Layaknya manusia, AI melibatkan banyak data dan informasi (knowledge base) guna ia jadikan pengetahuan. Pengalaman juga diperlukan agar kecerdasannya optimal.
Faktor paling krusial dalam kecerdasan AI menyangkut learning, reasoning, dan self correction. Proses itu sangat identik dengan manusia saat melakukan analisis sebelum membuat keputusan.
Proses pembelajaran AI pun tidak selalu diperintahkan manusia, ia akan belajar dengan sendirinya menurut data-data dan pengalaman selama kita gunakan.
Saat ini negara-negara maju berlomba-lomba menjadi yang termutakhir dalam pengembangan kecerdasan buatan. Cina mulai unjuk taring untuk menggoyang dominasi Amerika Serikat dalam hal AI.
Otoritas Cina mengucurkan dana segar mencapai 150 miliar dolar atau sekitar Rp2.075 triliun hanya untuk membangun industri teknologi AI nasional. Sebuah megaproyek yang sangat ambisius dari Negeri Tirai Bambu di bidang teknologi.
The New York Times melaporkan bahwa sejak 2017 Tiongkok tengah membangun kecerdasan buatan sebagai salah satu dari fokus utama mereka untuk dieksplorasi. Selain menjadi target nasional, Cina juga bersiap untuk memimpin sektor tersebut secara global pada 2030.
Untuk mewujudkan ambisinya, otoritas Tiongkok bekerjasama dengan sejumlah raksasa teknologi intelegensi artifisial. Beberapa di antaranya yakni Hikvisions, Sense Time, Huawei, serta Megvii yang semuanya berkantor pusat di Tiongkok.
Kabar itu pertama kali dirilis oleh The Washington Post yang menyitir klaim sebuah organisasi riset bernama IPVM tentang keterlibatan Cina (8/12/2020).
Rupanya, laporan yang sama juga pernah diklaim New York Times pada 2019 lalu, bahwa sejumlah entitas teknologi di Cina yang mempunyai teknologi identifikasi wajah, tengah meracik algoritme khusus untuk mengirim peringatan terkait etnis Uighur. Sistem tersebut terintegrasi ke jaringan kamera pengintai (CCTV) yang tersebar di seluruh penjuru Cina.