Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Silang Sengkarut Karantina, untuk Kepentingan Siapa?

20 Desember 2021   13:05 Diperbarui: 22 Desember 2021   18:15 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karantina mandiri pejabat. | Shutterstock via Kompas.com

Keadilan sosial bagi seluruh pejabat Indonesia. Mungkin adagium itu lah yang cocok disematkan pada karantina khusus pejabat usai direvisi.

Belum reda rasa gemas saya akibat hasil sidang seorang selebgram yang divonis bebas dengan dalih kesopanan. Kendati kabur dari karantina dan sudah terbukti melalukan praktik suap, Rachel Vennya hanya dihadiahi hukuman percobaan.

Aturan hanyalah formalitas tanpa nilai jika implementasinya di lapangan tidak selaras dengan apa yang tertulis di atas kertas. Hukum di Indonesia sering kali mendadak jadi pemaaf jika melibatkan figur publik dan kalangan yang berduit.

Kini, saya juga dipaksa untuk menahan geram akibat perilaku keluarga pejabat–dari kalangan pesohor–yang kedapatan sedang keluyuran usai bersafari ke luar negeri. 

Menurut pantauan netizen +62, sekeluarga pejabat itu sedang berada di sebuah mall di wilayah Pondok Indah–meskipun saat itu belum genap 10 hari setibanya mereka dari luar negeri.

Tidak lama berselang, untuk menyikapi kabar itu, Satgas Penanganan Covid-19 buru-buru merevisi regulasi karantina yang sebelumnya telah diterapkan. Jika menilik respons Satgas, agaknya kabar pelanggaran karantina oleh pejabat itu bukanlah isapan jempol belaka.

Satgas mendadak jadi sangat responsif dalam menyikapi diskursus yang sudah terlanjur bergulir panas. Bisa jadi revisi regulasi itu dipicu oleh adanya temuan masyarakat atas pelanggaran karantina oleh anggota DPR beserta keluarganya.

Entah, apakah aturan itu sengaja dibikin semata-mata agar para pejabat yang tak ingin terlalu lama melakukan karantina, tidak terjerat masalah hukum?

Oleh Satgas Covid-19, mereka diberikan keistimewaan untuk memilih karantina mandiri di rumah dengan jangka waktu yang lebih pendek. Padahal, jika menilik regulasi awal, mereka diwajibkan untuk karantina di fasilitas khusus alih-alih di rumah mereka masing-masing, dengan durasi karantina yang lebih singkat.

Menurut Surat Edaran (SE) Satgas Nomor 23 tahun 2021, tidak diatur bahwa pejabat dalam negeri, dalam hal ini anggota DPR, bisa menjalani karantina mandiri setelah melakukan perjalanan dinas luar negeri.

Adapun menurut regulasi terbaru dalam SE Satgas Nomor 25 tahun 2021, sebatas diatur bahwa pejabat selevel eselon I ke atas, wajib menjalani karantina mandiri di kediamannya masing-masing selama 10x24 jam. Bahkan, boleh kurang dari 10 hari jika untuk perjalanan dinas. Lantas, apakah semua anggota dewan termasuk pejebat setingkat eselon I?

Kalau didasarkan pada pernyataan Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito, pimpinan DPR-RI dan anggota DPR-RI sudah termasuk pejabat eselon I seperti yang disebutkan dalam UUD 1945.

Masalahnya, tatkala virus corona varian Omicron mulai "menginvasi" Indonesia, lalu mengapa pemerintah melalui Satgas justru memberikan diskresi bagi pejabat?

Bukankah dengan sudah masuknya virus corona varian Omicron di Indonesia, bisa menjadi momentum untuk memperketat protokol kesehatan? Tengoklah Belanda dan beberapa negara lain yang baru-baru ini terpaksa harus menerapkan lockdown akibat kasus Covid-19 yang kembali naik.

Katika pemerintah meminta masyarakat supaya tidak mengendurkan penerapan protokol kesehatan, mengapa sekarang mereka sendiri yang membuat kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif?

Aturan yang diharapkan dapat menekan angka penularan corona varian Omicron, justru direvisi sesuai kepentingan kaum minoritas kelas atas–yang hobi plesiran ke luar negeri memakai uang rakyat.

Anehnya, aturan yang ditetapkan Satgas amat kontras dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dari kontradiksi aturan itu, tampaknya tidak ada koordinasi di antara kedua lembaga. Ternyata mereka belum bisa belajar dari pengalaman sebelumnya guna meredam ego sektoral yang bikin warga bingung.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, sempat menegaskan bahwa "setiap pelaku" perjalanan internasional tanpa ada pengecualian, wajib menjalani karantina di fasilitas-fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah. Ia mengacu pada SE Satgas Nomor 23 Tahun 2021.

Hal itu ia sampaikan saat menanggapi isu Mulan Jameela yang diduga tak menjalani karantina. Sebelum kemudian regulasi itu buru-buru direvisi oleh Satgas Covid-19.

Apalagi sebelumnya Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19, Luhut Panjaitan, mengumumkan larangan untuk pejabat publik bepergian ke luar negeri. Sayang, larangan itu hanya lips service sebab tak ada sanksi yang diberikan meski mereka telah terbukti bepergian ke luar negeri.

Untuk kepentingan siapa sesungguhnya Satgas Penanganan Covid-19 membuat dan merivisi aturan protokol kesehatan?

Sejatinya, kebijakan dalam memberikan dispensasi karantina untuk pejabat yang bersafari dinas ke luar negeri, amat sulit diterima akal sehat. Selain diskriminatif, kebijakan itu juga terlalu riskan lantaran bisa menambah risiko invasi Omicron.

Dari sudut pandang pejabat, kebijakan itu dipilih supaya mereka tak terhambat kala tengah menjalankan tugas pemerintahan. Mereka meyakini, masa karantina 14 hari terlalu panjang serta bisa mengakibatkan mandeknya proses birokrasi.

Dalih dari kalangan birokrat itu ternyata sama persis dengan keterangan dari Juru Bicara Satgas. Wiku menyebutkan bahwa pemberian diskresi itu ialah agar layanan publik tetap dijalankan bagi kepentingan masyarakat. Kebetulan atau janjian?

Saya tidak terlalu yakin, tugas-tugas para pejabat akan terbengkalai tatkala mereka menjalani isolasi di hotel khusus pada era yang sudah sangat maju dan serba digital seperti sekarang ini. Kecuali, jika mereka menjalani isolasi di gua-gua peninggalan manusia purba di pedalaman Kalimantan.

Nyaris semua tugas kini dapat dikerjakan tanpa perlu tatap muka, sehingga asumsi macetnya birokrasi ketika mereka bekerja dari hotel karantina bisa dikatakan cukup berlebihan, lebay. Apalagi dengan sumber daya tak terbatasnya, mereka tentu dapat memenuhi kebutuhan dalam mendukung tugas-tugas pemerintahan dengan begitu mudah. Mau ini itu tinggal tunjuk!

Revisi aturan itu memberi kesan seolah-olah yang selama ini yang bekerja hanya kalangan pejabat. Sementara warga sipil tidak. Regulasi terbaru itu seakan-akan juga menegaskan jika virus corona dapat membedakan serta memilih mangsanya, mana pejabat dan mana warga sipil.

Sependek ingatan saya, virus corona tak akan pernah pandang bulu kala memilih mangsanya. Siapa saja memiliki potensi yang sama terpapar Covid-19 mulai dari yang miskin, kaya, lali-laki, perempuan, pejabat, warga sipil, hingga kaum jomlo, semua bisa tertular tanpa pengecualian.

Apakah dengan menjadi seorang pejabat publik bisa menghasilkan antibodi yang sangat kebal terhadap infeksi Covid-19? Bukankah pejabat juga masih manusia?

Aturan yang acap kali berubah-ubah itu, tentu tak memenuhi prinsip keadilan di mata masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini sudah mematuhi semua protokol kesehatan. Warga yang dengan kesadaran tinggi menjalani isolasi, akan merasa terhianati lantaran regulasi yang sifatnya "Isuk dele, sore tempe", selaras dengan keinginan para pejabat.

Dalam hal ini, kebijakan Satgas Covid-19 kian menegaskan, budaya birokrasi yang kerap tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi. Revisi regulasi karantina agaknya didasarkan pada kekuasaan DPR sebagai entitas pengawas kerja Satgas Covid-19. Ketimpangan relasi kekuasaan itu amat mungkin membuat mereka tunduk pada kepentingan pejabat yang lebih tinggi.

Regulasi yang tumpul terhadap pejabat tertentu menunjukkan bahwa kebijakan itu tak dibangun dengan pertimbangan ilmu-ilmu kesehatan masyarakat (public health evidence-based policy).

Munculnya sejumlah kasus pelanggaran isolasi seperti yang dilakukan oleh WNA, selebritas, hingga anggota DPR idealnya menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk lebih mengetatkan kembali regulasi dan pelaksanaan protokol di lapangan. Kalau tidak, sebagai konsekuensinya, agaknya wajar jika masyarakat makin tak percaya terhadap kinerja pemerintah.

Para pejabat lah yang mestinya menjadi teladan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan. Ketimbang menjadi kekuatan pendorong, revisi regulasi itu justru membuka ruang previliese–yang makin menjauhkan jarak antara pejabat negara dengan masyarakat umum. 

Perlakuan istimewa itu akan berpotensi mengancam keselamatan warga apabila pejabat yang diganjar diskresi karantina justru menjadi biang penyebaran Covid-19. Alangkah bijaknya kalau pemerintah menimbang ulang pemberian previlese karantina terhadap para pejabatnya.

Semua regulasi soal protokol kesehatan, hendaknya diracang untuk keselamatan warga dengan menjamin unsur keadilan serta kesamaan perlakuan antar seluruh warga negara tanpa mempertimbangkan jabatan atau kekuasaannya.

Kalau memang Satgas bersikeras dengan revisi aturan karantina itu, maka mereka harus benar-benar dapat menjamin para pejabat yang tengah menjalani karantina mandiri, tak coba-coba berulah.

Jika nantinya ada pejabat yang 'terciduk' basah oleh netizen +62 masih keluyuran di luar rumah, Satgas lah pihak pertama yang dimintai pertanggungjawabannya, khusunya dalam hal menjatuhi sanksi.

Jangan biarkan ada Jameela-Jameela lain di antara kita, di antara masyarakat yang selama ini mematuhi protokol kesehatan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun