[caption caption="SMA Taruna Nusantara"][/caption]
Saya ingin memberikan sedikit pandangan tentang sekolah saya yang tercinta ini. Yap! Apalagi kalau bukan SMA Taruna Nusantara.
SMA Taruna Nusantara yang dikenal dengan sekolah berbasis asrama ini ternyata menyimpan berbagai macam keunikan yang nggak akan kalian temukan di sekolah lain. Kalau beberapa waktu yang lalu rekan siswa Nosa Wahyu menulis artikel yang berjudul Lima Hal Ini yang Bikin Kamu Yakin Daftar Taruna Nusantara, kali ini saya akan mengungkap beberapa hal-hal unik dari SMA TN.
Apa saja keunikan yang ada di SMA TN? Yuk kita lihat!
1. Balairung Pancasila
[caption caption="Balairung Pancasila"]
Secara bahasa, ‘balairung’ berarti rumah tempat berkumpul. Bagi para siswa SMA TN, Balairung adalah bangunan ‘sakral’ yang paling berkesan. Bentuknya persegi lima, cukup menampung siswa tiga angkatan dalam berbagai acara. Mengapa disebut sakral? Karena berbagai milestones penting dalam kehidupan siswa SMA TN dilaksanakan di bangunan ini, antara lain Pembukaan Pendidikan, Renungan Suci, Jumpa Tokoh Nasional, dan Prasetya alumni. Yang menarik adalah, di atap tertinggi bangunan ini tertulis “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” yang melingkari peta Indonesia. Dalam bangunan ini juga terdapat Prasasti Pendirian SMA TN yang ditandatangani Jenderal L. B. Moerdani, bertuliskan: “Kampus SMA Taruna Nusantara dipersembahkan untuk masa depan bangsa dan negara.”
2. Buku Saku
Bagi para siswa, benda ini wajib dibawa kemana saja. Jadikan ia sebagai istri atau suami pertama (karena siswa tidak boleh menikah). Simpan selalu di saku baju karena setiap saat bisa diperiksa oleh PKS (Patroli Keamanan Sekolah), Pamong, atau abang dan kakak. Elemen penting Buku Saku adalah kolom-kolom pujian serta pelanggaran. Kolom pujian diisi pejabat terkait saat siswa yang bersangkutan berprestasi atau aktif terlibat dalam suatu kegiatan. Sebaliknya, kolom pelanggaran diisi ketika siswa melakukan pelanggaran. Berhati-hatilah saat abang atau kakak tiba-tiba mengambil buku saku di ruang bersama, karena itu indikasi sang pemilik berbuat kesalahan. Biasanya, sang pemilik lalu wajib ‘menjemput’ buku sakunya di graha abang atau kakak yang bersangkutan, dan ini prosesnya bisa sangat lama dan panjang...
3. 3 - 2 – 0
[caption caption="Cukur ala TN"]
Kode di atas telah mengubah hidup ribuan calon siswa SMA TN. 3-2-0 adalah model standar mencukur siswa putra TN, yang artinya: 3 sentimeter untuk rambut kepala bagian atas, 2 sentimeter di kepala bagian belakang, serta 0 sentimeter di bagian bawah dan samping. Setiap siswa atau alumni pasti menyimpan memori saat pertama kali rambut ‘indah’ mereka dipelontos oleh tukang cukur kampus sesuai standar 3-2-0. Kombinasi berbagai wajah terpantul di depan kaca saat itu: kaget, takjub, bingung, sedih, dan memelas. Standar ini harus dijaga ketat oleh setiap siswa hingga lulus. Bahkan siswa tidak boleh berpesiar di hari libur jika belum mencukur rambut sesuai standar ini.
4. RPS
[caption caption="Rute Panglima Sudirman"]
“Dengan dada membara, kita pantang menyerah, kibarkan panji dwi warna...”. Itulah sepenggal lagu Pantang Menyerah yang dinyanyikan dengan penuh semangat saat seluruh siswa mengikuti program Napak Tilas Rute Panglima Sudirman (RPS). RPS wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 1 sebagai syarat lulus untuk lulus masa Pendidikan Dasar Kedisiplinan, yaitu periode “candradimuka” selama tiga bulan pertama sejak berpredikat sebagai siswa SMA TN. Pesertanya wajib berseragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan) dan berjalan menyusuri rute yang pernah dilalui Jenderal Sudirman saat perang gerilya. Rute tempuh tiap angkatan mungkin berbeda-beda, tetapi yang pasti medan yang dilalui cukup berat, mendaki gunung dan bukit, menuruni lembah, dan menyeberang sungai di bawah teriknya sinar matahari dan ladang tandus yang gersang. Beberapa kali peserta menemui spanduk “Pantang Menyerah!” yang dipasang di sepanjang jalan untuk terus mengobarkan semangat. Kulit yang menghitam, kaki yang melepuh, mungkin kram berkali-kali, serta lelah di tubuh berganti menjadi semangat kejuangan dan kesatuan yang akan terpatri selamanya dalam diri setiap siswa.
5. Kapan Giliran Saya?
[caption caption="Hormat kanan... Grak!"]
Maksudnya bukan giliran antri sembako atau BLT, tetapi giliran untuk menjadi pemimpin. Benar, di SMA TN banyak sekali sarana berlatih menjadi pemimpin. Latihannya bukan hanya teori, tetapi praktik langsung di lapangan. Setiap siswa pasti pernah mendapat giliran memimpin, dan tidak bisa lari dari tugas itu. Giliran ini diatur berurutan mulai dari nomor siswa paling awal hingga paling akhir, dan kemudian berulang kembali seperti siklus yang berulang. Misalnya, giliran tugas harian menjadi ketua kelas, ketua graha, pemimpin apel, pemimpin senam pagi, pengibar bendera, Piket RKB. Ada juga giliran dalam struktur yang lebih formal, seperti menjadi pengurus OSIS, Perwakilan Kelas, PKS (Patroli Keamanan Sekolah), Tonpara (Peleton Upacara), Marching Band, dsb.
“Suaramu kurang keras, siswa!”, adalah suara lantang para pamong kala mengoreksi ‘sang pemimpin’ secara langsung pada saat dia bertugas. Tak terbayang betapa banyak poin pembelajaran unik yang didapat dari sistem “pemerataan kesempatan menjadi pemimpin” ini.
6. Renungan Suci
“Brakk..!” Kaget mendengar pintu graha dibuka secara mendadak. Bunyi sirine mobil meraung-raung makin lama makin memekakkan telinga. Ada suara gaduh di graha, seseorang menarik tanganku untuk berdiri. ‘Cepat ganti pakaian PDH, dan berbaris di luar graha!’ Teriakan di dekat telinga itu seketika membangunkan tidurku. Kulihat seisi graha hiruk pikuk, tetapi gelap. Cepat kubuka lemari baju. Gelap. Kuambil baju sekenanya dan kupakai. Beberapa kali tubuhku terdorong orang-orang yang berlarian kesana kemari. Di luar juga gelap. Malam itu aku berlari keliling kampus setengah sadar. Kami dibawa menuju Balairung Pancasila. Satu per satu kami mencium bendera Merah Putih. Tak terasa air mata menetes. Perpaduan antara haru, syahdu, bangga, dan... capek. Saat lampu dinyalakan, semua saling memandangi dan menertawakan satu sama lain, karena kebanyakan menggunakan pakaian sekenanya. Ada yang pakai baju piyama dengan dasi pesiar, ada yang memakai celana PDH terbalik dengan kantong menyembul keluar di sana-sini, sepatu olahraga di kiri dan sepatu PDH di kanan, dan lain-lain. Sungguh pengalaman kelas satu yang tak terlupakan.
7. Because We Care
Berapa jumlah anak tangga menuju ruang Wakil Kepala Sekolah Bagian Pendidikan? Siapa nama pamong dapur? Berapa jumlah kursi kehormatan di Ruang Komunikasi Bersama? Siapa pencipta lagu Hymne Taruna Nusantara? Kapan prasasti Ki Suratman ditandatangani? Itulah sedikit dari ratusan pertanyaan “Tes Kepedulian Lingkungan” yang harus diketahui oleh para siswa. Sungguh, pertanyaan-pertanyaannya sederhana, karena diambil dari lingkungan kampus. Tetapi jawabannya sulit luar biasa. Karena hal-hal kecil itu seringkali lepas dari pengamatan dan kepedulian siswa. Acapkali siswa nggak ngeh atau acuh tak acuh alias cuek dengan lingkungan sekitar. Kenal nama pamong dapur saja nggak, apalagi mau tahu nama pohon yang ditanam di depan Wisma Tamu? Pelajaran yang bisa dipetik adalah, mari peduli pada hal-hal kecil, karena itulah ciri khas orang-orang besar...
8. Siapa Nama Abang?
Tidak dipungkiri bahwa kewajiban menghafal nama serta asal seluruh Abang dan Kakak di TN adalah sesuatu yang sangat bermanfaat, khususnya setelah lulus. Namun ketika masih berada di kampus, keharusan menghapal ini menjadi sesuatu yang berat, apalagi bagi kelas 10 yang memiliki kesulitan mengingat nama lebih dari 500 orang. Bagi sebagian dari mereka, lebih baik mencari-cari alasan untuk tidak ikut sarapan pagi di Ruang Komunikasi Bersama (RKB), daripada harus duduk satu meja dengan Abang berwajah galak yang menutup papan nama di dadanya sambil bertanya tegas: “Kamu inget nama Abang nggak, Dik?”
Kegagalan menjawab dengan tepat bisa berujung pada ‘ceramah’ panjang dari sang Abang, atau push-up bila hal ini sudah berulang-ulang terjadi pada abang-adik yang sama. Sebagian siswa mengakalinya dengan secepat mungkin masuk ke RKB saat waktu makan tiba, agar dapat memilih duduk dengan Abang atau Kakak yang sudah dikenal atau lebih ramah. Bagi yang sial dan kehabisan ‘posisi aman’, terpaksa menelan ludah, bercucur keringat, dan berharap bisa lolos ‘ujian’ kali ini.
9. Proses Penggemukan
[caption caption="Makan yang banyak yaa.."]
Bagi para siswa yang datang ke SMA TN dalam keadaan ‘pas-pasan’ alias pas berat tubuhnya untuk sekedar lolos seleksi masuk TN, RKB akan lebih mereka kenal sebagai Ruang Penggemukan. Itu karena siswa-siswa semacam ini dituntut untuk dapat memperbaiki postur fisik mereka, khususnya di tahap awal berada di Kampus TN. Di dalam RKB, ini berarti makan, makan, dan makan yang banyak. Apa yang dimakan? Utamanya adalah nasi. Bukan karena nasi adalah makanan terbaik untuk penggemukan tubuh, namun karena nasi merupakan satu-satunya pangan yang memiliki suplai tidak terbatas di RKB. Abang dan Kakaknya dengan senang hati akan membantu proses ini, dengan mengajak siswa-siswa ‘kekeringan' ini untuk duduk bersama dan dan ‘mendorong’ mereka untuk makan banyak. Sistematika pengukuran yang dipakai pun unik: siswa tersebut harus mengambil nasi sebanyak mungkin, sampai garpu bisa ditancapkan diatasnya. Kalau sudah begini, rekan-rekan sang siswa hanya bisa berucap dengan nada prihatin campur geli dalam hati: selamat makan...
10. Her
Jika mafia kasus sedang marak diberitakan di berbagai media tanah air belakangan ini, di SMA TN telah lama mengenal mafia dalam bentuk lain, yaitu mafiabio. Ini merupakan akronim dari mata pelajaran yang biasanya menjadi momok bagi para siswa: matematika, fisika, kimia dan biologi. Dengan soal-soal “maut” ciptaan pamong TN yang kualifikasinya di atas rata-rata, sehingga orang tercerdas pun seperti "diharamkan" menyentuh angka yang tinggi. Selalu ada yang lebih sial, yaitu mereka yang mengulang lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang sama. Tak jarang jumlah siswa yang mengalami her lebih banyak daripada siswa yang mendapat nilai baik dalam UH. Tidak jarang pula her harus berlangsung di Ruang Baca Perpustakaan yang berkapasitas lebih dari 200 kursi. Yang nilainya tertinggi tidak akan berleha-leha, tetap berpacu lebih giat lagi. Her merupakan “kutukan” bagi hampir setiap siswa TN. Selalu ada pengecualian, dan dalam hal ini adalah adanya segelintir “makhluk langka” yaitu siswa yang belum pernah her selama di SMA TN. Begitu langkanya, sampai muncul “keyakinan” bahwa belum sah jadi siswa TN bila belum merasakan her.
Apa hasil gemblengan macam ini? Pada ujian akhir dengan soal buatan Departemen Pendidikan, banyak siswa mendapat nilai sempurna 10. Saya jamin tidak ada soal bocor, tanpa contekan.
[caption caption="Prestasi Wajib, Jujur Utama"]
11. Semir dan Brasso
Salah satu bisnis yang menangguk untung besar dari berdirinya SMATN adalah pabrik semir sepatu dan brasso. Bagaimana tidak, dua produk ini secara intensif dan masif digunakan oleh semua civitas academica SMA TN tanpa terkecuali Sepatu PDH atau PDL yang hitam mengkilap adalah hasil gosokan semir yang telaten. Gesper (kepala sabuk) yang berkilau keemasan adalah buah pulasan brasso tiap malam. Jika lupa menyemir atau membrasso, maka sepatu dan gesper akan terlihat kusam. Jika kondisi ini terjadi saat apel PKS, siap-siaplah untuk dihukum. Karena itulah dua barang ini penting sekali. Satu kaleng semir ukuran standar dan sekaleng brasso bisa habis dalam sebulan. Jika dirata-rata, selama 3 tahun setiap siswa mengabiskan 36 kaleng semir dan brasso. Kalikan saja dengan jumlah alumni yang sekarang mencapai lebih dari 6.000 orang. Bisnis yang lumayan bagus, kan?
12. Inisial dan Jemuran ‘Hilang’
Salah satu tips manjur hidup berasrama adalah jangan pernah meninggalkan barang tanpa inisial nama, karena lambat laun akan ‘hilang’. Mengapa? Karena semua jenis pakaian siswa TN itu standar dan seragam. Satu dengan yang lain sama bentuk dan desainnya, hanya beda ukuran. So, siswa wajib memberi inisial yang jelas di setiap properti yang dimilikinya; baju, celana, kaos, jaket, sepatu, sabuk, tas sekolah, baret, topi, bahkan untuk celana dalam dan kaos kaki sekalipun! Lalai memberi inisial? Tanggung sendiri akibatnya. Beberapa siswa yang lupa memberi inisial akan bingung mengenali properti miliknya ketika memilih tumpukan baju cucian. Repot kalau di antara tumpukan jemuran itu ada beberapa baju tidak berinisial. Mengenali dari bentuknya? Sama semua. Dari baunya? Ogah lah ya...
*dikutip dari buku "Bocah-Bocah Pirikan" (dengan beberapa perubahan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H