Kode di atas telah mengubah hidup ribuan calon siswa SMA TN. 3-2-0 adalah model standar mencukur siswa putra TN, yang artinya: 3 sentimeter untuk rambut kepala bagian atas, 2 sentimeter di kepala bagian belakang, serta 0 sentimeter di bagian bawah dan samping. Setiap siswa atau alumni pasti menyimpan memori saat pertama kali rambut ‘indah’ mereka dipelontos oleh tukang cukur kampus sesuai standar 3-2-0. Kombinasi berbagai wajah terpantul di depan kaca saat itu: kaget, takjub, bingung, sedih, dan memelas. Standar ini harus dijaga ketat oleh setiap siswa hingga lulus. Bahkan siswa tidak boleh berpesiar di hari libur jika belum mencukur rambut sesuai standar ini.
4. RPS
[caption caption="Rute Panglima Sudirman"]
“Dengan dada membara, kita pantang menyerah, kibarkan panji dwi warna...”. Itulah sepenggal lagu Pantang Menyerah yang dinyanyikan dengan penuh semangat saat seluruh siswa mengikuti program Napak Tilas Rute Panglima Sudirman (RPS). RPS wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas 1 sebagai syarat lulus untuk lulus masa Pendidikan Dasar Kedisiplinan, yaitu periode “candradimuka” selama tiga bulan pertama sejak berpredikat sebagai siswa SMA TN. Pesertanya wajib berseragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan) dan berjalan menyusuri rute yang pernah dilalui Jenderal Sudirman saat perang gerilya. Rute tempuh tiap angkatan mungkin berbeda-beda, tetapi yang pasti medan yang dilalui cukup berat, mendaki gunung dan bukit, menuruni lembah, dan menyeberang sungai di bawah teriknya sinar matahari dan ladang tandus yang gersang. Beberapa kali peserta menemui spanduk “Pantang Menyerah!” yang dipasang di sepanjang jalan untuk terus mengobarkan semangat. Kulit yang menghitam, kaki yang melepuh, mungkin kram berkali-kali, serta lelah di tubuh berganti menjadi semangat kejuangan dan kesatuan yang akan terpatri selamanya dalam diri setiap siswa.
5. Kapan Giliran Saya?
[caption caption="Hormat kanan... Grak!"]
Maksudnya bukan giliran antri sembako atau BLT, tetapi giliran untuk menjadi pemimpin. Benar, di SMA TN banyak sekali sarana berlatih menjadi pemimpin. Latihannya bukan hanya teori, tetapi praktik langsung di lapangan. Setiap siswa pasti pernah mendapat giliran memimpin, dan tidak bisa lari dari tugas itu. Giliran ini diatur berurutan mulai dari nomor siswa paling awal hingga paling akhir, dan kemudian berulang kembali seperti siklus yang berulang. Misalnya, giliran tugas harian menjadi ketua kelas, ketua graha, pemimpin apel, pemimpin senam pagi, pengibar bendera, Piket RKB. Ada juga giliran dalam struktur yang lebih formal, seperti menjadi pengurus OSIS, Perwakilan Kelas, PKS (Patroli Keamanan Sekolah), Tonpara (Peleton Upacara), Marching Band, dsb.
“Suaramu kurang keras, siswa!”, adalah suara lantang para pamong kala mengoreksi ‘sang pemimpin’ secara langsung pada saat dia bertugas. Tak terbayang betapa banyak poin pembelajaran unik yang didapat dari sistem “pemerataan kesempatan menjadi pemimpin” ini.
6. Renungan Suci
“Brakk..!” Kaget mendengar pintu graha dibuka secara mendadak. Bunyi sirine mobil meraung-raung makin lama makin memekakkan telinga. Ada suara gaduh di graha, seseorang menarik tanganku untuk berdiri. ‘Cepat ganti pakaian PDH, dan berbaris di luar graha!’ Teriakan di dekat telinga itu seketika membangunkan tidurku. Kulihat seisi graha hiruk pikuk, tetapi gelap. Cepat kubuka lemari baju. Gelap. Kuambil baju sekenanya dan kupakai. Beberapa kali tubuhku terdorong orang-orang yang berlarian kesana kemari. Di luar juga gelap. Malam itu aku berlari keliling kampus setengah sadar. Kami dibawa menuju Balairung Pancasila. Satu per satu kami mencium bendera Merah Putih. Tak terasa air mata menetes. Perpaduan antara haru, syahdu, bangga, dan... capek. Saat lampu dinyalakan, semua saling memandangi dan menertawakan satu sama lain, karena kebanyakan menggunakan pakaian sekenanya. Ada yang pakai baju piyama dengan dasi pesiar, ada yang memakai celana PDH terbalik dengan kantong menyembul keluar di sana-sini, sepatu olahraga di kiri dan sepatu PDH di kanan, dan lain-lain. Sungguh pengalaman kelas satu yang tak terlupakan.
7. Because We Care