Banyak orang yang beranggapan, bahasa daerah itu norak, kampungan, udik, atau sederet stigma negatif lain. Di Surabaya sendiri juga tidak jarang dijumpai warga lokal yang mulai enggan berbahasa Jawa.
Parahnya, kini banyak sekali anak muda yang lebih fasih dalam berbahasa Inggris ketimbang menggunakan bahasa ibunya. Fakta itu berbanding terbalik dengan Cak Dave yang malah lebih bangga memakai dialek Surabayoan. Logat medoknya pun begitu kental. Jauh lebih kental daripada kuah soto Lamongan di kedai mana pun.
Kendati masih berpaspor Australia serta bertampang bule, Cak Dave tidak pernah sungkan, malu, atau risih menggunakan bahasa dengan jumlah penutur terbesar di Indonesia itu. Sebab, baginya, bahasa Jawa itu keren! Ia merasa beruntung dan senang bisa menguasainya.
Dalam beberapa konten prank-nya, ia tak pernah sungkan mengerjai bule lain yang ditemuinya dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak berlebihan jika menjulukinya dengan sebutan londo sedeng.
Melihat tren generasi muda zaman kiwari yang kerap kali melupakan bahasa ibunya sendiri, dia merasa amat prihatin. Bahasa daerah, baginya, harus dijadikan sebagai sebuah kebanggaan dan identitas. Bukan malah dianggap sebagai momok atau aib yang patut untuk disembunyikan.
Sebagai sosok lelaki bule, Cak Dave saja jatuh cinta dengan bahasa Jawa. Masak warga lokal Nusantara yang sarat akan budaya, malah mencampakkan bahasa daerahnya masing-masing?
Alih-alih ogah bertutur dengan bahasa daerah, kita seharusnya malu tidak bisa menempatkan bahasa sesuai porsinya. Kita harus malu karena tak bangga dan tidak fasih menuturkan bahasa daerah kita masing-masing.
Saya bukan anti terhadap bahasa asing serta bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama krusialnya dengan bahasa daerah. Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing. Prinsip itu yang selama ini saya yakini.
Dalam sebuah riset yang dianggit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud terhadap 90 bahasa daerah di Indonesia, menemukan sedikitnya ada 11 bahasa daerah yang sudah punah. Apa harus menunggu bahasa daerah lainnya turut punah baru kita menuturkannya?
Jika bukan kita sendiri, warga asli Tanah Air, yang melastarikannya, lalu siapa lagi yang akan mewariskan kekayaan bahasa daerah Nusantara ke anak serta cucu kita kelak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H