Mohon tunggu...
Kingkin BPrasetijo
Kingkin BPrasetijo Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka menulis

Suka ngebolang atau bersepeda menikmati keindahan alam karya ciptaan Tuhan. Pencinta semburat jingga di langit pagi dan senja hari. Suka nonton film dan membaca dalam rangka menikmati kesendirian.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Biar Hati Bicara (Part 5)

1 November 2024   21:13 Diperbarui: 1 November 2024   21:14 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

      "Hei, kami di sini!" teriak Petra sambil melambaikan tangan ke arah pintu masuk kafe. Abimanyu menoleh, seorang gadis berambut sebahu, dengan gaya cuek melangkah mendekati meja mereka. Abimanyu mengenali gadis itu. Benar, dia Danasti salah satu sahabat Andara.

     "Kamu undang dia? Buat apa?" bisik Abimanyu panik.

     "Santai Bro, Danasti sepupu Petra. Kalau pembahasan hari ini lancar, dia akan menjadi informan Lo," sahut Boim santai. Abimanyu menghela napas panjang, kesal tetapi juga berharap. 'Ngomong-ngomong kapan mereka meminta Danasti ke sini?' tanyanya dalam hati. Bukankah dari tadi mereka bersama, latihan basket, lalu berjalan ke kafe ini sambil mengobrol.  

     "Gila Kamu, Ko! Ngapain nyuruh aku ke sini, lagi enak tidur juga!" semprot Danasti sambil berkacak pinggang. Petra malah tergelak, tindakan yang membuat mata sipitnya hilang. Boim tertawa kecil, sementara Abimanyu tersenyum kecut.

     Tanpa menunggu undangan selanjutnya, Danasti menghempaskan tubuhnya di kursi kosong sebelah Petra. Sekarang mereka duduk saling berhadapan dengan Abimanyu dan Boim, yang duduk bersebelahan.

     "Non, kenalin ini Gading. Eh, maksudku Abimanyu Gading Bawana, cowok keren seantero sekolah kita. Tapi kamu enggak boleh naksir dia, soalnya.. aduh, mainnya kasar, ah! Enggak jadi dibantuin ini!" teriak Petra kesakitan. Tulang keringnya ditendang Abimanyu di bawah meja. Danasti dan Boim memandang Petra yang masih meringis kesakitan. Keduanya mengangkat bahu tidak mengerti, pertanyaan mereka terjawab ketika Petra menunduk untuk mengelus tulang kering tidak bersalah itu. Danasti tidak bisa menahan tawanya, mukanya sampai merah padam saking bahagianya. Tindakan Abimanyu cukup membalaskan kejengkelannya. 

     "Sorry! Ngenalinya tidak usah lebay juga kali!" Abimanyu menangkupkan kedua tangannya meminta maaf. Boim hanya tertawa melihat kelakuan kedua sahabatnya.

     "Halah, begitu saja sakit. Lebay tahu, Ko!" Danasti mencibir.

     "Anjir, sakit tahu tulang kering ketemu ujung sepatu!" Petra mengomel menahan sakit. Danasti tidak peduli, tangannya dengan gesit mengambil es cappucino favorit sepupunya, dan mencecapnya.

     "Aduh Noni, kebiasaan burukmu enggak berubah juga! Ini masih pandemi, tidak boleh asal minum punya orang. Pesan sendiri malas amat!" protes sang empunya minuman.

     "Itu tahu! Lagian haus, lama kalau pesan sendiri," sahutnya acuh. Petra mendesah pasrah melihat Noni meminum habis isi gelasnya.
      

     Noni adalah panggilan sayang keluarga mereka untuk Danasti. Sepupu paling dekat yang dia punya, karena usia mereka hanya beda satu tahun. Danasti memang cuek, tetapi dia paling asyik diajak kerja sama. Sifat yang paling Petra suka dari Danasti adalah dia tidak neko-neko (macam-macam). Meski pamannya jauh lebih kaya dari keluarga, Danasti si anak semata wayang tetap bersahaja dan tidak manja. Hanya sifat kurang sabar menunggu membuat mereka sering berantem kecil. Ujungnya dia harus mengalah, karena dia lebih tua. Alasan apa itu?

      Seperti biasa, Petra memutuskan untuk mengalah. Cowok berkulit putih bersih itu berdiri ke kasir untuk memesan minuman baru, untuknya dan Danasti. Petra tidak perlu bertanya untuk menyenangkan hati Danasti, kebetulan selera mereka sama. Dua gelas es capuccino, seporsi lumpia, dan nugget pisang, camilan yang belakangan menjadi kesukaan sepupunya itu.

     Selesai dengan minuman Petra, Danasti mengalihkan pandangannya ke arah Abimanyu yang terlihat serius memandangi gawainya. Kedua alis tebalnya berkerut, matanya menyipit menjadi mirip dengan mata Petra, seperti ada yang dipikirkan. Wajahnya tetap ganteng, meski terlihat lelah habis latihan basket. Orang ganteng mau sekusut apa pun, tetap saja ganteng, bisik hatinya.

     Eh, kok jadi mikir ke situ sih? Abimanyu lagi naksir Andara sahabatnya, dia tidak mau menjadi pengkhianat. Danasti tersenyum geli dengan pemikiran konyolnya sendiri.

     "Non!" Danasti melonjak kaget, Petra menatapnya dengan mata curiga. Boim dan Abimanyu juga menatapnya tidak berkedip.

     "Eh, kenapa? Gimana-gimana, katanya butuh bantuanku?" tanyanya antusias, mencoba mengalihkan kecurigaan ketiga cowok itu. Senyuman ramah sengaja dipasang di wajah cantiknya. Ketiga cowok itu saling berpandangan, saling bertanya lewat tatapan mata.

     "Kamu sehat?" tanya Petra sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Danasti.

     "Apaan, sih! Koko aneh!" Danasti mengibaskan tangan Petra. Tentu saja dia sehat, sembarangan.

     "Kamu yang aneh. Jadi enggak yakin mau minta tolong!" putus Petra pura-pura putus asa.

    "Idih, baper! Kayak cewek lagi jatuh cinta saja!" Danasti menjawab cuek. Petra tersenyum, pancingannya kena. Ini baru Noni, princess di keluarga besarnya yang suka bicara apa adanya, dan agak seenaknya. Mungkin, sikap itu yang membuat Danasti cocok dengan Andara dan Mega, tiga trio cewek aneh yang pernah dilihatnya.

     Danasti, cewek keturunan Tionghoa dengan mata teramat sipit, kulit putih, slengekan, dan suka tertawa. Mega, cewek metropolitan dengan penampilan modis dari atas sampai ke bawah, jalannya seperti peragawati, tapi bicaranya suka bikin telinga sakit. Sementara Andara, cewek Jawa tulen dengan penampilan sederhana, sedikit tomboi, gaya bicaranya tenang terkesan dingin. Sampai sekarang, Petra masih bertanya-tanya bagaimana Abimanyu bisa jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya kepada gadis biasa saja itu.

     "Oke, sekarang serius. Untuk apa aku disuruh ke sini!" tanyanya serius. Ketiga cowok itu kembali saling berpandangan, terlihat bingung mau memulai dari mana. Dalam hati Danasti tertawa, melihat wajah kebingungan ketiga cowok itu. Apalagi si Abimanyu, baru hari ini dia melihat cowok keren itu terlihat tidak bersemangat. Tanpa bersuara, kesepakatan diambil, Boim yang harus berbicara. Cowok tinggi berambut ikal itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu menghela napas panjang.

     "Non, boleh enggak kami tahu Andara itu seperti apa?" Abimanyu mendelik, tidak percaya dengan pertanyaan Boim yang terdengar aneh. Dahi Danasti mengerut, sama bingungnya dengan Abimanyu.

     "Maksudnya apa, sih? Yang pingin kenal Andara siapa? Kok yang tanya Boim!" Abimanyu terdiam. Apa yang dikatakan Danasti, kenapa jadi Boim dan Petra yang turun tangan mengurusi percintaannya. Abimanyu merasa tidak berkompeten, pantas saja ditolak. Melihat Abimanyu diam, Danasti tidak enak hati. Gadis itu memutuskan membuka jalan agar pembicaraan lebih enak.

     "Baiklah, semoga gosip yang aku dengar tidak salah. Abimanyu yang suka sama Andara dan ditolak, benar?" Abimanyu mengangguk, Danasti tersenyum simpul.

     "Dan kamu menyerah?" kejar Danasti tenang.

     "Apa aku terlihat seperti orang yang menyerah?" Abimanyu balik bertanya.

     "Menurutku iya. Pantas saja, Andara tidak mau," jawab Danasti tanpa ekspresi.

     "Noni!" Petra menyenggol lengan sepupunya.

     "Enggak apa-apa Pet, Noni benar. Andara pantas menolak kalau aku cowok seperti itu, tetapi aku tidak begitu. Aku tidak mudah menyerah!" sahut Abimanyu tegas. Danasti tersenyum puas, mendengar jawaban itu. Dia juga tidak akan rela sahabatnya dekat dengan cowok yang tidak berkarakter, sekeren apa pun dia. Setidaknya, jawaban yang diberikan Abimanyu menggambarkan hal yang berbeda. Danasti masih ingin tahu, sejauh mana cowok tampan itu sudah berjuang.

     "Apa yang kamu tahu tentang Andara? Kenapa suka dengan dia?" tanyanya meyakinkan rasa ingin tahunya. Abimanyu diam sebentar, sebelum menjaawab semua hal yang dia tahu tentang Andara. Gadis paling logis yang pernah dia kenal, penggila buku sastra, pengetahuannya cukup luas, terbukti dengan kemampuannya berargumentasi yang sangat masuk akal pada saat lomba berdebat beberapa waktu lalu. Pembawaannya tenang, dan dewasa.

     "Itu yang terlihat di sekolah, dan itu belum seberapa. Baru yang terlihat saja. Bagaimana dengan di rumah, tahu apa kamu tentang Andara?"

     "Aku tahu rumahnya, siapa orang tuanya. Aku tahu hobinya mengisi waktu luang, aku..."

     "Kamu tahu, Andara suka bersepeda ke tempat-tempat yang jauh? Perjalanan melelahkan yang aku ogah untuk ikut, capek!" Danasti memotong jawaban Abimanyu, dengan pertanyaan yang membuat cowok itu terdiam. Fakta ini yang lolos dari pengamatannya. Diam-diam Abimanyu tersenyum, apa yang baru saja dikatakan Danasti membuka satu jalan untuknya.  

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun