Dari sudut pandang pejabat, kebijakan itu dipilih supaya mereka tak terhambat kala tengah menjalankan tugas pemerintahan. Mereka meyakini, masa karantina 14 hari terlalu panjang serta bisa mengakibatkan mandeknya proses birokrasi.
Dalih dari kalangan birokrat itu ternyata sama persis dengan keterangan dari Juru Bicara Satgas. Wiku menyebutkan bahwa pemberian diskresi itu ialah agar layanan publik tetap dijalankan bagi kepentingan masyarakat. Kebetulan atau janjian?
Saya tidak terlalu yakin, tugas-tugas para pejabat akan terbengkalai tatkala mereka menjalani isolasi di hotel khusus pada era yang sudah sangat maju dan serba digital seperti sekarang ini. Kecuali, jika mereka menjalani isolasi di gua-gua peninggalan manusia purba di pedalaman Kalimantan.
Nyaris semua tugas kini dapat dikerjakan tanpa perlu tatap muka, sehingga asumsi macetnya birokrasi ketika mereka bekerja dari hotel karantina bisa dikatakan cukup berlebihan, lebay. Apalagi dengan sumber daya tak terbatasnya, mereka tentu dapat memenuhi kebutuhan dalam mendukung tugas-tugas pemerintahan dengan begitu mudah. Mau ini itu tinggal tunjuk!
Revisi aturan itu memberi kesan seolah-olah yang selama ini yang bekerja hanya kalangan pejabat. Sementara warga sipil tidak. Regulasi terbaru itu seakan-akan juga menegaskan jika virus corona dapat membedakan serta memilih mangsanya, mana pejabat dan mana warga sipil.
Sependek ingatan saya, virus corona tak akan pernah pandang bulu kala memilih mangsanya. Siapa saja memiliki potensi yang sama terpapar Covid-19 mulai dari yang miskin, kaya, lali-laki, perempuan, pejabat, warga sipil, hingga kaum jomlo, semua bisa tertular tanpa pengecualian.
Apakah dengan menjadi seorang pejabat publik bisa menghasilkan antibodi yang sangat kebal terhadap infeksi Covid-19? Bukankah pejabat juga masih manusia?
Aturan yang acap kali berubah-ubah itu, tentu tak memenuhi prinsip keadilan di mata masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini sudah mematuhi semua protokol kesehatan. Warga yang dengan kesadaran tinggi menjalani isolasi, akan merasa terhianati lantaran regulasi yang sifatnya "Isuk dele, sore tempe", selaras dengan keinginan para pejabat.
Dalam hal ini, kebijakan Satgas Covid-19 kian menegaskan, budaya birokrasi yang kerap tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi. Revisi regulasi karantina agaknya didasarkan pada kekuasaan DPR sebagai entitas pengawas kerja Satgas Covid-19. Ketimpangan relasi kekuasaan itu amat mungkin membuat mereka tunduk pada kepentingan pejabat yang lebih tinggi.
Regulasi yang tumpul terhadap pejabat tertentu menunjukkan bahwa kebijakan itu tak dibangun dengan pertimbangan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat (public health evidence-based policy).
Munculnya sejumlah kasus pelanggaran isolasi seperti yang dilakukan oleh WNA, selebritas, hingga anggota DPR idealnya menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk lebih mengetatkan kembali regulasi dan pelaksanaan protokol di lapangan. Kalau tidak, sebagai konsekuensinya, agaknya wajar jika masyarakat makin tak percaya terhadap kinerja pemerintah.