Dalam menjalankan tugasnya, seorang jurnalis dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999 sehingga tatkala terjadi sengketa hukum terkait isi berita, akan dimediasi oleh Dewan Pers, dan bukan berlanjut ke meja pengadilan.
Lain halnya dengan jurnalis warga, yang saat terjadi sengketa, akan dijerat dalam koridor UU Nomor 11 tahun 2008 terkait ITE, yang bisa berujung pada penjara.
Memang benar bahwa jurnalis warga tak dapat disamakan dengan profesi jurnalis profesional. Akan tetapi, mereka tetaplah sama seperti warga negara lain yang juga memerlukan perlindungan atas aspirasi yang mereka kemukakan di ruang publik.
Sehingga, butuh adanya jaminan hukum bagi pegiat jurnalisme warga, bisa dalam wujud Undang-undang khusus atau juga pembentukan otoritas yang bisa menjadi mediator–andai terjadi sengketa hukum terkait materi konten.
Namun, semua itu mustahil tercipta jika belum ada upaya perbaikan atas adanya pasal-pasal karet (UU ITE) yang mampu mengirim orang-orang tidak berdosa ke dalam jeruji penjara.
Andai kata hal itu tetap dibiarkan, maka terminologi negeri lopar-lapor memang pantas guna disematkan pada Indonesia. Ya, sebab memang begitulah fakta yang sesungguhnya.
Selamat datang di negeri lopar-lapor!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H