Tak hanya soal taktik dan strategi, sepak bola juga berkisah tentang kodrat manusia dan kemanusiaan.
The Beautiful Game bukan hanya berkisah tentang dua puluh dua pasang kaki yang terkesan "bodoh" ketika mengejar satu bola yang sama selama dua kali 45 menit.
Lebih dari itu, sepak bola juga merupakan mikrokosmos kehidupan. Setiap elemen kehidupan umat manusia tumbuh subur di dalamnya. Ada cinta, kesedihan, dan harapan yang berakar di lapangan hijau.
Sepak bola mampu melahirkan berbagai macam manusia dengan masing-masing karakternya seperti halnya ragam peran dan posisi dalam taktik permainan.
Permainan terbesar di jagat raya itu juga bisa menyatukan segalanya, tidak peduli status sosial, jabatan, usia, warna kulit, agama, ras, atau stratifikasi apapun juga.
Jika kaki sudah berpijak di atas rumput hijau, semua orang sama. Semua pemain setara. Meskipun ada dua tim yang saling beradu, sepak bola tak pernah diciptakan untuk mengklasifikasikan umat manusia. Bukan pula untuk menihilkan budaya dan keyakinan, apalagi hak asasi manusia.
Itulah yang diekspresikan oleh Antoine "Grizzy" Griezmann melalui keputusan beraninya dalam mengakhiri hubungan kemesraan dengan salah satu raksasa telekomunikasi asal Tiongkok.
Melalui Instragram pribadinya, delantero Barcelona tersebut membeberkan bahwa dirinya memutuskan untuk mengakhiri kontrak bersama Huawei lebih cepat dari semestinya (10/12/2020).
Kerja sama keduanya sudah terjalin sejak tahun 2018 yang membuat sang striker resmi menjadi brand ambassador dalam sejumlah kampanye oleh korporasi yang bermarkas di Shenzhen itu secara global.
Pemutusan kontrak secara sepihak itu menyusul kecurigaan bahwa Huawei juga memiliki andil dalam persekusi terhadap Muslim Uighur di Negeri Tirai Bambu.
Kabar itu pertama kali dirilis oleh The Washington Post yang menyitir klaim sebuah organisasi riset bernama IPVM mengenai keterlibatan mereka.
Huawei dikabarkan tengah merancang software facial recognition (pengenalan wajah) bersama perusahaan teknologi yang khusus bergerak di bidang image recognition and deep-learning software asal Beijing, Megvii.
Perangkat canggih yang dikenal dengan "Uighur Alert" itu disebut-sebut mampu mengindentifikasi umur, jenis kelamin, dan etnis seseorang meski mereka berada dalam sebuah kerumunan besar. Konon, perangkat lunak itu khusus diracik untuk meningkatkan pengawasan otoritas Cina terhadap masyarakat etnis Uighur.
“Menyusul dugaan kuat yang didasarkan pada andil Huawei dalam pengembangan Uighur Alert, saya mengumumkan telah mengakhiri hubungan kerja sama yang mengaitkan saya dengan perusahaan."
"Saya menggunakan kesempatan kali ini untuk meminta Huawei agar tidak hanya senang dengan menyangkal tuduhan ini, tetapi juga mengambil tindakan sesegera mungkin untuk mengutuk penyiksaan massal dan menggunakan pengaruhnya guna berkontribusi dalam menghormati hak-hak pria dan wanita dalam seluruh lapisan masyarakat." tulis Grizzy dalam akun Instagram pribadinya.
Huawei mengklaim perangkat lunak itu baru sebatas uji coba, belum berbentuk sebuah aplikasi. Mereka hanya memasok produk mentah untuk pengujian. Tidak pula menyediakan algoritme atau aplikasi khusus berkaitan dengan Uighur Alert.
Seirama dengan bantahan Huawei, juru bicara Megvii juga kompak menyangkal bahwa sistem yang mereka ciptakan tak dirancang untuk menargetkan ataupun memberi label pada kelompok etnis.
Sejatinya penyerang berusia 29 tahun itu bukanlah pesepak bola pertama yang angkat bicara tentang penindasan yang dialami oleh Muslim Uighur.
"(Di Cina) Quran dibakar. Masjid ditutup. Sekolah teologi Islam-madrasah dilarang. Cendikiawan dibunuh satu per satu. Terlepas dari itu semua, Muslim tetap diam," cuit Ozil di akun Twitternya.
Buntut dari unggahannya pada Desember 2019 silam itu, siaran laga (Liga Inggris) Arsenal versus Manchester City dicekal dari layar televisi Cina. Tak hanya sampai di sana, nama Mesut Ozil juga lenyap dari gim PES 2020 edisi Cina dan profilnya di Weibo pun bernasib serupa. Tantangan Ozil semakin berat karena ia juga menjadi "common enemy" otoritas Tiongkok dan rakyatnya.
Ozil melihat penindasan terhadap kaum Muslim sama krusialnya dengan "Black Lives Matter" yang beberapa tahun ini mengemuka. Oleh karena itu, menjadi penting baginya untuk mempromosikan “Muslim Lives Matter” di seluruh dunia.
Alih-alih memberikan dukungan kepada Ozil atau mengecam persekusi terhadap muslim Uighur, Arsenal justru bersikap apolitis. Bahkan pengusiran dirinya dari skuat asuhan Mikel Arteta dinilai terkait dukungan Ozil terhadap mereka.
Akankah Grizzy bernasib seperti Ozil?
Aksi solidaritas mereka agaknya sangat beralasan jika menilik laporan dari PBB yang memperkirakan lebih dari satu juta populasi Uighur dan juga sebagian besar warga keturunan Turki di Xinjiang telah ditahan dalam kamp-kamp penahanan beberapa tahun terakhir.
Sementara para aktivis mengungkapkan kejahatan kemanusiaan dan genosida tengah terjadi di sana. Laporan-laporan tersebut tampaknya bukan hanya isapan jempol belaka. Hal itu diketahui dari para penyintas kamp-kamp penahanan yang mengaku pernah disiksa membabi-buta, dilecehkan secara seksual, dirudapaksa, disterilkan, dan dicuci otak seolah-olah mereka teroris.
Berdasarkan investigasi The Associated Press belum lama ini, sterilisasi adalah sebuah praktik biadab yang dilakukan oleh pemerintah Cina untuk membatasi populasi muslim Uighur.
Seperti sudah bisa ditebak, Beijing secara konsisten membantah telah melakukan persekusi dan mengklaim kamp-kamp tersebut dirancang untuk memberantas terorisme dan ekstrimisme yang berlatar agama, serta peningkatan peluang kerja. Benarkah?
Kemanusiaan dalam Sepak Bola
Salah satu hal yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola adalah kemesraan dirinya yang begitu intim dengan unsur-unsur kemanusiaan.
Walaupun ruang gerak utamanya tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas kemanusiaan, sepak bola kerap memosisikan hal fundamental tersebut sebagai sesuatu yang teramat krusial, bahkan melebihi permainan itu sendiri.
Solidaritas kemanusiaan di atas lapangan hijau acapkali kita saksikan dalam ritus moment of silence ketika ada pemain atau mantan pemain yang meninggal.
Prosesi sakral tersebut juga dipraktikkan ketika terjadi sebuah bencana dan tragedi kemanusiaan yang tidak terkait dengan sepak bola. Misalnya, untuk para korban serangan teroris London pada Juni 2017 atau serangan teroris di Paris pada 2015.
Ritus simbolik tersebut terasa begitu emosional dan mampu menggugah sisi kemanusiaan hingga kita merasa dalam perasaan kehilangan yang sama. Moment of silence menarik diri kita kembali pada realita dan menjaga kodrat kita sebagai seorang manusia.
Aksi-aksi dan gerakan sosial baik berupa penggalangan dana, pendirian yayasan, maupun gerakan filantropis lain menjadi pemandangan lazim di jagat sepak bola.
Selain pernah menjadi duta dari UNICEF, Lionel Messi juga menjadi Messiah ketika mendirikan yayasan kemanusiaan yang bernama Le Messi Foundation. Fokus dari yayasan itu adalah menolong anak-anak berkebutuhan khusus dan tidak mampu.
Senada dengan Messi, Didier Drogba dan Neymar jugu turut mendirikan yayasan bernama Didier Drogba Foundation dan Neymar Instituto di negaranya masing-masing. Tentu masih banyak yang lain.
Semangat kemanusiaan juga diperagakan oleh pemain veteran selevel Juan Roman Riquelme dan Ronaldinho, yang rela tak dibayar kala bermain untuk Chapecoense, saat tim medioker Brazil itu kehilangan mayoritas pemainnya setelah kecelakaan pesawat. Tidak cukup 100 halaman untuk menyebut aksi serupa lainnya.
Saya pikir, keduanya paham betul dengan konsekuensi yang mungkin akan timbul di kemudian hari atas semua dukungan mereka terhadap etnis minoritas Uighur.
Mereka juga rela kehilangan keuntungan finansial, dikucilkan dari skuat, dicaci, dan dibenci oleh sebagian orang. Namun, atas dasar solidaritas kemanusiaan yang sangat tinggi, mereka tetap berpegang teguh dengan apa yang mereka yakini.
Segala bentuk kejahatan terhadap HAM memang sudah sepantasnya dilawan dan yang lebih penting dari sepak bola adalah kemanusiaan tidak peduli apapun agama, ras, warna kulit, dan status sosialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H