Fanatisme suporter ibarat dua sisi mata pisau. Selain sebagai pemain ke-12, mereka juga bisa menjelma jadi mimpi buruk bagi sebuah tim.
Sebuah aksi tak terpuji ditunjukkan oleh ratusan suporter Olympique de Marseille, yang merangsek masuk ke dalam markas latihan klub kesayangan mereka sendiri.Â
Selain menyerbu pusat latihan, mereka juga menyerang beberapa aparat yang diterjunkan ke lokasi untuk melakukan pengamanan. Sejumlah fasilitas hancur dan terbakar akibat flare dan kembang api yang mereka lemparkan. Imbasnya, laga versus Rennes pun harus ditunda.
Sekitar 200 suporter mendatangi Robert Louis Dreyfus Centre pada hari Sabtu, 29 Januari 2021 waktu setempat. Tindakan tersebut sebagai bentuk aksi protes atas serangkaian performa buruk klub serta kinerja presiden, Jacques-Henri Eyraud.
The French league postponed Marseille's home game against Rennes just three hours before kick-off on Saturday after angry Marseille fans marched to the club's training complex to protest against poor results pic.twitter.com/BlIDdVANX7— Football Daily (@footballdaily) January 30, 2021
Ultras Marseille memaksa sang presiden untuk mundur karena ketidakmampuan manajemen dalam menjalankan klub dan kegagalan mereka dalam meraih prestasi beberapa tahun terakhir.
Sebagai runner-up Ligue 1 musim lalu, Marseille kini tengah tercecer di posisi ketujuh dengan 32 poin, selisih 14 poin dari pemuncak klasemen, Lyon.
Marseille gagal menang dalam lima laga terakhir. Empat laga di antaranya bahkan berakhir dengan kekalahan. Terakhir kali Marseille menang adalah kala membekuk Montpellier 3-1 pada 7 Januari 2021 lalu.
Penderitaan mereka semakin sempurna karena mereka juga tersingkir dari Liga Champions dan gagal unjuk gigi di Liga Eropa lantaran hanya finis sebagai juru kunci pada babak penyisihan grup.
Manajemen klub mengecam keras aksi barbar mereka dan akan menyerahkan bukti terkait pelaku kerusuhan kepada pihak kepolisian sebagai perlawanan.
Tindakan brutal itu membuat Marseille mengalami kerugian ratusan ribu euro. Kemungkinan besar, sanksi yang lebih berat dari induk sepakbola Prancis telah menanti klub berjuluk Les Olympiens.
Ternyata, aksi barbar serupa juga pernah dilakukan suporter garis keras Marseille. Lima orang suporter sempat menyerang sejumlah pemain pada tahun 2015 silam. Mereka akhirnya divonis penjara antara 11 hingga 15 tahun atas perilaku tersebut.
Selain itu, mereka juga pernah dijatuhi sanksi laga tandang tanpa pendukung dan denda 30 ribu euro. Sanksi itu ialah buntut kerusuhan yang dilakukan oleh Ultras Marseille di markas Atletic Bilbao pada ajang Liga Europa pada 2018 lalu.
Ironisnya lagi, brutalitas yang sama juga dilakukan oleh suporter Marseille seperti yang terjadi pada Liga Eropa musim 2017 lalu, saat melawan RB Leipzig, Salzburg, dan laga final versus Atletico Madrid.
Pertama, yang murni mencintai sepak bola. Mereka menikmati sepak bola dan dapat menerima hasil apapun dari tim yang mereka dukung. Suporter tipe ini yang patut dijadikan sebagai teladan.
Kedua, yang mendukung tim, tapi tidak menghendaki kekalahan. Mereka selalu ingin tim favoritnya menang. Lewat cara apapun mereka akan datang ke stadion untuk mendukung klub dalam meneguk kemenangan. Loyalitas serta semangat mereka layak ditiru.
Ketiga, suporter garis keras yang tidak memiliki akhlak. Mereka terlalu mudah terprovokasi oleh pihak yang memiliki kepentingan, termasuk suporter lawan dan rentetan hasil buruk. Sikap mereka patut dihindari oleh suporter manapun.
Meski begitu, mereka harus dirangkul dan diberikan edukasi secara intensif agar tindakan mereka tidak menjelma menjadi bumerang bagi klub.
Tipikal suporter yang ketiga itulah yang bertindak barbar terhadap Marseille. Di luar ancaman pidana, manajemen juga bisa memberikan sanksi larangan untuk menonton pertandingan seumur hidup kepada suporter yang bertindak anarki.
