yang  buta politik mungkin  membingungkan dengan tidak sambungnya antara ucapan dan kenyataan. Tapi lain lagi buat orang yg sudah terbiasa mengikuti berita politik,paham seluk beluk politik, mengenal permainan politik, meresponnya santai,sambil nyeruput segelas kopi dan sebatang rokok, senyum santai karena menganggapnya sebagai dagelan politik saja,jadi tidak perlu setres seperti orang awam.
Mereka tidak kaget dengan situasi seperti apapun, toh dipolitik semua bisa terjadi. Apalagi sekedar persoalan netralitas yang masih berada pada area abu-abu,yang bisa disiasati seribu satu cara. Bukankah soal kecurangan,termasuk isu netralitas dari pemilu satu kepemilu lainnya selalu menjadi bagian yang selalu ikut meramaikan  sekaligus memanaskan situasi pemilu ?.
KECURANGAN KASAT MATA
Kecurangan pemilu yang salah satunya adalah keberpihakan pejabat negara atau  Asn, TNI,Polri, sampai kepala desa . yang membedakan pemilu kali ini dengan pemilu sebelumnya, kecurangan pemilu kali ini terlihat lebih kasat mata,sistematis dan masiv. Kehadiran 15 ribu kepala desa se Indonesia pada tanggal 19 November di Gelora Bung Karno Jakarta adalah salah satu faktanya.
kecurangan semuanya tersaji dengan jelas dihadapan publik. Diawali dengan rekayasa MK yg menguji pasal 169 undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017, yaitu batas usia calon presiden dan wakil presiden yang minimal berumur 40 tahun. Memang pada prase umurnya tidak dirubah tetap 40 tahun,tetapi ada tambahan kalimat yang menjadi kesatuan yang tdk terpisah dari keputusan tersebut yaitu "sedang/pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah".
Semua orang tahu kemana arah keputusan MK ini.untuk siapa keputusan tersebut secara khusus dipersembahkan selain kepada Gibran Rakabuming Raka cawapres yang juga anak seorang presiden Republik Indonesia dua periode Jokowidodo. ( Terurai pada artikel penulis sebelumnya  "Jokowi,pertarungan integriritas dan godaan kekuasaan")
Seakan pemilu tanpa aturan, baru-baru ini Asosiasi kepala desa seluruh Indonesia menyatakan dukungannya kepada salah satu paslon.Berbalut kegiatan silaturrahmi tapi ujung-ujungnya mengeluarkan pernyataan dukungan. Padahal ada pasal berlapis pada undang-undang pemilu no 7 tahun 2017. Pasal 280,282 dah pasal 494 adalah pasal-pasal yg berkaitan dengan larangan,termasuk kepala desa utk tidak berpolitik praktis,membuat keputusan yang menguntungkan  atau merugikan salah satu peserta kampanye, berikut ancaman hukumannya seperti yang tertulis pada pasal 494 uu pemilu nomor 7 tahun 2017.
Seakan tidak mau kalah dengan kepala desa yang lain,seorang kades disalah satu kabupaten Jawa Tengah juga menyatakan dukungannya terhadap salah satu paslon. Dalam video yang berdurasi beberapa menit saja,sang kepala desa menyatakan dukungannya pada salah satu paslon berikut menyebut warna atribut partainya.
Anehnya seorang profesor ahli hukum yang sangat termahsyur dinegeri ini  justru bangga melihat ulah kepala desa yang tergabung pada Apdesi Yaitu Asosiasi kepala desa se Indonesia.Dengan senang mengumumkan kepada khalayak kalau 15 ribu kapala Desa akan Deklarasi mendukung paslon tertentu. Publik yang umumnya awam hukum, prihatin dengan berbondong-bondongnya kepala desa dari seluruh pelosok tanah air ke Jakarta untuk kegiatan yang terlarang tersebut,tapi ahli hukum malah merespon dengan baik tindakan para pamong Desa yang keliru itu.
