Lantas, bagaimana dengan pejabat atau pimpinan daerah setingkat bupati?
Hari ini kasus yang kurang lebih serupa terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Orient Patriot Riwu Kore yang menjadi jawara Pilkada 2020 di Kabupaten Sabu Raijua, masih berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat (AS).
Faktanya, beleid yang sama juga berlaku bagi pimpinan daerah. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020, disebutkan bahwa syarat menjadi kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota adalah warga Nusantara. Hal senada juga tercantum di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.
Apabila seorang WNI telah menyatakan sumpah setia kepada negara lain, maka otomatis status kewarganegaraannya sebagai WNI batal demi hukum. Dengan memiliki dua paspor, negara mana saja, maka ia tak lagi terhitung sebagai WNI.
Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mengakui dwikewarganegaraan. Oleh karena itu, dengan mempunyai dua kewarganegaraan, membuat seseorang kehilangan berbagai hak, termasuk hak dalam berpolitik.
Orient sudah membohongi publik serta menampar sistem administrasi negara. Sebagai calon bupati, kecil kemungkinan ia tidak mengetahui mengenai adanya larangan WNA menjabat kepala daerah.
Meski ia pura-pura tidak tahu, menurut asas hukum fiksi, semua orang dinilai tahu hukumnya sehingga berat baginya untuk menghindar dari risiko hukum yang akan timbul karena perbuatannya.
Oleh sebab itu, Orient tidak sah menjadi bupati selama statusnya ketika dilantik bukan WNI atau mempunyai dua paspor. Terlebih lagi, ia juga belum memenuhi syarat minimal lima tahun.
Taruhlah, tatkala ia dipaksakan untuk dilantik, sesuai dengan peraturan yang berlaku di AS, Orient sudah kehilangan kewarganegaraan AS. Padahal, ketika ia memperoleh paspor AS, paspor RI-nya juga telah gugur lantaran Indonesia tak menganut sistem paspor ganda.
Dengan begitu, statusnya menjadi tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Akan amat sulit diterima akal sehat jika hal itu dibiarkan terjadi begitu saja.