Watu Jonggol merupakan salah satu situs sejarah yang berada di Banyumas. Berada di bagian selatan pada provinsi Jawa Tengah. Banyumas kota yang lekat akan budaya, adat istiadat dan tradisi yang sudah melekat sejak zaman dulu serta banyak sekali tempat yang dijadikan sebagai situs budaya yang masih lestari sampai sekarang dengan segenap tradisi warga lokal yang mendiaminya.
Misalnya di Banyumas bagian tenggara tepatnya di Kecamatan Tambak terdapat Situs Mahameru, di sisi ke barat tepatnya di Desa Banjarpanepen, warga Banyumas mengenal situs Watu Jonggol.
Dimana situs ini memiliki daya tarik dan ciri khasnya tersendiri, baik sejarah masa lalunya yaitu tempat pelarian bagi pasukan Prabu Amangkurat Agung hingga tempat petilasan “persinggahan” bagi Raja Hayam Wuruk dan patihnya yaitu Patih Gadjah Mada
Berdasarkan penuturan Bapak Mispan S.Pd M.Si (selaku sub koordinator pengelolaan dan pelestarian tradisi Kab Banyumas).
Menarik ke belakang, Desa Banjarpanepen merupakan saksi sejarah bagi Prabu Amangkurat dimana beliau melakukan peperangan hebat dengan Trunojoyo dari Madura diserbu pasukan Trunojoyo di Tambak. Ketika itu karena kondisi mendesak beliau dipaksa mundur ke arah barat sampai ke daerah yang sekarang ini dikenal dengan Sumpiuh.
Pada saat disini terjadi pertempuran lagi yang menyebabkan banyak sekali prajurit dari kedua belah pihak yang gugur secara terhormat di medan pertempuran demi kepentingan kerajaan masing-masing, dan akhirnya Prabu Amangkurat beserta pasukannya mundur Ke arah Utara hingga tiba di Banjarpanepen.
Pada saat itu Banjarpanepen merupakan desa yang tertutup oleh hutan belantara menjadikannya tempat tersembunyi hingga akhirnya membuat Prabu Amangkurat selamat dari pengejaran Trunojoyo.
Ketika merasa aman Prabu Amangkurat agung langsung ke arah Kalisalak Kebasen terus ke Kalibening, Banyumas dan sampai akhirnya meninggal di Desa Tumiyeng, Kecamatan Pekuncen, Jatilawang yang dimandikan di Pasiraman. Itu sejarah Amangkurat Agung yang melengkapi Peradaban Banjarpanepen.
Desa Banjarpanepen salah satu daerah yang berada di Banyumas yang menyimpan banyak sekali potensi alam dan budayanya. Terletak di daerah pegunungan dan perbukitan, mengalirlah sumber mata air yang sangat bersih dan menyegarkan.
Aliran airnya mengalir ke setiap tempat yang ada di desa tersebut dan bertemu dalam satu titik pertemuan yang tercipta oleh pertemuan dua sungai yang berada didesa banjarpanepen dimana warga sekitar mengenal tempat itu dengan istilah “Cawang atau Campuang”
Konon dalam mitosnya, dikisahkan pada hari-hari tertentu dijadikan sebagai tempat untuk membersihkan diri setelah menjalani aktivitas keseharian.
Baik gadis maupun bujang dalam waktu yang berbeda serta adanya batasan baik laki-laki maupun perempuan “menjaga aurat” akan datang ke tempat tersebut dalam rangka membersihkan diri.
Hal ini membuktikan sejak zaman dahulu adat istiadat dan kepercayaan masyarakat kepada Sang Pencipta sudah sangat kuat bagi penduduk desa tersebut. Kegiatan tersebut sekarang ini diperingati tiap tanggal 12 atau 14 bulan Syura.
Ketika waktu peringatan tiba, di Kalicawang masyarakat akan menanggul batu disusun secara rapi dengan harapan air dapat terbendung dan mengumpul banyak.
Dalam hitungan setengah jam air yang dibendung akan berubah menjadi bening karena lumpur dan tanah yang ada akan terbawa air dimana dilakukan Ketika malam hari sekitar pukul 12.00.
Karena bersumber dari sumber mata air yang masih asri, tentunya kandungan mineral air yang berada di tempat tersebut berbeda dengan daerah lainnya. Sehingga orang yang pernah mandi di tempat tersebut meyakini air yang mengalir membawa manfaat kesehatan dan awet muda.
Situs Watu Jonggol, tidak ada yang tau kapan mula terbentuknya bisa saja sejak puluhan juta tahun yang lalu baik itu karena alam membentuk tempat tersebut atau campur tangan manusa.
Namun yang pasti, Watu Jonggol sudah ada sebelum kedatangan Raja Hayam Wuruk dan Patihnya hingga menjadikan tempat tersebut sebagai tempat petilasan beliau dan pada akhirnya menjadi tempat sejarah hingga sekarang ini
Jonggol, orang menyebutnya dengan sebutan seperti itu dimana memiliki arti “gede dewek”, hal itu tidak sembarang penyebutan dikarenakan memang watu atau batu tersebut merupakan salah satu dari rangkaian batu yang Menyusun sangat indah di tempat tersebut dan watu inilah yang berukuran paling besar sehingga masyarakat menyebutnya watu jonggol.
Tiap bulan Syura, masyarakat yang berada di desa Banjarpanepen akan berkumpul menjadi satu. Tidak mengenal baik itu yang beragama islam, Kristen, maupun agama serta kepercayaan lainnya yang bertempat tinggal di Desa Banjarpanepen, desa rukun toleransi.
Acara tersebut biasa masyarakat menyebutnya “Takiran”, peringatan tersebut bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur manusia pada Tuhannya, kepada leluhur atas kesuburan tanah ini, keaslian tanah ini, keutuhan Tanah ini, dan tanah yang terbentang di seluruh dataran Desa Banjarpanepen.
Dalam hal ini tiap masyarakat akan menunjukkan rasa syukurnya berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing tanpa melewati batas yang sudah ditetapkan dalam setiap ajaran kepada Sang Penciptanya. Kegiatan ini akan terus ada sesuai hukum adat yang akan akan selalu ada sepanjang masyarakat adat masih menjalankan tradisi tersebut.
Masyarakat adat akan melaksanakan tirakat “Usaha dalam mendekatkan diri kepada sang pencipta”. Dengan harapan gusti Allah Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan.
Hanya saja persoalan ini tidak lepas dari niat yang tulus dan ikhlas dimana dalam islam mengenal man jadda wajada. Jadi siapa yang berniat sungguh-sungguh akan terkabulkan segala hajat dan urusannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H