Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

WNA Boleh Jadi Pejabat di Indonesia, Asalkan...

5 Februari 2021   10:08 Diperbarui: 5 Februari 2021   10:36 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Sabu Raijua (NTT) terpilih, Orient Riwu Kore yang masih berpaspor Amerika Serikat. | Beritasatu.com

Luputnya WNA menjadi pejabat, mengungkap betapa bobroknya sistem administrasi di Indonesia. Terlebih lagi, tidak hanya sekali dua kali saja kealpaan itu terjadi.

Lewat topik khusus "WNA Jadi Pejabat" sebenarnya kita diajak untuk berkhayal. Ya, sebatas berfantasi liar dan beropini secara binal tentang aturan yang sudah final dan tidak bisa lagi diganggu gugat.

Pasalnya, sampai detik ini belum ada satupun peraturan yang mengijinkan bagi warga negara asing (WNA) untuk mencecap sebuah jabatan pada sistem kepemerintahan Republik Indonesia.

Tidak peduli secemerlang atau sebrilian apapun kariernya, selama aturan negara tidak memperbolehkannya, maka sampai kapanpun WNA akan tetap difatwa haram untuk menjabat dalam pemerintahan.

Jangankan pejabat pada level kabupaten, PNS pun tidak. Mari kita mundur sejenak, tepatnya pada 2016 silam. Seorang PNS di Pemkot Bekasi diketahui masih berstatus sebagai WNA ketika masih aktif bertugas.

Joaninha de Jesus Carvalho dipecat secara tidak hormat menurut surat rekomendasi BKN lewat SK Wali Kota Bekasi terhitung 10 Juni 2016. Ia terdeteksi masih menjadi warga negara Timor Leste. Ironisnya, hal itu baru terungkap usai 14 tahun berlalu atau sejak ia dilantik pada 2002 silam.

Telah diatur dengan sangat gamblang di dalam UU Nomor 5 tahun 2014 mengenai Aparatur Sipil Negara (ASN) bahwa syarat mutlak untuk bisa menjadi seorang PNS adalah warga negara Indonesia (WNI).

Peraturan yang sama juga berlaku untuk pejabat pada tingkat kementrian. Masih segar dalam benak, pemerintahan Jokowi juga sempat kecolongan ketika Arcandra Tahar didaulat sebagai menteri.

Pada 2016 silam, Arcandra yang terpilih sebagai Menteri ESDM, akhirnya dipecat oleh Presiden Jokowi setelah hanya 20 hari menjabat karena kewarganegaraan ganda. Ia memiliki dua paspor sekaligus, yakni Indonesia serta Amerika Serikat. Pelantikan Arcandra tidak sah lantaran statusnya itu (dwikewarganegaraan).

Jika merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 2008 mengenai Kementerian Negara pasal 22 ayat 2, salah satunya menyebut syarat utama menjadi seorang menteri, yakni warga negara Indonesia. 

Lantas, bagaimana dengan pejabat atau pimpinan daerah setingkat bupati?

Hari ini kasus yang kurang lebih serupa terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Orient Patriot Riwu Kore yang menjadi jawara Pilkada 2020 di Kabupaten Sabu Raijua, masih berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat (AS).

Faktanya, beleid yang sama juga berlaku bagi pimpinan daerah. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020, disebutkan bahwa syarat menjadi kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota adalah warga Nusantara. Hal senada juga tercantum di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016.

Apabila seorang WNI telah menyatakan sumpah setia kepada negara lain, maka otomatis status kewarganegaraannya sebagai WNI batal demi hukum. Dengan memiliki dua paspor, negara mana saja, maka ia tak lagi terhitung sebagai WNI.

Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mengakui dwikewarganegaraan. Oleh karena itu, dengan mempunyai dua kewarganegaraan, membuat seseorang kehilangan berbagai hak, termasuk hak dalam berpolitik.

Orient sudah membohongi publik serta menampar sistem administrasi negara. Sebagai calon bupati, kecil kemungkinan ia tidak mengetahui mengenai adanya larangan WNA menjabat kepala daerah.

Meski ia pura-pura tidak tahu, menurut asas hukum fiksi, semua orang dinilai tahu hukumnya sehingga berat baginya untuk menghindar dari risiko hukum yang akan timbul karena perbuatannya.

Surat dari Kedubes AS soal status warga negara Oiren Patriot Riwu Kore. | Kumparan.com
Surat dari Kedubes AS soal status warga negara Oiren Patriot Riwu Kore. | Kumparan.com
Dalam pasal 9 UU Nomor 12 tahun 2006, telah jelas disebutkan bahwa pemohon harus mengajukan permohonan kembali sebagai WNI pada saat sudah bertempat tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut.

Oleh sebab itu, Orient tidak sah menjadi bupati selama statusnya ketika dilantik bukan WNI atau mempunyai dua paspor. Terlebih lagi, ia juga belum memenuhi syarat minimal lima tahun.

Taruhlah, tatkala ia dipaksakan untuk dilantik, sesuai dengan peraturan yang berlaku di AS, Orient sudah kehilangan kewarganegaraan AS. Padahal, ketika ia memperoleh paspor AS, paspor RI-nya juga telah gugur lantaran Indonesia tak menganut sistem paspor ganda.

Dengan begitu, statusnya menjadi tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Akan amat sulit diterima akal sehat jika hal itu dibiarkan terjadi begitu saja.

Yang lantas menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa Orient memiliki paspor AS tanpa melepas status WNI-nya?

Hanya Dirjen Imigrasi Kemenkum-HAM yang memiliki domain untuk menjawab pertanyaan itu. Orient mengaku sudah memiliki paspor RI yang diterbitkan pada tanggal 1 April 2019.

Ketua KPU Sabu Raijua, Kirenius Padji, berkata bahwa ketika mendaftar, Orient memakai KTP berdomisili Kota Kupang. Ia mengklaim telah memverifikasinya di Disdukcapil dan memang Orient benar-benar warga Kupang.

Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana bisa Orient memiliki KTP-el untuk mendaftar sebagai calon bupati meski masih berstatus WNA?

Bukan hal sulit untuk membuat KTP di negeri ini karena tahun lalu kita sudah diajari caranya oleh Djoko Tjandra, yang hanya memerlukan 30 menit saja untuk membuat KTP instan.

Bisa dipastikan akan terjadi drama saling tunjuk menunjuk serta lempar tanggung jawab antara pihak terkait. Jauh sebelum Orient, Arcandra telah mengungkap titik lemah sistem kewarganegaraan di NKRI.

Namun, ironisnya, hal itu belum disikapi dengan baik oleh negara serta otoritas terkait dengan terulangnya kasus yang sama. Kasus Orient semakin menambah panjang daftar hitam tentang ragam isu kewarganegaraan dalam pemerintahan Presiden Jokowi.

Kecerobohan itu bukan hanya sekedar menyangkut pemeriksaan latar belakang calon bupati, melainkan juga kealpaan Dirjen Imigrasi Kemenkum-HAM serta Kementerian Luar Negeri dalam ihwal memonitor WNI yang berpaspor ganda.

Tak ada sinergi yang baik antara pihak-pihak terkait. Agaknya, sudah waktunya negara mulai menyikapi permasalahan tersebut secara serius saat ini juga.

Menjabat seorang kepala daerah bukan hanya persoalan unggul dalam hal suara, melainkan juga adanya pemahaman yang mendalam tentang dinamika sosial dan politik di daerah yang dipimpinnya.

Seorang kepala daerah harus menguasai daerahnya untuk mengisi pembangunan daerah dengan nilai lokalitas yang kuat agar tidak melenceng dari visi dan misi pemerintah pusat. Mereka juga dituntut benar-benar memahami potensi lokal dan masyarakatnya.

Sebagai WNA yang telah meninggalkan Indonesia selama puluhan tahun, tentu akan sangat sulit dalam memetakan dan menentukan kebijakan strategis tatkala sudah memangku jabatan kelak.

Selain itu, kepala daerah juga sebaiknya dapat memahami regulasi dan undang-undang yang berlaku agar tidak terjerat ke dalam kasus hukum. Apabila saat ini Orient telah gagal memahami larangan WNA menjadi pempinan daerah, lantas bagaimana nanti saat ia telah menjabat?

Adanya pejabat yang berstatus WNA sama halnya menempatkan Indonesia kembali sebagai negara jajahan asing. Apalagi, tak menutup kemungkinan negara asal sang WNA sengaja menyusupkannya sebagai mata-mata dan pengambil kebijakan.

Menginjinkan WNA menjadi pejabat juga memberi kesan seolah-olah sudah tidak ada lagi generasi penerus bangsa yang mampu menjadi pimpinan daerah yang unggul. Jika saja Bung Karno masih hidup sampai saat ini, ia akan marah besar kala mengetahui hal itu.

Orient atau WNA lain boleh saja menjadi pejabat di Indonesia, asalkan ia melepas paspor negara lain dan telah menetap di Tanah Air secepatnya selama lima tahun berturut-turut. Tak ada tawar-menawar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun