a. Riba (bunga yang diharamkan),
b. Gharar (ketidakpastian atau spekulasi berlebihan), dan
c. Maisir (perjudian atau spekulasi yang merugikan).
Investasi bodong yang menjanjikan keuntungan tetap tanpa adanya mekanisme syariah yang jelas, seperti skema pembagian risiko (mudharabah atau musyarakah), sering kali melanggar ketiga prinsip ini.
Aturan-aturan di atas menjadi dasar untuk menilai bahwa investasi bodong yang berkedok syariah tidak hanya melanggar prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi juga melanggar hukum positif di Indonesia, baik terkait dengan perlindungan konsumen maupun tindak pidana penipuan.
PANDANGAN ALIRAN POSITIVISME HUKUM DAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCEÂ
Positivisme Hukum dan Sosiological Jurisprudence adalah dua pendekatan yang berbeda dalam menganalisis hukum. Berikut adalah pandangan kedua aliran ini dalam menganalisis kasus investasi bodong berkedok syariah:
1. Pandangan Positivisme Hukum
Positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah kumpulan aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh otoritas yang sah (seperti negara), terlepas dari nilai moral atau etika di baliknya. Pendekatan ini berfokus pada legalitas, peraturan tertulis, dan penerapannya secara formal.
Dalam konteks kasus investasi bodong berkedok syariah, pandangan positivisme hukum akan melihat dari aspek berikut:
Kepatuhan terhadap hukum tertulis: Aliran ini akan menilai apakah investasi tersebut sesuai dengan aturan yang tertulis dalam undang-undang, seperti UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, POJK, dan aturan lain yang mengatur investasi syariah serta perlindungan konsumen. Jika investasi tersebut melanggar aturan hukum yang berlaku, maka menurut positivisme, investasi tersebut adalah ilegal.