Mohon tunggu...
Renata Rosario
Renata Rosario Mohon Tunggu... -

Kludia (kepanjangan dari Keys of Ludian) adalah fiksi web serial di mana setiap posting konten selalu sambung-menyambung membentuk narasi dalam satu universe (satu cerita). Universe dalam Kludia membawakan tema Speculative Fiction di masa depan (setting tahun 2035) di mana peradaban manusia dengan segala teknologi maju yang mereka miliki, justru mengalami tekanan hidup yang membuat moralitas tak lagi menjadi pandangan hidup ideal. Di sinilah, pembaca akan diusung ke dalam situasi "dog eat dog" dan "grey morality" trope. Mekanisme multi PoVs menantang batasan fiksi di mana konsep protagonis (lakon) tidak lagi menjadi komoditas utama plot movement. Semua karakter, tidak terkecuali siapapun, bisa "lenyap" dari papan permainan apabila mereka lengah. Alamat website: www.kludia.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Moral Games (Kludia Introduction)

31 Mei 2014   20:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:53 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401516509643163965

[caption id="attachment_339345" align="aligncenter" width="416" caption="Winston Churchill"][/caption]

If you're going through hell, keep going.” ~Winston Churchill

Pulau Britania Raya, hampir mencoret kata “Raya” dari jejak rekam sejarahnya jika saja Nazi Jerman berhasil memperluas ekspansi ke utara. Untungnya, satu orang di Persatuan Kerajaan (UK) yang paling berani menyuarakan perlawanan terhadap Adolf Hitler, terpilih sebagai Perdana Menteri untuk memimpin angkatan bersenjata negara.

Adalah Winston Churchill, dalam hari pertamanya menjabat sebagai Perdana Menteri mengatakan hal berikut;

I have nothing to offer but blood, toil, tears and sweat.” […], “we shall fight on the seas and oceans, we shall fight with growing confidence and growing strength in the air, we shall defend our island, whatever the cost may be, we shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender.”

Kata kuncinya adalah “we shall never surrender”, di mana PM Winston Churcill menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk meredam serangan lawan adalah untuk tidak pernah menyerah memertahankan kedaulatan negara, seberapapun tinggi biayanya.

Dalam praktiknya, strategi perang tidak semulus taktik mengusir penjajah dari tanah air begitu saja, perlu pengorbanan besar, dan berbagai macam pengambilan keputusan yang bisa berbalik arah seperti pedang bermata dua, misalnya; peristiwa pengeboman kamp pengungsi di Dresden, Jerman oleh Royal Air Force. Di mana terdapat sekitar ratusan ribu nyawa melayang tak mampu menyelamatkan diri dari gempuran bom satuan angkatan udara Kerajaan Persatuan.

Ya, ini adalah medan perang, di mana selain unjuk kekuatan, kedua pihak (poros dan sekutu) juga rela melakukan segala cara agar lawan bertekuk lutut mengakui kekalahannya; terus terang saja, ini adalah tema yang sangat subyektif, di mana tidak ada yang dapat dibenarkan dari peperangan, tapi tanpa keputusan tersebut, siapa yang kalah akan menanggung beban terberat.

Kondisi penuh dilema tadi, bisa diilustrasikan dengan kutipan berikut;

The optimist sees a light at the end of the tunnel,

the realist sees a train entering the tunnel,

the pessimist sees a train speeding at him, hell for leather,

and the machinist sees three idiots sitting on the tracks.

German joke

Mana yang paling efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah? Kekuatan kebaikan, atau persenjataan lengkap?

Jawabannya? Bergantung dengan apa yang dihadapi.

Mahatma Gandhi menggunakan strategi “tanpa kekerasan” untuk menarik simpati publik dalam melawan kekuatan persemakmuran Persatuan Kerajaan; tapi apakah strategi yang sama mampu menyelamatkan bangsanya apabila dihadapkan pada kekuatan tanpa ampun seperti Nazi Jerman? (M. Gandhi pernah menulis surat pada A. Hitler, mengalamatkannya sebagai “Dear Friend” dengan tujuan untuk melunakkan hati sang Tiran agar menghentikan kekerasan; tak berhasil).

Oke, kembali ke PM Winston Churchill. Setelah Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara (UK) menyelamatkan wajahnya sendiri dari kezaliman Nazi Jerman, akhirnya pemilu untuk menentukan PM berikutnya diadakan setelah 10 tahun tertunda karena kondisi PD II. Betapa mengejutkannya, ketika partai yang dipimpin oleh Winston Churchill yaitu Partai Konservatif, kalah dari Partai Buruh (House of Commons; 197 kursi vs. 393 kursi) meskipun jasanya dianggap sangat berpengaruh saat masa genting perang melawan Adolf Hitler.

Kenapa bisa begitu?

Rakyat Inggris berkata, orang yang memimpin perang kurang cocok untuk membangun bangsa mereka bangkit dari puing-puing bencana perang; mereka butuh rumah, butuh pekerjaan, butuh makanan, dan mereka pikir, Partai Buruh paling mampu menjalankan amanat tersebut.

Moral ceritanya? Apa pesan utamanya?

Terlepas dari peran dan jasa individu, kontinum persepsi mengenai siapa yang jahat dan yang baik, relatif dengan kondisi dan situasi setiap subyek yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus di atas tadi, meskipun PM Winston Churchill menjadi pahlawan negara dengan semua tanda jasa yang bisa disematkan, rakyat Inggris tidak memilihnya kembali sebagai pemimpin negara; Mahatma Gandhi mengambil kesempatan, yang bagi sebagian besar orang dianggap konyol dan naif, untuk meluluhkan hati der Führer; sedangkan para korban di kamp pengungsi Dresden tak berdaya menghadapi “strategic bombing” pihak Sekutu dengan dalih untuk menekuk kekuatan Poros hingga menyerah tanpa syarat.

Dengan kata lain; dalam kehidupan nyata, label “si Baik” dan “si Jahat” bisa bergeser bergantung melalui kacamata apa yang dipakai untuk menilainya. Semakin kritis suatu situasi, semakin banyak yang dilibatkan maka semakin cepat pula kacamata tersebut berubah fokus.

Apakah “si Jahat” tak akan mampu merubah sikapnya, apakah dia tak dapat diampuni atas segala kesalahan-kesalahannya? Apakah “si Baik” harus selalu mengikuti norma moral “tanpa kekerasan” meskipun pintu masuk rumahnya terancam dijebol oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab, mengancam keselamatan orang-orang yang dicintainya?

Situasi kehidupan seperti itulah yang akan pembaca dapatkan saat membaca web serial Kludia (Keys of Ludian) di www.kludia.com

Pembaca akan ditantang untuk mengasah ketajaman “lensa” kacamata moral tersebut, karena di dalam Kludia;

Tidak ada “lakon”, semua karakter memiliki peran dalam plot.

Multi PoV; apa yang dipandang 'buruk' bagi satu karakter, bisa saja menjadi 'surga' bagi karakter lain.

“Butterfly Effect”; apa yang dimulai satu karakter, meskipun tampak remeh pada awalnya, akan terus bergulir seperti bola salju hingga menjadi fenomena besar.

Oh, ya, satu lagi, hampir semua karakter dalam Kludia 'dituntut' terus berjuang, mencari jalan keluar model apa pun meskipun situasi berubah menjadi 'neraka', jika tidak, ya, pasti karakter itu sudah menyerah atau tercoret dari daftar nama karakter yang masih hidup.

Berikut adalah daftar bab-bab Kludia yang diposting di Fiksiana:

Preface: Mara (serial #1)

Preface: Angel (serial #2)

Civil 01 (serial #4)

Preface: Juliet (serial #5)

Civil 02 (serial #6)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun