Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Saat BPJS Kesehatan Jadi Syarat Segalanya

22 Februari 2022   09:30 Diperbarui: 23 Februari 2022   15:35 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BPJS Kesehatan ditetapkan sebagai syarat jual beli tanah, umroh dan haji, pengurusan SIM, STNK, dan STNK. | Shutterstock via Kompas

Setelah menuai banyak kritikan karena menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 lalu, pemerintah seolah-olah tak pernah kehabisan cara untuk membuat kejutan di tengah-tengah masyarakat.

Saat ini, pemerintah juga mewajibkan beberapa layanan publik dan birokrasi untuk mensyaratkan kepersertaan BPJS Kesehatan, mulai dari jual-beli tanah, umrah dan haji, hingga mengurus SIM, STNK, dan SKCK. Aturan itu akan mulai efektif pada 1 Maret 2022 mendatang.

Kebijakan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 mengenai Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan telah diteken Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022.

Adapun Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) diketahui menargetkan 98% penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Akan tetapi, hingga 31 Desember 2021, jumlah peserta program tersebut baru mencapai 235 juta penduduk atau 86% total populasi Indonesia.

Atas dasar itu, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Inpres untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, kepesertaan, serta menjamin keberlanjutan program.

Beliau bahkan sudah meminta lembaga-lembaga terkait untuk menyempurnakan regulasinya guna memastikan pemohon layanan publik di dalam naungan mereka adalah peserta aktif BPJS Kesehatan.

Sejatinya BPJS Kesehatan telah mencatat surplus pada akhir 2021. Menurut Dirut BPJS Kesehatan, Ali Ghufron, surplus itu berhasil diraih lantaran adanya lonjakan signifikan pada aset bersih dana jaminan sosial-kesehatan selama periode 2021.

Tercatat sampai bulan Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial-kesehatan menyentuh Rp39,45 triliun. Angka itu meningkat dibanding periode 2019 dan 2020 yang mencatatkan defisit sebesar Rp51 triliun dan Rp5,69 triliun.

Adapun posisi aset bersih itu, menurut Ghufron, berada dalam kondisi sehat dan mampu untuk memenuhi estimasi 4,83 bulan pembayaran klaim ke depan. Nilai itu sudah melebihi ketentuan minimum yang ditetapkan di dalam PP Nomor 84 Tahun 2015.

Yang lantas menjadi pertanyaan, saat neraca keuangan BPJS Kesehatan telah menunjukkan peningkatan, mengapa negara justru menerbitkan aturan yang tak ada korelasinya sama sekali dengan bidang kesehatan masyarakat?

Memang, kondisi keuangan itu belum betul-betul aman mengingat ekskalasi pandemi yang masih sukar diprediksi. Tujuan pemerintah perihal penerbitan aturan itu pun mulia, agar masyarakat bersedia mendaftar ke dalam program tersebut serta terjamin nasibnya andai sewaktu-waktu sakit.

Hanya saja, ada kesan beleid itu terlalu berlebihan dan dipaksakan agar warga yang belum mendaftar, bahkan yang belum punya kemampuan membayar premi terdorong–jika bukan terpaksa–mengikuti program BPJS Kesehatan.

Berangkat dari sana, saya mengusulkan beberapa hal fundamental sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah sebelum menjalankan aturan tersebut.

Tak Sesuai Reformasi Birokrasi
Birokrasi merupakan mesin penggerak bagi pembagunan dan pelayanan publik. Adapun reformasi birokrasi merupakan pilar utama dalam era kepemerintahan Presiden Jokowi.

Beliau sebelumnya kerap melontarkan kritik terhadap berbagai birokrasi yang menghambat program pembangunan lantaran prosesnya yang panjang serta terlalu berbelit-belit.

Kebijakan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat sejumlah akses layanan publik bisa dikatakan amat kontradiktif dengan jargon reformasi birokrasi yang selama ini dikampanyekan istana.

Pasalnya, masyarakat sering kali masih mengalamai kesulitan saat mengakses layanan publik. Saat ini, beban mereka harus ditambah lagi dengan munculnya persyaratan baru yang harus dipenuhi.

Alih-alih bisa menjadi lebih sederhana, mudah, dan cepat, aturan itu akan makin menambah rumit proses birokrasi yang harus dipenuhi masyarakat yang hendak mengurus berbagai layanan publik yang ditargetkan oleh negara.

Wajar saya pikir saat menyebut bahwa beleid itu tidak sejalan dengan prinsip reformasi birokrasi. Apalagi jika proses birokrasinya masih harus menyertakan fotokopi dibanding memakai data yang telah terintegrasi. Makin banyak syarat, tentunya makin rumit dan panjang pula proses birokrasinya.

Dilema Kelas Menengah ke Bawah
Melansir laman resmi BPJS Kesehatan, kelompok penerima bantuan iuran (PBI JK) adalah orang yang tergolong dalam kategori fakir miskin atau orang yang tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan. Dengan begitu iuran peserta mereka bakal ditanggung pemerintah.

Dari sana bisa didapatkan fakta bahwa pemerintah lebih banyak membidik masyarakat kelas bawah. Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah belum tersentuh bantuan yang sama.

Adanya PHK massal yang didominasi masyarakat kelas menengah ke bawah selama pandemi dapat menjadi cermin bagi pemerintah bahwa kelompok yang rentan dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar iuran bukan sebatas warga kelas bawah saja.

Golongan masyarakat rentan itu sudah dapat diklasifikasikan dalam kelompok tidak mampu, sebagaimana yang tertera dalam beleid BPJS Kesehatan (UU SJSN) yang berbunyi:

Orang tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran Jaminan Kesehatan bagi dirinya dan keluarganya.

Berkaca dari hal itu, hendaknya negara juga memberikan kompensasi khusus untuk masyarakat lapisan menengah ke bawah yang mungkin sampai hari ini belum memperoleh pekerjaan atau yang kesulitan membayar premi. Sehingga, hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik, teruhlah pengurusan SIM dan SKCK, tak sampai tergadaikan.

Perlu Sumber Dana Alternatif
Defisit keuangan yang sempat dialami BPJS Kesehatan menunjukkan urgensi, sudah waktunya pemerintah mencari serta memperluas alternatif sumber pendanaan lain di luar iuran peserta.

Dalam laporannya, SMERU Research Institute mengajukan sejumlah poin rekomendasi sumber dana alternatif untuk BPJS Kesehatan. Salah satunya dengan mengoptimalkan pajak dosa (sin tax), seperti menambah cukai alkohol, memberlakukan cukai minuman manis serta makanan tidak sehat lain.

Dalam hal ini, diperlukan terobosan dari negara dengan memperluas ruang fiskal untuk sumber pendanaan JKN. Dengan begitu, negara tidak harus memaksakan BPJS Kesehatan menjadi syarat dalam memperoleh layanan publik yang tidak ada korelasinya dengan kesehatan.

Perbaiki Layanan
Ombudsman mencatat ada banyak aduan tentang pelayanan BPJS Kesehatan yang dilaporkan masyarakat meliputi masalah antrean pelayanan, pasien yang ditolak rumah sakit, dan fasilitas kesehatan.

Di samping itu, tindakan tertentu seperti operasi yang kerap mundur dan sulitnya mendapatkan jadwal penanganan juga kerap dikeluhkan publik. Ketesersediaan obat-obatan tertentu yang hingga kini tak ditanggung asuransi kian menambah panjang pekerjaan rumah internal BPJS Kesehatan.

Alih-alih memaksakan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat akses layanan masyarakat, hendaknya pemerintah terus mendorong internal BPJS Kesehatan guna memperbaiki layanannya terlebih dahulu.

Saya kira pendekatan itu lah yang paling ampuh dan bijak dalam mengembalikan kepercayaan publik. Harapannya, mereka dengan suka rela mendaftarkan dirinya sebagai peserta.

Setuju Dengan Catatan
Kebijakan yang dipaksakan semacam itu akan memicu dugaan dan polemik dalam masyarakat. Tidakkah cukup pemerintah mengeruk keringat rakyat dari pungutan pajak, sehingga mereka mulai memakai cara-cara yang terlalu dipaksakan?

Selain itu, dalam kondisi ekonomi yang belum stabil, kebijakan itu tentu kurang tepat untuk diterapkan saat ini. Menurut World Employment and Social Outlook (WESO) edisi 2022, angka pengangguran di Tanah Air tahun 2022 ini diperkirakan mencapai 6,1 juta orang. Tidak berubah dari tahun lalu.

Kalau terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi demi mendapatkan pelayanan publik, terutama untuk mengurus SIM serta SKCK, lantas bagaimana dengan nasib masyarakat lapisan menengah ke bawah yang tidak termasuk kelompok yang ditanggung negara. Terlebih lagi, bagi mereka yang masih menganggur.

Dalam hal jual-beli tanah, umroh dan haji, serta pengurusan STNK, saya setuju apabila BPJS Kesehatan diwajibkan bagi kelompok masyarakat tersebut. Sebab, saya meyakini, mereka yang berurusan dengan kedua birokrasi itu adalah orang-orang yang mampu serta mempunyai kemampuan untuk membayar premi.

Sementara terkait aktivitas pembuatan SIM serta SKCK, sebaiknya pemerintah tak mewajibkannya karena bukan hanya orang-orang mampu saja yang berhak mendapatkan kedua layanan itu.

Apalagi, di tengah pandemi, yang mana banyak warga kelas menengah ke bawah yang kehilangan pekerjaan karena PHK massal. Adapun SIM dan SKCK kerap kali dijadikan sebagai syarat untuk melamar pekerjaan. Tanpa akses BPJS Kesehatan, mereka juga sulit mendapat pekerjaan.

Kiranya pemerintah juga perlu membuat survei yang menyasar warga yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta aktif, apakah mereka tidak menjadi peserta akibat malas membayar premi kendati mampu atau akibat kemampuan bayar mereka yang tidak memungkinkan?

Bila kondisi finansial mereka memang tidak memungkinkan untuk membayar iuran, di sana lah negara harus hadir.

Namun, jika memang pemerintah sudah benar-benar tidak mempunyai cara lain guna memperbaiki kondisi finansial JKN-BPJS Kesehatan, setidaknya berikanlah kompensasi bagi kelompok rentan agar mereka tetap bisa mendapatkan akses kesehatan dan pelayanan publik terkait.

Pemerintah jangan sampai lupa dengan bunyi pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun