Skenario apa yang mungkin akan terjadi jika Artificial Intelligence mampu mendeteksi ras manusia? Apa dampaknya bagi peradaban?
Peralatan batu yang digunakan manusia prasejarah merupakan teknologi pertama yang diciptakan lewat serangkaian proses kecerdasan alami (natural intelligence).
Semenjak alat tersebut mulai digunakan di Benua Afrika sekira 3 juta tahun silam, teknologi yang melibatkan kecerdasan alami–melalui proses berpikir manusia–semakin hari semakin berkembang.
Penetrasi teknologi digital dalam sejarah peradaban umat manusia adalah sebuah keniscayaan. Bermula dari kemunculan komputer generasi pertama yang hanya mampu melakukan kalkulasi sederhana hingga kemunculan intelegensi artifisial atau Artificial Intelligence (AI) yang dapat menyaingi kecerdasan alami manusia.
Dalam perkembangannya, AI didukung oleh kehadiran karya novel dan film fiksi ilmiah yang mengangkat ide dan konsep kecerdasan buatan yang futuristik.
Gagasan tentang robot yang mempunyai kecerdasan mirip manusia dimulai oleh sebuah novel yang berjudul "Erewhon" karya Samuel Butler terbitan tahun 1872. Ia mengangkat konsep mengenai evolusi kesadaran di antara mesin yang mampu mereplikasi diri sendiri serta berpotensi menggantikan manusia sebagai spesies paling dominan di Planet Bumi.
AI tidak selalu berwujud asisten virtual layaknya Jarvis pada film Iron Man atau selalu dalam bentuk robot. Lebih dari itu, AI bisa diterapkan dalam berbagai aspek dengan penekanan terhadap kecerdasan mesin yang mampu memberikan reaksi seperti halnya manusia.
"Artificial Intelligence" adalah simulasi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang dimodelkan dalam bahasa mesin dan diprogram agar dapat berpikir sama baiknya atau bahkan melibihi manusia.
Dengan kata lain, AI merupakan sistem komputer yang mampu melakukan hal-hal yang memerlukan kecerdasan atau tenaga manusia untuk menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Layaknya manusia, AI melibatkan banyak data dan informasi (knowledge base) guna ia jadikan pengetahuan. Pengalaman juga diperlukan agar kecerdasannya optimal.
Faktor paling krusial dalam kecerdasan AI menyangkut learning, reasoning, dan self correction. Proses itu sangat identik dengan manusia saat melakukan analisis sebelum membuat keputusan.
Proses pembelajaran AI pun tidak selalu diperintahkan manusia, ia akan belajar dengan sendirinya menurut data-data dan pengalaman selama kita gunakan.
Saat ini negara-negara maju berlomba-lomba menjadi yang termutakhir dalam pengembangan kecerdasan buatan. Cina mulai unjuk taring untuk menggoyang dominasi Amerika Serikat dalam hal AI.
Otoritas Cina mengucurkan dana segar mencapai 150 miliar dolar atau sekitar Rp2.075 triliun hanya untuk membangun industri teknologi AI nasional. Sebuah megaproyek yang sangat ambisius dari Negeri Tirai Bambu di bidang teknologi.
The New York Times melaporkan bahwa sejak 2017 Tiongkok tengah membangun kecerdasan buatan sebagai salah satu dari fokus utama mereka untuk dieksplorasi. Selain menjadi target nasional, Cina juga bersiap untuk memimpin sektor tersebut secara global pada 2030.
Untuk mewujudkan ambisinya, otoritas Tiongkok bekerjasama dengan sejumlah raksasa teknologi intelegensi artifisial. Beberapa di antaranya yakni Hikvisions, Sense Time, Huawei, serta Megvii yang semuanya berkantor pusat di Tiongkok.
Kabar itu pertama kali dirilis oleh The Washington Post yang menyitir klaim sebuah organisasi riset bernama IPVM tentang keterlibatan Cina (8/12/2020).
Rupanya, laporan yang sama juga pernah diklaim New York Times pada 2019 lalu, bahwa sejumlah entitas teknologi di Cina yang mempunyai teknologi identifikasi wajah, tengah meracik algoritme khusus untuk mengirim peringatan terkait etnis Uighur. Sistem tersebut terintegrasi ke jaringan kamera pengintai (CCTV) yang tersebar di seluruh penjuru Cina.
Perangkat canggih yang dikenal dengan "Uighur Alert" itu disebut-sebut mampu mengindentifikasi umur, jenis kelamin, dan ras seseorang meski mereka berada dalam sebuah kerumunan besar. Konon, perangkat lunak itu khusus diracik untuk meningkatkan pengawasan otoritas Cina terhadap masyarakat etnis Uighur.
Bahkan, menurut CSIS, teknologi facial recognition terbaru mereka tetap mampu mengindentifikasi wajah manusia meski memakai masker.
Praktik tersebut membuat Cina menjadi pelopor di dunia dalam menerapkan AI untuk mengawasi rakyatnya sendiri. Hal itu akan berpotensi melahirkan era baru rasisme yang terstruktur dan masif.
Jika informasi tersebut memang benar adanya, apa dampak dari kelahiran AI yang mampu mendeteksi ras dan etnis manusia terhadap peradaban?
1. Segregasi Merajalela
Sejatinya segregasi rasial tidak sebatas terjadi pada orang kulit hitam oleh orang kulit putih. Sistem pemisahan itu dapat terjadi di mana saja tidak peduli apapun ras, etnis, agama, dan warna kulitnya.
Segregasi rasial adalah sebuah tindakan yang bertujuan guna memisahkan suatu golongan, ras, etnis, atau agama secara paksa termasuk memakai kekerasan.
Pemisahan itu berlaku pada semua jenis aktivitas sosial yang meliputi pekerjaan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan penggunaan fasilitas umum lain.
AI berbasis rasial itu akan memudahkan otoritas (berkepentingan) yang mampu menguasainya dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan warga negara menurut golongan masing-masing lalu memisahkannya dari suatu ekosistem.
Teknologi tersebut menjadi legitimasi dan dapat memperkuat sudut pandang bahwa suatu kelompok etnis memiliki wilayah (sosial) khusus dan terpisah.
2. Peningkatan Kekerasan (SARA)
Jika segregasi rasial di sebuah ekosistem telah tercipta, maka akan meningkatkan kekerasan berbau SARA karena sistem pemisahan itu memiliki pola yang sama sejak peradaban manusia berkembang.
Segregasi berkaitan erat dengan tindak kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas tertentu, yang mana segregasi sendiri adalah bentuk tindak kekerasan.
Dalam sebuah ekosistem yang terpisah, kekerasan akan mengalami peningkatan sebab tidak ada adanya pengawasan dari otoritas global. Taruhlah minoritas etnis Uighur yang ditempatkan di kamp-kamp penahanan yang terpisah dari dunia luar. Mereka akan diperlakukan semena-mena tanpa diketahui publik internasional.
Kecerdasan buatan bukanlah teknologi murah. Hanya negara-negara maju yang dapat mengeksplorasinya. Pihak otoritas akan terpicu melakukan kekerasan pada tindakan kelompok tertentu yang mereka nilai sebagai wujud pembangkangan atau hal-hal yang dianggap bisa mengancam "keamanan" wilayah atau negara.
3. Memicu Perlawanan
Melawan adalah respons alami manusia untuk mempertahankan dirinya. Reaksi itu akan muncul jika manusia barada di dalam situasi yang amat mendesak atau berbahaya bagi keselamatan mereka.
Seiring dengan adanya penindasan atau persekusi rasial yang dialami, kelompok minoritas yang ditindas akan mencapai pada titik didih hingga akhirnya mampu melahirkan bibit-bibit perlawanan.
Di bawah tekanan secara terus menerus, mereka mampu melakukan hal-hal yang mustahil untuk bertahan hidup. Jadi, tak perlu heran jika akhirnya mereka akan melawan dengan cara mereka sendiri.
4. Stabilitas Negara Terganggu
Jika isu rasisme, segregasi, diskriminasi, dan persekusi pada kelompok minoritas tertentu tetap berlanjut, kekacauan dan konflik akan meletus.
Perlakuan tersebut merupakan salah satu faktor potensial yang merusak semangat kesatuan dan persatuan bangsa.
Demonstrasi yang berpotensi pada aksi anarkisme akan terjadi di mana-mana. Selanjutnya keamanan dan ketertiban negara menjadi tidak kondusif. Hal itu pada akhirnya akan berdampak secara luas dan menyeluruh terhadap stabilitas negara dalam berbagai bidang.
Kelahiran "Uighur Alarm" akan memicu otoritas-otoritas lain untuk menciptakan teknologi yang sama di masa depan, yang digunakan sebagai taktik kontrol politik. Strategi serupa juga dapat dipilih untuk menyingkirkan kelompok, ras, atau etnis tertentu yang tidak diinginkan atau yang dianggap berbahaya bagi imperium.
Ya, penemuan Uighur Alarm merupakan pencapaian besar bagi otoritas Cina. Akan tetapi, di lain sisi, kelahiran intelegensi artifisial berbasis ras itu menjadi sebuah langkah mundur bagi sejarah peradaban umat manusia.
Pada Maret 2020 lalu, dalam konferensi teknologi South by Southwest di Austin, Texas, penguasa Tesla dan SpaceX, Elon Musk, mengeluarkan sebuah ultimatum: "Tandai kata-kataku. Kecerdasan buatan jauh lebih berbahaya dibanding nuklir.” Tampaknya hal itu kini sudah terbukti.
Masa depan peradaban kita akan sangat bergantung pada kemampuan ilmuwan sosial dan komputer untuk bekerja sama dengan berbagai pihak. Adanya sinergi serta kontrol sosial akan sangat krusial sehingga penciptaan sebuah teknologi tak sampai melenceng dari marwahnya. Penciptaan AI harus selalu didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Sejatinya teknologi tak pernah memihak. Tidak pula memiliki makna khusus. Kita lah yang memihak dan memberikannya makna. Kita yang rasis, bukan teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H