Sebagai suporter, ada tiga opsi alternatif yang patut diadopsi agar aksi protes bisa lebih didengar oleh manajemen klub dan meraih dukungan masyarakat.
#1 Walk Out
Liverpool pernah diprotes keras suporter akibat rencana mereka untuk menaikkan banderol tiket laga sebagai konsekuensi atas penambahan kapasitas Anfield.
Tak kurang dari 10 ribu suporter The Reds melakukan aksi protes dengan cara yang sangat kreatif dan elegan, yakni dengan meninggalkan stadion (walk out) dalam laga versus Sunderland (6/2/2016).
Mereka hengkang dari tribun pada menit ke-77 sebagai simbol harga baru tiket yang naik menjadi 77 paun ( Rp 1,5 juta).
Aksi brilian mereka meraih pujian dari publik, termasuk dari eks bek The Reds Jamie Carragher yang juga mengikuti langkah walk out serupa.
Tak pelak, aksi itupun akhirnya mampu memaksa manajemen klub yang berada di bawah kendali Fenway Sports Group untuk membatalkan kebijakan tersebut. Mereka tampak khawatir jika nantinya tribun stadion menjadi kosong.
Ritus protes itu patut dipertimbangkan oleh para pendukung Marseille sebagai bentuk perlawanan, alih-alih merusak fasilitas latihan yang justru akan dapat merugikan klub yang mereka cintai.
Dengan melakukan walk out, artinya tim tetap mendapat pemasukan, tetapi juga menggemakan pesan yang sangat kuat: tanpa dukungan dan kehadiran suporter klub sepak bola bukanlah apa-apa.
#2 Upayakan Dialog
Komunikasi menjadi bagian yang sangat penting pada permainan sepak bola. Hal yang sama juga krusial untuk diterapkan oleh suporter.
Marseille adalah tim sepak bola tertua di Prancis yang terlahir berdasarkan spirit komunal kelas pekerja dan rakyat jelata. Semangat itulah yang harus dinyalakan kembali oleh klub dan suporter mereka.
Dalam situasi dialog yang humanis, akan terjalin ikatan kuat di antara manajemen klub dengan suporter. Pada kesempatan itu, keduanya dapat saling bertukar ide demi kemajuan tim yang mereka cintai.
Dengan berdialog, aksi brutal suporter bisa ditekan seminim mungkin. Selain itu, suara suporter juga lebih didengar, ketimbang aksi barbar yang merugikan berbagai pihak.
#3 Aksi Boikot
Apabila kedua aksi tersebut belum cukup mampu mengubah pendirian pengurus klub, maka aksi boikot bisa menjadi jimat yang sangat ampuh untuk dieksekusi.
Ritus tersebut hanya akan efektif apabila dilakukan secara serempak oleh seluruh suporter Marseille. Tentunya langkah itu tak mustahil dilakukan dengan dukungan koordinator suporter dan media sosial.
Dengan jalan memboikot atau menolak menghadiri laga akan memberikan efek kejut untuk manajamen klub. Pasalnya, biar bagaimanapun, tidak satupun klub yang ingin ditinggalkan pendukungnya.
Mereka menjadi roda penggerak utama perekonomian klub, akan musykil untuk tidak menuruti keinginan mereka dalam hal memajukan klub.
Dalam jangka pendek, aksi itu tak akan melukai kondisi finansial klub, asalkan manajemen bersedia untuk instropeksi diri agar boikot tidak berlanjut.
Pada tahap ini, Marseille perlu sesegera mungkin berbenah. Selain membenahi markas latihan klub yang rusak, mereka pun perlu memperbaiki manajemen dan performa tim di atas lapangan hijau.
Di samping itu, aksi barbar suporter juga menjadi momentum yang mendesak bagi manajemen klub untuk merangkul serta memberikan edukasi kepada suporternya.
Agaknya, hukuman berat berupa sanksi larangan seumur hidup untuk datang ke stadion kepada pelaku kerusuhan adalah konsekuensi yang pantas. Hukuman itu merupakan peringatan bahwa kekerasan dalam sepak bola tidak boleh terjadi lagi.
Fanatisme suporter bagaikan dua mata pisau. Selain sebagai pemain kedua belas yang bisa mendongkrak semangat para pemain yang tengah berlaga, tak jarang fanatisme mereka justru berujung pada aksi anarkisme yang merugikan klub.
Pada akhirnya, setiap tindakan anarkistis suporter tak pantas dibenarkan. Loyalitas serta fanatisme dalam mendukung klub kesayangan harus disertai dengan logika agar tidak berbalik menjadi bumerang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H