Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencintai Bahasa Daerah ala Cak Dave, Londo Kampung yang Rada Sedeng

17 November 2021   12:02 Diperbarui: 28 April 2022   05:33 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah dominasi gaya dialek gado-gado ala anak Jaksel, ada sosok bule yang merebut atensi lewat bahasa Jawa Suroboyoan yang sangat khas. Melalui logat medoknya, ia mengajarkan kita untuk mencintai bahasa daerah.

Dalam lawatannya ke Magelang, seorang pria bule memutuskan untuk mampir ke sebuah warung sederhana. Sosok wanita, rekan dari pemilik warung itu, langsung menghampirinya dengan sangat ramah.

"Do you sell foods here," tanya pria bule berambut merah.
"Souvenir?" jawab sang ibu dengan rasa percaya diri tinggi.
"No, no. Not souvenir. Foods. You have got foods here?"
"Are you speak Indonesian, no?"

Si ibu yang memang sudah buntu, mulai tenggelam dalam kebingungan. Ia tidak paham dengan apa yang dikatakan sang lalaki bule yang menghujaninya dengan beragam pertanyaan keminggris.

"Do you sell only drinks or also foods?" tanya si pria bule kembali memastikan. Entah mengapa bule itu terlihat sangat menikmati kebingungan yang dialami sosok ibu berjilbab itu. "I need to eat."

Alih-alih menawarkan makanan, sang ibu justru membuka lemari pendingin. Dia lantas menunjukkan berbagai jenis minuman yang tersedia di sana.

Si bule yang tengah asik melihat lawan bicaranya kebingungan lantas kembali bertanya, "What about foods?"

Dalam kebingungan yang merajalela, si ibu pemilik warung akhirnya keluar dari sarangnya, dan memotong pembicaraan. "Ok. To eat. To eat. Ok. Fried rice I have. Come here," sergahnya.

Singkat kisah, ketika si pria bule hendak memvideokan dirinya sedang memakan soto, ternyata dia bisa berbicara melalui dialek Jawa dengan khusyuk nan medok.

"Iki, Rek, pangananku wes teko. Iki ono soto ayam," kata sang lelaki bule tanpa rasa berdosa sedikit pun.

Sontak, seisi warung dia buat terperanjat. Mereka kompak menyesalkan sikap sang bule tengil yang tidak mengobrol dengan menggunakan bahasa Jawa sejak awal.

Bagi pecinta konten komedi di YouTube, tentunya sudah tak asing dengan dialog di atas. Seorang bule berdarah Australia itu memang selalu tampil menggunakan bahasa Jawa dalam setiap videonya.

Dia mulai dikenal publik usai mengover sebuah lagu lawas gubahan Joshua yang berjudul "Diobok-obok" menggunakan dialek Jawa pada 2016 lalu. Videonya itu berhasil merebut atensi si penyanyi asli. Joshua bahkan pernah membuat konten reaksi dari video perdana yang diunggah oleh sang bule berlogat medok tersebut.

Kini, pria kelahiran Negeri Kanguru ini sudah mengantongi lebih dari 4,43 juta pelanggan (subscribers) dalam platform YouTube melalui akun LondoKampung. Konten karyanya saat ini bahkan sudah ditonton sebanyak 436 juta kali lebih.

Londo (bule), berambut merah, humoris, dan sangat jago menuturkan dialek Jawa khas Suroboyoan. Beberapa atribut yang melekat erat di dalam diri David Andrew Jephcott alias Londo Kampung.

Para penggemarnya acap memanggilnya dengan sebutan "Cak Dave" supaya lebih membumi. Adapun "cak" sendiri, adalah panggilan khas di wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya, yang berarti "bang" atau "mas".

Aksen medok Suroboyoan yang selalu ia tuturkan, terkesan amat kontras dengan tampangnya. Hal itu lah yang sering kali bikin orang heran. Tidak lama, tawa pun pecah. Mereka bingung dengan Cak Dave yang seorang bule, tetapi bisa berbahasa Jawa dengan begitu lancar.

''Gumun ta, Aku ngomong Jowo?'', ialah kalimat pamungkas yang acap ia katakan dalam setiap konten prank-nya. Artinya, "Heran ya, Aku ngomong bahasa Jawa?"

Saya sendiri pun sempat terheran-heran. Mana mungkin bule bisa sefasih itu kala menuturkan dialek Jawa ala Suroboyoan dengan aksen yang amat medok. Bahkan logat medoknya lebih kental ketimbang gaya tutur orang-orang asli Surabaya.

Ternyata, sejak usia dua tahun, sekitar tahun 1989, dia diboyong orangtuanya untuk pindah ke Indonesia karena sang ayah mendapatkan kesempatan untuk bekerja sebagai dosen di Kota Surabaya.

Di kota yang sama, Cak Dave mengikuti program pendidikan "homeschooling" dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun, di luar rumah, dia lebih sering berinteraksi dengan bocah-bocah asli Surabaya di sekitar tempat tinggalnya, yang berbicara melalui bahasa Jawa.

“Saya terbiasa bahasa Jawa karena semua teman saya waktu itu juga berbahasa Jawa,” ujar pria yang kini sudah berusia 33 tahun itu dalam acara Kick Andy.

Makin hari, dialek Jawanya makin mahir saja. Ia pun tak kesulitan untuk melayani obrolan teman-teman sebayanya. Hal itu juga yang membuat dirinya sangat betah untuk tinggal di Indonesia.

Masa-masa itu yang bikin dirinya jatuh cinta pada Surabaya. Ketika keluarganya harus kembali ke kampung halamannya di Australia, ia memutuskan untuk tetap tinggal. Dia merasa lebih nyaman untuk menetap di Kota Pahlawan ketimbang di kota kelahirannya sendiri, Melbourne.

Ia memang sempat kembali ke Australia pada tahun 2000 lalu. Ia menjalani masa remaja hingga masa berkuliah di Deakin University, Melbourne. Usai balik lagi ke Nusantara, dia menjadi pengajar bahasa Inggris di sekolah internasional di Kota Pahlawan. Kini, Cak Dave telah menikah dengan perempuan asli Indonesia, serta sudah dikaruniai dua anak.

Belajar Mencintai Bahasa Daerah

Selama tinggal di Surabaya, dia memang sangat gemar berinteraksi dengan konco-konco sekampungnya. Dari situlah dialek Jawanya terasah. ''Saya justru tidak bisa berbahasa Indonesia kala itu,'' ucapnya. 

Maklum, familinya pun jarang berbicara lewat bahasa Indonesia. Di dalam rumah, orangtuanya berinteraksi melalui bahasa Inggris. Begitu pula ketika homeschoolig. Cak Dave justru belajar bahasa Indonesia dengan bantuan televisi.

Meski begitu, ia lebih suka menggunakan dialek Jawa di kehidupan sehari-harinya. Dia tak terlihat canggung sedikit pun saat menggunakan ragam bahasa yang sering dianggap kampungan itu.

Cak Dave juga paham betul, saat sedang berbahasa Jawa, orang yang melihatnya sering kali tertawa. Bukan lantaran tata bahasanya yang salah, tetapi kesan tidak biasa bahwa sebagai sosok bule dia amat fasih bertutur bahasa Jawa.

Penampilan fisiknya yang menonjolkan karakter bule, membuat orang-orang di sekitarnya terpancing untuk mengajak dirinya mengobrol dalam bahasa Inggris, alih-alih bahasa Jawa atau Indonesia.

''Kalau ada yang seperti itu, tak jawab pakai bahasa Jawa, ben tambah ngakak,'' ungkapnya.

Mungkin mereka berpikir, "Kok iso bule nggawe boso Jowo medok koyok ngono". Realitas itu seakan-akan menampar kita, sebagai warga asli Nusantara yang justru lebih bangga menggunakan bahasa asing. Terlebih lagi, yang dicampur-campur ala anak Jaksel kekinian.

Banyak orang yang beranggapan, bahasa daerah itu norak, kampungan, udik, atau sederet stigma negatif lain. Di Surabaya sendiri juga tidak jarang dijumpai warga lokal yang mulai enggan berbahasa Jawa.

Parahnya, kini banyak sekali anak muda yang lebih fasih dalam berbahasa Inggris ketimbang menggunakan bahasa ibunya. Fakta itu berbanding terbalik dengan Cak Dave yang malah lebih bangga memakai dialek Surabayoan. Logat medoknya pun begitu kental. Jauh lebih kental daripada kuah soto Lamongan di kedai mana pun.

Kendati masih berpaspor Australia serta bertampang bule, Cak Dave tidak pernah sungkan, malu, atau risih menggunakan bahasa dengan jumlah penutur terbesar di Indonesia itu.  Sebab, baginya, bahasa Jawa itu keren! Ia merasa beruntung dan senang bisa menguasainya.

Dalam beberapa konten prank-nya, ia tak pernah sungkan mengerjai bule lain yang ditemuinya dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak berlebihan jika menjulukinya dengan sebutan londo sedeng.

Melihat tren generasi muda zaman kiwari yang kerap kali melupakan bahasa ibunya sendiri, dia merasa amat prihatin. Bahasa daerah, baginya, harus dijadikan sebagai sebuah kebanggaan dan identitas. Bukan malah dianggap sebagai momok atau aib yang patut untuk disembunyikan.

Sebagai sosok lelaki bule, Cak Dave saja jatuh cinta dengan bahasa Jawa. Masak warga lokal Nusantara yang sarat akan budaya, malah mencampakkan bahasa daerahnya masing-masing?

Alih-alih ogah bertutur dengan bahasa daerah, kita seharusnya malu tidak bisa menempatkan bahasa sesuai porsinya. Kita harus malu karena tak bangga dan tidak fasih menuturkan bahasa daerah kita masing-masing.

Saya bukan anti terhadap bahasa asing serta bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama krusialnya dengan bahasa daerah. Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing. Prinsip itu yang selama ini saya yakini.

Dalam sebuah riset yang dianggit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud terhadap 90 bahasa daerah di Indonesia, menemukan sedikitnya ada 11 bahasa daerah yang sudah punah. Apa harus menunggu bahasa daerah lainnya turut punah baru kita menuturkannya?

Jika bukan kita sendiri, warga asli Tanah Air, yang melastarikannya, lalu siapa lagi yang akan mewariskan kekayaan bahasa daerah Nusantara ke anak serta cucu kita kelak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun