Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret Kemiskinan di Sepiring Nasi Aking

9 Desember 2020   21:23 Diperbarui: 10 Desember 2020   18:50 2158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang nenek dan cucunya sedang menyantap nasi aking di depan rumah mereka.| (Foto: Kompas/Siwi Yunita Cahyaningrum)

Setiap butir nasi yang kita buang tempo hari, yang kini mengering, merupakan makanan pokok bagi saudara kita yang tak beruntung.

Tatkala satu demi satu pemimpin publik dicokok sebab korupsi. Ketika kita masih saja gemar membuang-buang makanan. Di saat yang sama ribuan manusia tidak beruntung di luar sana dengan sangat terpaksa harus makan "nasi daur ulang".

Demi bertahan hidup di dalam atmosfir ekonomi yang semakin sulit di tengah merebaknya pandemi Covid-19, sebuah keluarga di Desa Citeureup, Dayeuhkolot, Bandung, rela mengkonsumsi nasi aking.

Ujang Soleh (36) memiliki penghasilan Rp30-40 ribu setiap harinya dari barang yang ia kumpulkan untuk menafkahi anak istri dan membayar kontrakan.

Di rumah kontrakan kecilnya ia tinggal bersama istri dan anaknya yang masih balita. Setiap hari Ujang mengumpulkan barang bekas untuk dijual kembali.

Untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Sejak pandemi melanda, penghasilan Ujang tidak menentu. Ia acapkali pulang dengan tangan hampa–tanpa membawa uang sepeser pun!

Para pengepul barang bekas langganan Ujang banyak yang tutup atau tidak lagi menerima barang dari hasil memulung karena stok barang masih menumpuk dan sulit untuk dijual kembali.

Akhirnya ia dan keluarga terpaksa harus memilih nasi aking sebagai pengganti beras. Dari barang buangan itu mereka menggantungkan hidupnya dan dari nasi "buangan" pula mereka bertahan hidup.

Program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah belum sepenuhnya mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, taruhlah sebuah keluarga asal Desa Slatri, Larangan, Brebes. Nasib yang dialaminya pun serupa dengan keluarga Ujang.

Keterbatasan ekonomi membuat Sokheh dan keluarga harus tinggal di gubuk tua bersama anak dan ibunya. Sehari-hari mereka makan nasi aking karena tidak mempunyai uang untuk membeli beras. Bahkan Shokeh pun mengaku terkadang meminta nasi aking pada tetangga.

Mereka menempati bedeng yang terbuat dari sesek (anyaman bambu) yang tidak layak huni. Selain atapnya banyak yang berlubang, tiang penyangga rumah juga sudah miring dan nyaris roboh.

Sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, Sokheh hanya kerja serabutan. Sementara ibunya sudah sangat renta dan hanya bisa berbaring di atas dipan.

Keluarga Ujang dan Sokheh hanyalah sebagian kecil potret kemiskinin yang juga dialami oleh saudara-saudara kita lainnya yang terpaksa mengkonsumsi "nasi jelata" untuk mencegah senyawa asam (HCl) mecerna lambung tuannya.

Nenek di keluarga Sokheh warga Desa Slatri, Larangan, Brebes, setiap hari makan nasi aking. | (Metrotvnews.com/ Kuntoro Tayubi) via Medcom.id
Nenek di keluarga Sokheh warga Desa Slatri, Larangan, Brebes, setiap hari makan nasi aking. | (Metrotvnews.com/ Kuntoro Tayubi) via Medcom.id
Nasi aking atau karak adalah makanan yang berbahan dasar sisa-sisa nasi yang telah dikeringkan untuk diolah kembali. Sumber protein itu memiliki aroma yang khas serta bertekstur keras. Dibutuhkan fase penjemuran dan pencucian sebelum kemudian diolah menjadi kudapan.

Lazimnya nasi aking digunakan sebagai makanan unggas. Namun, bagi sebagian lapisan masyarakat, sumber pangan dari sisa nasi yang telah dikeringkan itu juga dikonsumsi sebagai makanan alternatif, baik karena desakan ekonomi ataupun hanya selingan (bukan makanan pokok).

Sebenarnya, nasi aking bukan makanan yang layak dikonsumsi manusia karena nilai gizinya yang sudah jauh berkurang. Stigma makanan rakyat jelata yang kerap disematkan kepadanya seirama dengan warna coklat dan aromanya yang cukup menyengat.

Di Jawa Timur, nasi aking lebih popular dengan sebutan karak. Sementara di Jawa Barat bahan makanan kering itu dikenal dengan istilah nasi aron.

Sekira tahun milenium awal, nasi aking masih banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat desa untuk dikonsumsi. Saya pun sempat mencicipinya kala itu.

Sisa-sisa nasi yang tidak habis termakan dalam sehari, oleh nenek saya kemudian dijemur satu-dua hari di terik matahari. Agar terhindar dari serbuan jamur serta kering secara merata, nasi basah harus dibolak-balik. Usai benar-benar kering, nasi aking itu dicucinya sampai bersih guna menghilangkan sisa kuah dan lauk yang masih menempel pada nasi.

Fase jemur-cuci tidak boleh dilewatkan agar nasi tidak dijadikan substrat jamur dan bakteri. Proses tersebut juga untuk memastikan nasi aking benar-benar bersih dan aman untuk dikonsumsi.

Nasi aking yang sudah dicuci kemudian dikukus. Boleh juga diberi kunyit untuk menetralisir keasaman. Tekstur nasinya cukup keras seperti beras, tetapi mulai lunak kembali oleh proses pengukusan.

Setelah matang, olahan nasi aking siap disantap. Ada satu ciri khas olahan nasi aking nenek saya, yakni garnish parutan kelapa yang ditaburkan di atasnya. Sama halnya pada ketan putih, parutan kelapa menjadi aksesoris penyedap.

Sentuhan parutan kelapa menambah aksen gurih dan manis pada nasi aking yang memiliki rasa dan bau yang khas. Ya, seperti itulah cara kami menikmati kudapan berbahan dasar nasi aking.

Selain karena faktor ekonomi, motif daur ulang nasi juga didasarkan pada prinsip "eman-eman" atau sayang jika dibuang karena makanan adalah rezeki.

Kebiasaan menjemur nasi (basah) untuk dijadikan nasi aking nenek diwariskan ke ibu saya tercinta hingga sekarang. Hanya saja, bukan untuk dikonsumsi, melainkan untuk sebatas pakan burung merpati.

Di tempat saya, nasi aking pernah laku ditukar dengan bawang, meski tukang barter bawang keliling itu sudah mulai langka dijumpai saat ini.

Kondisi kami ketika itu lebih beruntung dari saudara-saudara kami di luar sana yang sampai hari ini masih memilih nasi aking sebagai menu sehari-hari mereka. Bagi kami, nasi aking hanyalah selingan, bukan makanan pokok karena memang kami masih mampu membeli beras.

Seorang nenek menunjukkan nasi aking (berjamur). | Sindonews.com
Seorang nenek menunjukkan nasi aking (berjamur). | Sindonews.com
Berbeda persoalan dengan mereka yang menjadikan nasi aking sebagai sumber protein utama karena desakan ekonomi dan keadaan yang tak memihak.

Nasi aking kerap dijadikan solusi terakhir tak lain karena harganya yang jauh lebih murah dari beras. Sekilo nasi aking dijual di kisaran harga Rp2500 sampai Rp3500. Sementara beras dibanderol mulai dari Rp9000 per kilo tergantung kualitasnya.

Stigma nasi aking memang sangat lekat dengan rakyat jelata. Ketidakmampuan kalangan ekonomi bawah untuk membeli beras menjadi komponen utama mereka dalam mengkonsumsi nasi aking.

Fenomena itu menjadi sebuah paradoks. Terlebih Indonesia pernah menyandang status Swasembada pada era Orde Baru, meski kemudian label itu dinilai hanya sebagai gimmick dan ilusi politik belaka.

Program lumbung padi yang tiada henti dikampanyekan oleh berbagai generasi rezim pemerintahan, mulai dari era Orde Lama hingga era Revolusi Mental, belum mampu menyentuh seluruh masyarakat.

Diakui atau tidak, nasi sebagai makanan pokok rakyat Indonesia, masih menjadi hal yang mewah bagi mereka yang tidak berpunya. Sebagian dari mereka sampai harus memilih gaplek (singkong kering) karena tidak mampu membeli beras.

Di satu sisi. Kita gemar berwisata kuliner mewah. Kita rela mengeluarkan ratusan ribu hanya untuk sekali jamuan makan di restoran, itupun tidak jarang makanan yang sudah kita pesan berakhir di tong sampah karena kita memesan melebihi kapasitas lambung.

Di sisi lain, masih banyak saudara kita di luar sana yang bahkan untuk mencecap sebutir nasi saja tidak mampu. Kalaupun mampu, mereka terlebih dahulu harus berdarah-darah guna mengisi perutnya.

Alangkah baiknya jika kita menysuaikan takaran memasak dengan jumlah orang yang makan. Ambil porsi sesuai kapasitas lambung kita. Jangan sisakan nasi barang sebutir pun karena banyak saudara kita di luar sana yang rela makan nasi aking.

Mengingat saudara sebangsa dan setanah air kita yang nyaris kelaparan itu, masih pantaskah Indonesia menyandang gelar "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem lan rahardjo" yang telah diwariskan sejak era Majapahit?

Apakah kita perlu mendefinisikan ulang jargon fenomenal yang berarti kekayaan alam yang melimpah serta keadaan yang tentram tersebut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun