Ritus tersebut hanya akan efektif apabila dilakukan secara serempak oleh seluruh suporter Marseille. Tentunya langkah itu tak mustahil dilakukan dengan dukungan koordinator suporter dan media sosial.
Dengan jalan memboikot atau menolak menghadiri laga akan memberikan efek kejut untuk manajamen klub. Pasalnya, biar bagaimanapun, tidak satupun klub yang ingin ditinggalkan pendukungnya.
Mereka menjadi roda penggerak utama perekonomian klub, akan musykil untuk tidak menuruti keinginan mereka dalam hal memajukan klub.
Dalam jangka pendek, aksi itu tak akan melukai kondisi finansial klub, asalkan manajemen bersedia untuk instropeksi diri agar boikot tidak berlanjut.
Pada tahap ini, Marseille perlu sesegera mungkin berbenah. Selain membenahi markas latihan klub yang rusak, mereka pun perlu memperbaiki manajemen dan performa tim di atas lapangan hijau.
Di samping itu, aksi barbar suporter juga menjadi momentum yang mendesak bagi manajemen klub untuk merangkul serta memberikan edukasi kepada suporternya.
Agaknya, hukuman berat berupa sanksi larangan seumur hidup untuk datang ke stadion kepada pelaku kerusuhan adalah konsekuensi yang pantas. Hukuman itu merupakan peringatan bahwa kekerasan dalam sepak bola tidak boleh terjadi lagi.
Fanatisme suporter bagaikan dua mata pisau. Selain sebagai pemain kedua belas yang bisa mendongkrak semangat para pemain yang tengah berlaga, tak jarang fanatisme mereka justru berujung pada aksi anarkisme yang merugikan klub.
Pada akhirnya, setiap tindakan anarkistis suporter tak pantas dibenarkan. Loyalitas serta fanatisme dalam mendukung klub kesayangan harus disertai dengan logika agar tidak berbalik menjadi bumerang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H