Prosa oleh
Hana Sugiharti (53)
Namanya Sutopo hari ini
Esok bisa jadi bernama Tukiyo
Dan di lain hari pernah juga bernama Sutomo
Ketiga nama itu pernah dipakainya
KTP-nya sudah seumur hidup dua tahun yang lalu
Aku hanya tahu bahwa beliau adalah seorang buruh kasar
pernah menjadi tukang beca, supir, atau tukang kebun , apa saja asalkan tidak menganggur
Sejak Anak pertama menikah dan memiliki anak
Namanya berubah menjadi Abah dan Kakek
Sudah biasa jika beliau berganti nama
Abah menikmatinya ujarnya
Saat usiaku SMPÂ aku membereskan lemari pakaian Emak
Aku menemukan baret merah di balik baju-baju Abah
milik siapa? Entahlah hal itu juga yang aku pertanyakan
Setelah beberapa hari aku mengurung tanya dalam hati
Akhirnya aku ungkap juga siapa Abah sebenarnya
Saat semua pengawal di buang dan Presidennya di asingkan
Abah hilang bersama ke-enam pengawal lainnya
Di istana ada pintu rahasia
Abah pergi menggunakan pintu itu
Keenam lainnya berpencar searah mata angin
Ada yang ke Barat, ke Timur, Ke semua penjuru
Dengan satu misi
Mata-mata
Mata-mata untuk pemimpin tercinta
Mata-mata untuk negara
Mencari jawab atas apa yang terjadi
Mengesampingkan kebutuhan pribadi
Meninggalkan Emak yang baru dinikahi
Meninggalkan Eyang putri hingga menutup usia
Abah terus mencari memakai mata-mata
Sampai saat abah sadar dia harus kembali
pada keluarga dengan tetap menjadi mata-mata
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui
Menjadi orang tua dan mata-mata tak ada salahnya
Sama-sama pahlawan
Pahlawan?
Abah sejenak sadar, pahlawan untuk siapa?
Tak ada yang mengenalnya lagi
Presiden yang dia elukkan sudah tiada
Keadilan yang dia perjuangkan tak pernah terlihat titik terang
Bahkan hingga usianya senja tak ada timbal balik dari menjadi pahlawan suatu negara
Baiklah Abah mencoba mencari keadilan dari negara kecilnya
Keluarga
Dia besarkan anak-anaknya dengan cinta
Dia penuhi kebutuhan anak-anaknya dengan menjadikan kepala sebagai alas kaki
Dan kaki menjadi kepala
Kini anak-anaknya sudah berjaya
Abah mulai merasakan keadilan itu menampakan batang hidungnya
tak perlu lagi menjadi mata-mata untuk menjemputnya
Setidaknya seumur hidupnya kepahlawanannya membuahkan hasil
Abah melupakan kiprahnya menjadi mata-mata negara
koreksi, bukan Abah yang melupakan
Tapi negara yang sudah melupakan pernah mempunyai seorang pahlawan
Bukan seorang, tapi puluhan, ratusan, bahkan ribuan
Pantas saja jika pahlawan itu tak terlihat negara
Mereka sibuk menjadi mata-mata
Menjadi tukang semir sepatu demi anaknya yang sedang sakit
Masih menjadi tukang beca padahal usianya sudah senja
Terkadang aku melihat mereka menjadi tukang sapu jalanan
Sebegitu menghayati perankah mata-mata negara itu?
Dulu mereka menghusung pedang , kini mereka memegang gagang sapu
Dulu mereka menusuk musuh dengan belatinya
Kini belati itu kembali ke jantung hati mereka ditusukan oleh bangsanya sendiri
oleh anak cucu dari temannya sendiri dimasa lampau
Tak adakah cara untuk menghentikan peran mata-mata itu
Aku meringis menatap wajah mereka yang keriput oleh ketidakadilan
Mataku memanas setiap kali aku membayangkan
Betapa menjiawai mereka menjadi mata-mata untuk negara
Hingga akhir hayat mereka tetap menjadi mata-mata
Mereka tidak pernah mendapatkan haknya untuk menuai hasil kemerdekaan
Mereka sudah renta, tolong hentikan perannya untuk jadi mata-mata
Setidaknya jaminlah masa tuanya
Agar mereka berperan menjadi mata-mata yang lebih tinggi kastanya
Dari pada menjadi buruh dan penyapu jalanan.
Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya?
Sudahkah?
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul :
Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan.
dan
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community.