Sebenarnya siapa yang lebih paham hukum kalau faktanya masyarakat awam tahu kalau tindakan tersebut salah dan melanggar aturan,prihatin dan menyayangkan peristiwanya.tapi seorang ahli hukum malah terkesan bangga dan mengumumkannya kepada publik hanya karena dukungan para kades itu sejalan dengan sikap politiknya atau mendukung paslon yang sama.
Tapi ada yang beda dari cara berpolitik dari dua orang kepala desa di desa banjaran dan Margaasih Kabupaten Bandung. Dua orang kades ini mundur dari jabatan kepala desa karena mendukung salah satu paslon capres cawapres. Perilaku politik seperti ini jauh lebih beradab dan menjunjung tinggi aturan , ketimbang harus menabrak hukum secara membabi buta, dua kades ini memilih jalan konstitusi untuk mendukung paslon tertentu dan untuk itu kita perlu apresiasi atas tindakan kesatria mereka.
NETRALITAS JOKOWI
Kalau pada pemilu sebelumnya,kecurangan pemilu dilakukan dengan sembunyi,tapi pada pemilu kali ini prilaku curang ini semakin transparan.Padahal pada  setiap pemilu pasti memuat aturan yang terlarang atau tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak yang terikat aturan dimaksud, juga berikut ancaman sanksinya.
Presiden Jokowi boleh saja bicara netralitas.Boleh saja berkampanye mewajibkan aparat dibawahnya agar netral ,termasuk untuk dirinya sendiri selaku presiden dan kepala negara. Tapi untuk urusan yang satu ini beliau punya problem yang sangat serius.,bahkan beliau sendiri adalah problem itu sendiri dari netralitas yang selalu didengungkannya selama ini.
Sulit membayangkan Presiden Jokowi bisa bersikap netral,sementara anaknya sendiri Gibran Rakabuming Raka jadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subiyanto yang pasti maju dengan serius ,mengerahkan segala daya upaya dan mengharuskan kemenangan.
Jangankan untuk urusan cawapres  Gibran, untuk Kaesang pangarep saja, yang tak lain ketua umum Partai Solidaritas Indonesia alias PSI jelas-jelasan beliau sudah kentara keberpihakannya. Sangat banyak terpampang spanduk dan banner sepanjang jalan di Jakarta,Banten,Jawa barat  dan kota-kota lainnya yang bergambar wajah  Kaesang bersama presiden Jokowi.
untuk ini saja pa Jokowi sudah memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya kesalah satu partai tertentu dimana sang anak adalah ketum partai tersebut. Apalah lagi untuk Gibran yang sedang bertarung menuju kursi orang nomor dua di Republik ini,sangat sulit mengharapkan netralitas presiden Jokowi yang tak lain ayah kandung Gibran Rakabuming Raka disatu sisi , dan presiden  Indonesia disisi yang lain.
Himbauan netralitas presiden presiden Jokowi kemasyarakat rasanya sia-sia saja. Jokowi seperti hendak meludahi langit, yang air ludahnya pasti kembali kepada dirinya sendiri. Atau sedang menepuk air didulang,semakin keras menepuknya semakin basahlah dia. Karena itu pernyataan netralitas yang keluar dari lisannya sebatas lips servis saja, karena sudah kehilanngan makna substantifnya dari kalimat netralitas itu sendiri.
MENULAR KEMANA-MANA
Dampak tidak netralnya presiden Jokowi yang diikuti pejabat dibawahnya akan merembet kepada kepada aparat dibawahnya lagi. Faktanya Asosiasi Desa seluruh Indonesia atau Apdesi , seperti yang sudah diurai diatas, tidak canggung lagi menyatakan dukungan terhadap paslon tertentu.
Sikap tidak netral yang diperlihatkan Jokowi dan aparat dibawah lainnya bisa mentraiger pihak-pihak lainnya untuk melakukan hal yang sama. Bisa jadi kecurangan dalam bentuk lainnya akan dilakukan oleh pihak lain,termasuk penyelenggara pemilu itu sendiri seperti KPU dan Bawaslu.
Penyelenggara pemilu tentu lebih silent cara mainnya, Karena sadar posisinya sebagai penyelenggara sangat riskan. Tapi sebagai penyelenggara, mereka tentu paham dan bisa bermain curang tanpa ada pihak lain yang tahu, cukup sebatas mereka sebagai oknum penyelenggara dengan pihak yang ikut bermain curang bersamanya saja. Sebagai penyelenggara pasti paham cara apa saja yang bisa dilakukan tapi  minim resiko, salah satunya dengan memainkan suara dari partai gurem yang tidak punya saksi di tempat pemungutan Suara atau tps.
Siapa yang bisa mengontrol suara partai dan suara caleg dari partai seperti ini, jangankan pihak lain, caleg dari partai itu sendiri pun sudah tidak peduli suara akan lari kemana,toh mereka sudah pasti tidak dapat kursi. Jangan-jangan mereka justru sedang pusing memikirkan bagaimana melunasi hutang untuk biaya kampanye. Ini salah satu celah yang bisa dimainkan oleh oknum Penyelenggara pemilu untuk bermain curang.
Kenekatan mereka bisa jadi karena terdorong oleh sikap tidak netral para aparat lainnya yang sudah melakukannya lebih dulu. Sangat masuk  akal ,Karenanya potensi melakukan kecurangan pun sangat mungkin dilakukan oleh oknum  penyelengara pemilu pada tingkatannya masing-masing.
LEGITIMASI RAKYAT
Hasil pemilu apakah legislatif atau presiden haruslah dapat pengakuan dari masyarakat. Â Kecurangan adalah salah satu problem terbesar sulitnya mendapat pengakuan dari rakyat.Apalagi kecurangan yang terjadi berulang- ulang, baik oleh pihak yang sama atau pun dari pihak atau lembaga berbeda tapi punya misi yang sama, memenangkan pihak tertentu, sehingga kecurangan menumpuk demi memenangkan partai atau paslon yang satu dan merugikan partai atau paslon lainnya, sangat mudah terbaca oleh masyarakat.
Dunia digital dengan mudah merekam segala kejadian.Dan respon masyarakat juga tidak kalah sengitnya. Kecurangan yang berlangsung secara masif berpotensi besar bukan hanya tidak adanya legitimsi rakyat atas hasil pemilu yang terlanjur menyedot anggaran negara hingga ratusan triliun,tapi berpotensi timbulnya konflik antar pendukung paslon diajar rumput
Legitimasi Formal dari negara  mungkin lebih  mudah didapat,sehingga pemenang pemilu harus dilantik jadi anggota legislatif atau presiden dan wakil presiden. Tapi tanpa pengakuan rakyat maka hasil pemilu berpotensi timbulnya kerawanan sosial. Publik akar rumput yang biasanya lebih mudah terbakar amarahnya atas kekalahan paslonnya melampiaskannya dengan melakukan tindakan distruktif.
Bersyukur kalau atas  sengketa pemilu rakyat menempuh jalur hukum ke Mahkamah konstitusi atau MK,terutama pilpres yg punya tingkat kerawanan lebih. Tapi persoalannya siapa yang mau melakukan itu kalau MK sendiri saat ini berada pada titik terendah menyangkut kepercayaan publik,pasca terbitnya putusan yang hanya menguntungkan cawapres tertentu, bahkan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi alias MKMK menilai kesembilan hakim MK melakukan pelanggaran etik.
Karenya mesti disadari betul pemilu tahun 2024 kali ini berpotensi atau punya tingkat kerawanan yang tidak main-main. Untuk itulah kita mengetuk hati semua pihak untuk tidak bermain-main dengan rakyatnya sendiri. Sudahi kecurangan yang sudah terjadi,toh rakyat sangat pemaaf,tapi jangan ulangi lagi karena rakyat juga sanggup membalasnya dengan cara-cara sendiri dan bukan tidak mungkin cara yang mereka tempuh  diluar yang kita bayangkan dan akhirnya merugikan semua pihak, bangsa dan negara tercinta kita Indonesia.
Jakarta, 27 Nopember 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H