Dugaan makin menguat ketika peneliti independen mengklaim, banyak orang yang tampak mengenakan baju seragam berwarna senada, lantas berjalan dalam barisan di antara bangunan tersebut
Cina telah berulang kali menepis kabar negatif terkait kamp-kamp yang dihuni oleh suku minoritas di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa area itu merupakan lokasi 'pendidikan ulang' (re-edukasi).
Adapun sejumlah pabrik teksil di Xinjiang tersebut, menurut klaim mereka, adalah bagian dari 'program besar pengentasan kemiskinan' yang diikuti secara sukarela alias tanpa paksaan.
Dokumen yang dianggap bukti baru itu adalah kompilasi surat-surat kebijakan pemerintah yang ditemukan di internet dan sumber berita media milik otoritas internal Negeri Panda.
Penemuan itu memaparkan pada tahun 2018, pemerintah kota Aksu dan Hotan telah mengirim 210 ribu pemetik kapas lewat skema transfer tenaga kerja untuk organisasi paramiliter negara, Xinjiang Construction and Production Corps.
Sejatinya keberadaan kamp re-edukasi di wilayah Xinjiang dengan sendirinya telah menguatkan adanya praktik kerja paksa.
Mari sejenak kita mengulas fakta sejarah terkait eksistensi dan fungsi kamp-kamp konsentrasi, atau yang oleh Cina disebut dengan kamp "re-edukasi", di beberapa negara di dunia.
Keberadaan kamp konsentrasi bukanlah hal yang baru dalam peradaban manusia. Kamp itu erat kaitannya dengan praktik pelanggaran HAM, mulai dari pelecehan, dehumanisasi, pemerkosaan, sterilisasi, penyiksaan, pembunuhan, hingga ritual genosida. Termasuk pula kerja paksa.
Kamp konsentrasi Auschwitz di wilayah Oswiecim, Polandia, menjadi saksi bisu kekejaman Adolf Hitler. Kamp Saydnaya menjadi bangunan penanda kebiadaban rezim Basar Al-Assad di Suriah.
Ada pula kamp konsentrasi di Myanmar yang digunakan sebagai tahanan untuk melakukan genosida terhadap minoritas muslim Rohingnya.