Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cina "Perangi" Nike dan H&M, Benarkah Ada Praktik Kerja Paksa Muslim Uighur?

27 Maret 2021   06:22 Diperbarui: 27 Maret 2021   06:34 3110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ancaman boikot terhadap Nike dan H&M dari publik dan otoritas China. | Diolah dari Kompas.com dan Casper Hedberg/Bloomberg

Nike dan H&M tengah terancam pemboikotan dari Cina lantaran mengkritik adanya praktik kerja paksa muslim Uighur di Xinjiang. Benarkah otoritas Tiongkok telah melakukan praktik keji tersebut?

Perusahaan retail ternama dunia, Nike dan H&M, kini terancam pemboikotan dari Cina. Ancaman tersebut diutarakan usai keduanya menuding bahwa kapas Xinjiang merupakan hasil praktik kerja paksa terhadap muslim Uighur.

Keduanya memang sempat menyatakan "keprihatinan" atas isu itu dan menolak membeli kapas Xinjiang sebagai bentuk penolakan terhadap praktik kerja paksa.

Tak hanya Beijing, ancaman serupa pun digaungkan publik Negeri Tirai Bambu. Sejumlah selebriti mulai dari Wang Yibo, Huang Xuan, hingga Victoria Song telah memutus kontrak dengan keduanya.

Bahkan, platform E-Commerce juga tak mau ketinggalan. Mereka beramai-ramai mencabut semua produk Nike dan H&M.

Media-media pemerintah Cina membuat kampanye yang membela kapas produksi dari Xinjiang dan mengkritik pernyataan dua brand kenamaan tersebut.

Dilaporkan oleh BBC, media otoritas Cina CGTN mengunggah video di Weibo untuk menunjukkan keadaan "asli" dari proses pemetikan kapas di salah satu ladang di Xinjiang, yang juga menggunakan mesin. Mereka ingin meyakinkan publik bahwa tak ada praktik kerja paksa seperti yang dituduhkan oleh otoritas global.

Dalam video tersebut juga menampilkan pengakuan dari seorang petani Uighur yang mengatakan bahwa banyak orang berusaha keras agar bisa bekerja di sana demi memperoleh upah tinggi.

Kampanye serupa terekskalasi di media sosial. Terjadi gelombang kritik terhadap keduanya. Netizen mengajak masyarakat lain untuk memboikot produk mereka.

Tagar "Saya mendukung kapas Xinjiang" menjadi trending topic teratas di Weibo usai dilihat lebih dari 1,8 miliar kali.

Tiongkok memang kerap menggunakan kekuatan dagang dan nasionalisme ritel guna menekan otoritas negara asing dan korporasi multinasional supaya mereka tidak melakukan suatu upaya intervensi terhadap urusan dalam negerinya.

Isu tersebut rupanya telah disikapi secara serius oleh Blok Barat. Pekan ini sejumlah otoritas Barat sudah memberikan sanksi kepada China akibat dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas kelompok minoritas Uighur di Xinjiang.

"Serangan balik" dari otoritas dan publik Cina sejatinya tidak terlepas dari adanya gelombang sanksi yang dilayangkan oleh Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Sanksi yang diberikan berupa pelarangan bepergian dan pembekuan sejumlah aset milik pejabat senior di wilayah barat laut Cina tersebut.

Perlu diketahui, hasil dari ladang kapas Xinjiang berkisar satu perlima produksi kapas dunia dan digunakan oleh banyak pelaku industri fesyen global. Maka tidak heran jika akhirnya isu itu mendapatkan perhatian pemerintah dari seluruh dunia.

Sementara itu, Beijing tetap bersikeras bahwa isu itu hanya kebohongan Barat guna menyudutkan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu.

Namun, ada bukti yang cukup kuat dari hasil investigasi oleh awak media BBC yang agaknya sulit disangkal Tiongkok. Pada Desember 2020 lalu, mereka turun langsung ke lokasi untuk membuktikan kebenaran isu tersebut.

Salah satu ladang kapas di Xinjiang. | BBC.com
Salah satu ladang kapas di Xinjiang. | BBC.com
Mereka menemukan adanya bukti yang kuat bahwa Cina telah memaksa ratusan hingga ribuan suku minoritas, meliputi muslim Uighur, untuk menjalani kerja paksa di ladang kapas di area Xinjiang.

Pandangan itu didasarkan pada sejumlah dokumen penelitian yang ditemukan oleh BBC, yang menunjukkan adanya praktik kerja paksa di perkebunan kapas. Dugaan praktik serupa juga terjadi di sejumlah pabrik tekstil di wilayah yang sama.

Selain itu, salah satu awak mereka juga turun langsung ke distrik Xinjiang guna membuktikan klaim dan dokumen yang mereka temukan.

Mereka menemukan banyak pabrik yang dibangun di wilayah Xinjiang. Beberapa dibangun di dalam tembok kamp atau di dekat bangunan-bangunan tersebut.

Dugaan makin menguat ketika peneliti independen mengklaim, banyak orang yang tampak mengenakan baju seragam berwarna senada, lantas berjalan dalam barisan di antara bangunan tersebut

Cina telah berulang kali menepis kabar negatif terkait kamp-kamp yang dihuni oleh suku minoritas di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa area itu merupakan lokasi 'pendidikan ulang' (re-edukasi).

Adapun sejumlah pabrik teksil di Xinjiang tersebut, menurut klaim mereka, adalah bagian dari 'program besar pengentasan kemiskinan' yang diikuti secara sukarela alias tanpa paksaan.

Bangunan pabrik yang berdampingan langsung dengan bangunan kamp re-edukasi di Xinjiang. | BBC.com
Bangunan pabrik yang berdampingan langsung dengan bangunan kamp re-edukasi di Xinjiang. | BBC.com
Namun, beberapa hasil investigasi BBC mengungkap hal berbeda. Setiap tahun sekitar setengah juta buruh dari kaum minoritas diduga telah digiring dengan paksa untuk memanen tanaman kapas.

Dokumen yang dianggap bukti baru itu adalah kompilasi surat-surat kebijakan pemerintah yang ditemukan di internet dan sumber berita media milik otoritas internal Negeri Panda.

Penemuan itu memaparkan pada tahun 2018, pemerintah kota Aksu dan Hotan telah mengirim 210 ribu pemetik kapas lewat skema transfer tenaga kerja untuk organisasi paramiliter negara, Xinjiang Construction and Production Corps.

Sejatinya keberadaan kamp re-edukasi di wilayah Xinjiang dengan sendirinya telah menguatkan adanya praktik kerja paksa.

Mari sejenak kita mengulas fakta sejarah terkait eksistensi dan fungsi kamp-kamp konsentrasi, atau yang oleh Cina disebut dengan kamp "re-edukasi", di beberapa negara di dunia.

Keberadaan kamp konsentrasi bukanlah hal yang baru dalam peradaban manusia. Kamp itu erat kaitannya dengan praktik pelanggaran HAM, mulai dari pelecehan, dehumanisasi, pemerkosaan, sterilisasi, penyiksaan, pembunuhan, hingga ritual genosida. Termasuk pula kerja paksa.

Kamp konsentrasi Auschwitz di wilayah Oswiecim, Polandia, menjadi saksi bisu kekejaman Adolf Hitler. Kamp Saydnaya menjadi bangunan penanda kebiadaban rezim Basar Al-Assad di Suriah.

Ada pula kamp konsentrasi di Myanmar yang digunakan sebagai tahanan untuk melakukan genosida terhadap minoritas muslim Rohingnya.

Selain itu, kamp Guantanamo yang juga menjadi saksi atas kejahatan HAM yang dilakukan oleh militer AS. Bahkan, aksi yang sama juga masih dijumpai di kamp-kamp perbatasan antara AS dan Meksiko semasa rezim Donald Trump. 

Beberapa kamp itu hanya sebagian kecil kamp konsentrasi yang dibangun khusus guna melakukan segregasi kepada kaum minoritas atau kelompok yang dianggap sebagai musuh pemerintah suatu negara. Dan, seluruhnya melakukan praktik yang sama: pelanggaran HAM.

Di luar kebenaran praktik kerja paksa di Xinjiang, kamp konsentrasi adalah noda hitam peradaban yang sudah seharusnya dilenyapkan. Begitu halnya pelanggaran HAM yang kerap mengikutinya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun