Setelah matang, olahan nasi aking siap disantap. Ada satu ciri khas olahan nasi aking nenek saya, yakni garnish parutan kelapa yang ditaburkan di atasnya. Sama halnya pada ketan putih, parutan kelapa menjadi aksesoris penyedap.
Sentuhan parutan kelapa menambah aksen gurih dan manis pada nasi aking yang memiliki rasa dan bau yang khas. Ya, seperti itulah cara kami menikmati kudapan berbahan dasar nasi aking.
Selain karena faktor ekonomi, motif daur ulang nasi juga didasarkan pada prinsip "eman-eman" atau sayang jika dibuang karena makanan adalah rezeki.
Kebiasaan menjemur nasi (basah) untuk dijadikan nasi aking nenek diwariskan ke ibu saya tercinta hingga sekarang. Hanya saja, bukan untuk dikonsumsi, melainkan untuk sebatas pakan burung merpati.
Di tempat saya, nasi aking pernah laku ditukar dengan bawang, meski tukang barter bawang keliling itu sudah mulai langka dijumpai saat ini.
Kondisi kami ketika itu lebih beruntung dari saudara-saudara kami di luar sana yang sampai hari ini masih memilih nasi aking sebagai menu sehari-hari mereka. Bagi kami, nasi aking hanyalah selingan, bukan makanan pokok karena memang kami masih mampu membeli beras.
Nasi aking kerap dijadikan solusi terakhir tak lain karena harganya yang jauh lebih murah dari beras. Sekilo nasi aking dijual di kisaran harga Rp2500 sampai Rp3500. Sementara beras dibanderol mulai dari Rp9000 per kilo tergantung kualitasnya.
Stigma nasi aking memang sangat lekat dengan rakyat jelata. Ketidakmampuan kalangan ekonomi bawah untuk membeli beras menjadi komponen utama mereka dalam mengkonsumsi nasi aking.
Fenomena itu menjadi sebuah paradoks. Terlebih Indonesia pernah menyandang status Swasembada pada era Orde Baru, meski kemudian label itu dinilai hanya sebagai gimmick dan ilusi politik belaka.
Program lumbung padi yang tiada henti dikampanyekan oleh berbagai generasi rezim pemerintahan, mulai dari era Orde Lama hingga era Revolusi Mental, belum mampu menyentuh seluruh masyarakat.