“Jadi Rachmat tak mau mengobatinya?”
“Rachmat sudah berlayar ke Sulawesi.”
“Ke Sulawesi?”
“Ia pulang ke Enrekang. Ke kampung halamannya, bersama istrinya yang orang sini.”
“maksudmu, ia punya istri lain?”
“Kudengar ada yang di Tarakan, ada pula yang di Toli-Toli.”
Lelaki muda itu menarik napas dalam-dalam. Gerimis yang membentuk tirai putih tadi seakan memisah diri dari hujan deras yang melanda bagian sungai ke arah hilir. Ke bagian hulu tirai hujan makin menebal, sehingga membentuk bayangan kelabu yang mengelam.
“Kupikir soal itu telah berlalu,” terdengar suara wanita itu lagi. “Kau sebagai sarjana harus memikirkan masa depan yang lebih berguna bagi nusa dan bangsa.”
Ada sesuatu yang tersekat di kerongkongan lelaki muda itu.
Seakan ia menyusuri masa silamnya beberapa tahun yang lalu. Lama sudah berbagai kejadian merambang di depan matanya saat ia masih di sini, di kota kelahirannya ini. Lelaki sebayanya hampir semuanya pergi meninggalkan kampung halaman. Ada yang masih sekolah, ada pula yang sudah bekerja dan berkeluarga di tempat-tempat yang jauh. Hanya sejumlah teman wanita yang masih berada di kampung, dan kebanyakan dari mereka juga telah berkeluarga.
Lalu tentang Ramlah?”