Perangkat canggih yang dikenal dengan "Uighur Alert" itu disebut-sebut mampu mengindentifikasi umur, jenis kelamin, dan ras seseorang meski mereka berada dalam sebuah kerumunan besar. Konon, perangkat lunak itu khusus diracik untuk meningkatkan pengawasan otoritas Cina terhadap masyarakat etnis Uighur.
Bahkan, menurut CSIS, teknologi facial recognition terbaru mereka tetap mampu mengindentifikasi wajah manusia meski memakai masker.
Praktik tersebut membuat Cina menjadi pelopor di dunia dalam menerapkan AI untuk mengawasi rakyatnya sendiri. Hal itu akan berpotensi melahirkan era baru rasisme yang terstruktur dan masif.
Jika informasi tersebut memang benar adanya, apa dampak dari kelahiran AI yang mampu mendeteksi ras dan etnis manusia terhadap peradaban?
1. Segregasi Merajalela
Sejatinya segregasi rasial tidak sebatas terjadi pada orang kulit hitam oleh orang kulit putih. Sistem pemisahan itu dapat terjadi di mana saja tidak peduli apapun ras, etnis, agama, dan warna kulitnya.
Segregasi rasial adalah sebuah tindakan yang bertujuan guna memisahkan suatu golongan, ras, etnis, atau agama secara paksa termasuk memakai kekerasan.
Pemisahan itu berlaku pada semua jenis aktivitas sosial yang meliputi pekerjaan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan penggunaan fasilitas umum lain.
AI berbasis rasial itu akan memudahkan otoritas (berkepentingan) yang mampu menguasainya dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan warga negara menurut golongan masing-masing lalu memisahkannya dari suatu ekosistem.
Teknologi tersebut menjadi legitimasi dan dapat memperkuat sudut pandang bahwa suatu kelompok etnis memiliki wilayah (sosial) khusus dan terpisah.