Mohon tunggu...
Kinanthi Cahya Pratiwi
Kinanthi Cahya Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Paradigma Islam dan Politik

Paradigma Islam dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Hubungan Islam dan Politik di Indonesia serta Etika Berpolitik dalam Al Quran dan Hadits

23 September 2021   00:25 Diperbarui: 23 September 2021   03:19 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN
Indonesia selaku negeri berpenduduk muslim terbanyak di dunia, serta di tengah kehidupan kebanyakan warga muslim ini ada berbagai metode pandang (paradigma) mengenai kenegaraan, kebangsaan serta kehidupan bermasyarakat yang tidak berdasarkan satu keyakinan. 

Dalam hal kehidupan bernegara membuat Pancasila sebagai dasar negeri Indonesia. Perwujudan konvensi Pancasila selaku dasar negeri, dalam prosesnya melewati waktu-waktu kritis serta hampir mengecam keretakan bangsa, akan tetapi perbandingan itu bisa dipertemukan sebab tiap-tiap faktor warga mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa. 

Diterimanya Pancasila selaku ideologi negara, jelas berpengaruh terhadap kebijakan serta keberlangsungan nilai-nilai ajaran agama yang diyakini kebanyakan kelompok masyarakat.

Islam merupakan agama yang luas, menyeluruh, teliti dan meliputi banyak hal. Islam juga merupakan agama rahmatan lil' alamin, yakni agama yang mengendalikan seluruh aspek kehidupan manusia yang di informasikan kepada Rasulullah Muhammad SAW. 

Salah satu bidang yang diatur merupakan permasalahan ketentuan ataupun hokum, baik yang berlaku secara perorangan ataupun mengendalikan kehidupan umat masyarakat, pemerintahan serta bernegara. 

Dalam bahasa Arab, pemerintahan ditafsirkan sebagai khilafah. Terminologi khilafah merupakan suatu lapisan pemerintahan yang diatur dalam syari' ah Islam, dimana seluruh yang ada hubungannya dengan tata pemerintahan tetap belandaskan ajaran Islam yang tertuang dalam Al- Qur' an serta As- Sunah.

Konsep agama Islam yang universal terhadap kehidupan manusia tercermin dalam Al Quran yang mengatur semua tindak tanduk serta perilaku manusia itu sendiri berawal dari sosial, ekonomi dan kenegaraan. 

Bahkan dalam praktek Rasulullah SAW pengelolaan penguasaan di Madinah dilembagakan dalam Piagam Madinah.  Dalam hal tersebut tidak kedapatan konflik seperti di separuh kawasan umat Islam.

Kedua, merujuk  asingnya partisipasi umat Islam dalam perpolitikan negara  dibutuhkan aksi terus-menerus untuk mengurangi kekakuan tersebut. Politik yang merupakan seni mengatur masyarakat menuju ridha Allah sebaiknya dipraktekkan oleh kalangan umat yang berpegang teguh pada tujuan-tujuan Islami. 

Pengenalan partai politik yang berdasarkan asas Islam dengan ditambah perangkat kepemimpinan, administrasi dan pola yang berbudaya akan meningkatkan rasa kepercayaan umat untuk menuju masa depan yang lebih baik lagi. 

Ketiga, sebab politik itu tidak semata-mata sebagai seni yang mengatur kekuasaan dalam tahap suatu perpolitikan, maka pembelajaran dan aksi politik di zaman globalisasi perlu dilakukan di tingkatan internasional.  

PEMBAHASAN
Sejarah Singkat
Bagaimana Islam menyebar dan siapa yang membawa agama tersebut ke Nusantara adalah sebuah pertanyaan kritis. Yang terpenting, bagaimana agama menjadi mayoritas dalam suatu bangsa yang pada mulanya didirikan atas dasar kerajaan yang berbeda-beda hanya dalam waktu kurang dari satu abad.  

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada berbagai sudut pandang sejarah yang berbeda. 

Duct, Snouck Hurgronje, mengklaim bahwa Islam dibawa oleh perantara dalam perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara  dan dunia Melayu. Ketika melakukan bisnis mereka juga menyebarkan Islam ke masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda seperti Hindu, Budha, dan kepercayaan pribumi. 

Para perantara ini diikuti oleh orang-orang Arab yang disebut Syarif atau Sayyid , untuk menyelesaikan penyebaran Islam baik sebagai "pendeta", "pendeta-pangeran" atau Sultan . 

Mereka diyakini sebagian besar sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, Azyumardi Azra menyebutkan bahwa dalam bahasa Indonesia sejarawan percaya bahwa agama Islam mulai menyebar langsung dari Arabia pada abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi. 

Teori ini adalah berdasarkan batu nisan di Pasai, Sumatera Utara khususnya tertanggal 27 September 1428, yang mirip dengan makam Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) di Gresik, Jawa Timur.

Dalam ekspansi berikutnya, Islam menjadi kepercayaan baru di Nusantara. Benedict Anderson mencatat bahwa agama Islam menyebar melalui perdagangan bukan penaklukan. 

Mungkin benar untuk menerima teori Anderson, menghubungkan penetrasi di masa-masa awal terutama di kerajaan-kerajaan Jawa seperti Mataram dan Kediri. Namun, penetrasi lainnya, pada kenyataannya, telah melalui perang dan penaklukan. 

Setelah Islam 'resmi' dianut oleh penduduk lokal raja-raja, kerajaan-kerajaan lokal terkadang membenarkan Islam untuk menaklukkan mereka 'negara' tetangga seperti yang diwakili oleh kisah putus asa tentang perang lokal di wilayah timur Indonesia. 

Misalnya, sejarah terkenal dari Sultan Hasanuddin di Gowa, menyebarkan Islam melalui perang di tetangga dengan menyerang Bone, Butan, dan sampai kepulauan Maluku.

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa dan negara, Islam juga tumbuh luar biasa. Selama Belanda dan kolonialisme Jepang, Umat Islam dan para pemimpinnya telah mengambil peran utama dalam memperjuangkan kemerdekaan. 

Banyak pahlawan terkenal seperti ulama (cendekiawan Muslim) yang tidak hanya memikirkan dan memimpin masyarakat dalam spiritual atau keagamaan saja, tetapi juga menjadi pemimpin pasukan melawan kolonialisme. 

Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (didirikan pada tahun 1912), Persis (1920), dan Nahdatul Ulama (1926) adalah kantong-kantong utama para pejuang melawan Belanda dan pendudukan Jepang. Singkatnya, baik Muslim maupun Ormas Islam memiliki peran penting dalam mendirikan Indonesia. 

Dengan munculnya Muhammadiyah, Persis dan NU, interpretasi Islam juga berbeda dalam apa yang disebut "modernis" dan kelompok arus utama "tradisionalis".

Menurut Burhanuddin, untuk kelompok modernis, seperti Muhammadiyah dan Persis, untuk memahami dan mengamalkan Islam, mereka mengikuti metode salaf yang mengutamakan nash-nash Islam (Qur'an dan Hadist). Pemikiran Ibnu Taimiyah dipahami di dalamnya makna literal dalam aspek teologis dan ritualnya. 

Ciri-ciri penting lainnya kelompok ini cenderung puritan dalam model keagamaan dan menolak faktor budaya dalam praktik keagamaan. Literalistik dan rasionalistik khas Muhammadiyah dan Persis. 

Adapun kelompok tradisionalis terutama mengacu pada NU, tradisi yang dipegang teguh yang didirikan oleh ulama pada masa awal Islam. Tradisi dimaksudkan untuk menjembatani komunitas Muslim dan teks-teks Islam. 

Dengan demikian, perbedaan kelompok modernis dan tradisionalis tidak hanya terletak pada pandangan mereka tentang agama, tetapi juga orientasi pada budaya.

Ada beberapa elemen yang mendasari perbedaan politik perilaku NU dan Masyumi. Pertama, kedua belah pihak cenderung melihat diri mereka sebagai pesaing langsung untuk konstituen Muslim dan keduanya memperebutkan kendali Departemen Agama dengan peluang patronase yang menguntungkan dan kapasitas untuk mempengaruhi kegiatan Islam di tingkat akar rumput. 

Akhirnya, NU cenderung mengadopsi lebih ke pendekatan politik yang pragmatis dan akomodatif daripada yang dilakukan Masyumi. NU menggunakan politik sebagai alat untuk mengamankan atau melindungi kepentingan bagiannya, terutama akses ke patronase pemerintah dan birokrasi agama prihatin. 

Dalam mengejar kepentingan tersebut, fleksibilitas, moderasi, dan kapasitas untuk berkompromi menjadi penentu ciri perilaku NU. Masyumi, sebaliknya, menekankan keteguhan dan konsistensi dalam pendekatan mereka terhadap politik.

Mereka enggan untuk berkompromi pada hal-hal inti kebijakan dan sering mengutip ayat-ayat dari Al-Qur'an dan hadits yang memerintahkan ketabahan dan komitmen terhadap apa yang dianggap benar. 

Dalam politik praktis, perbedaan cenderung NU dan Masyumi ini lebih ke arah aliansi dengan non partai-partai Islam daripada satu sama lain. 

NU tertarik pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dengan populasinya, Jawa-sentris orientasi; Masyumi menemukan kerja sama dengan teknokrat Partai Sosialis (PSI) dan partai-partai Kristen berbasis pulau terluar. hanya di isu-isu Islam yang terang-terangan seperti Piagam Jakarta dilakukan NU dan Masyumi bekerja sama erat.

Ketika Indonesia menjadi bangsa dan negara baru, Islam tetap sebagai keyakinan utama. Belum diketahui bagaimana Islam tiba-tiba menjadi agama mayoritas dalam kurun waktu kurang dari satu abad. Namun, cara umat Islam Indonesia memaknai dan memahami agama berbeda. 

Perbedaan tersebut didasarkan pada latar belakang budaya yaitu begitu beragamnya Indonesia. Dalam apa yang disebut aliran (secara harfiah berarti 'aliran'), antropolog Amerika, Clifford Geertz mengklasifikasikan itu dalam Islam itu sendiri menjadi santri, abangan, dan abangan. Geertz mendefinisikan aliran sebagai "pola integrasi sosial yang komprehensif".  Doogue dan Kirkwood menjelaskan kategori ini :

Santri Muslim, secara harfiah berarti santri yang beragama Islam, yaitu muslim yang taat dan patuh dalam mengamalkan ajaran Islam. Awalnya istilah ini merujuk pada Muslim yang dididik di pesantren, tetapi sekarang mencakup semua orang yang percaya dan patuh serta mungkin belum tentu memiliki latar belakang pesantren;

Muslim abangan yang memadukan unsur-unsur keutamaan kepercayaan pribumi, animisme, Budha dan Hindu dengan Islam, dan mereka cenderung lebih nominal dan kurang berlatih sebagai Muslim;

Muslim Priyayi, termasuk bangsawan Jawa dan menggabungkan kepercayaan abangan dengan budaya keraton Jawa. Sejak kebangkitan global Islam pada 1970-an dan 1980-an, banyak penganut abangan dan priyayi telah menjadi santri, dan disana telah menjadi apa yang disebut 'santri-fiksi' Islam.

Diperdebatkan, kategori ini mungkin kurang relevan dalam situasi sosial budaya muslim Indonesia saat ini; namun, kita melihat pola politik preferensi umat Islam dalam dua pemilu terakhir, 2004 dan 2009, Kategori Geertz dapat dilacak. Hal ini terutama di dalam para pihak Islam. 

Bahkan, dikatakan bahwa meskipun dua pemilu saat ini (2004 dan 2009) menunjukkan kemenangan partai-partai nasionalis-sekuler nyata; pemilih muslim tradisional tetap memilih partai berdasarkan kategori ini, suara PPP, PKB dan PAN sebagian besar dari santri muslim.

Penting untuk dicatat bahwa Islam di Indonesia biasanya pluralistik. Islam plural/jamak di sini berarti tafsir Islam memiliki keberagaman bagi banyak muslim, yaitu, belum ada konsep tunggal tentang bagaimana agama berhubungan dengan negara-bangsa, misalnya sebagian besar adalah mazhab Sunni dan Syafi'i. Arus utama dari itu Pemikiran berbasis Sunni milik Nahdathul Ulama dan Muhammadiyah. 

Ada pandangan yang sangat marjinal Syiah. Tidak kurang penting adalah kenyataan bahwa keberadaan kepercayaan adat yang menggabungkan animisme dan Islam atau agama besar lainnya yang diakui, misalnya Hindu dan Budha. Kelompok-kelompok pribumi itu, yang terkadang diabaikan dan dipaksakan pada agama 'asing' selama Rezim Soeharto, kini menuntut haknya untuk eksis di hadapan negara.

Hubungan Islam dan Politik di Indonesia

Islam dan politik adalah dua hal yang sulit dipisahkan dalam kesatuan Negara Republik Indonesia. Hal ini karena mayoritas orang Indonesia adalah Muslim dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam kegiatan politik, masyarakat Indonesia mengacu pada nilai-nilai Islam dan cenderung mencampurkan nilai-nilai agama ke dalam berbagai kegiatan politik. 

Islam adalah agama terbesar di Republik Indonesia yang erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan penyebaran Islam yang sangat pesat.  

Saat ini, ada banyak partai politik di Indonesia yang mengusung nilai-nilai Islam dan bernuansa Islami. Sejarah dari Perkembangan partai politik di Indonesia berawal dari masa penjajahan Belanda di Indonesia yang menyebabkan bangsa Indonesia mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam politik di Indonesia. 

Sejak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, banyak pahlawan Indonesia yang menebarkan nilai-nilai Islam hingga setelah berprestasi kemerdekaan bangsa Indonesia terus menebarkan nilai-nilai agama di politik Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, hubungan Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa Indonesia. Ini tidak berarti menghilangkan cita-cita Islam dan menghilangkan unsur politik Islam Indonesia. 

Dalam hal ini, sejauh mana unsur-unsur agama Islam dinilai mampu memberikan inspirasi dalam partai politik, tergantung sejauh mana umat Islam di Indonesia dianggap mampu muncul dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan sosial dan politik serta pengetahuan untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

Hubungan antara agama dan politik secara umum dapat dilihat dari kedudukan agama dan perannya dalam kehidupan masyarakat.  MenurutmNurcholish Madjid, agama memiliki posisi sentral dalam kehidupan seseorang karena agama memberikan tujuan umum hidup dan membantu memfokuskan energinya dalam mengejar tujuan-tujuan. 

Jika seseorang meyakini bahwa agama bukan hanya sekedar panutan.  

Menurut Munawir,  konsep Indonesia sebagai negara berideologi Pancasila harus dijaga, namun demikian, konsep Indonesia sebagai negara Islam jelas ditolak oleh seluruh rakyat Indonesia karena Indonesia bukan negara Islam tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah hubungan Islam dengan negara Indonesia sebenarnya berpusat pada perbedaan pandangan para tokoh politik di Indonesia. Politik sekuler yang sedang menjadi tren di Eropa Barat dihadapkan pada pandangan tokoh politik di Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. 

Hal ini karena para tokoh pendiri Republik Indonesia telah membuat batas dalam politik di Indonesia dan tampaknya hubungan antara Islam dan negara Indonesia masih dimungkinkan dengan menyesuaikan nilai-nilai ideologis bangsa Indonesia.  

Menurut Nurcholish Madjid, penyesuaian nilai dan ideologi agama merupakan wujud nyata dari hubungan Islam dan negara Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila dan indikator apresiasi sistem politik Indonesia terhadap sebuah identitas peradaban.

Sistem politik Indonesia tidak sepenuhnya mengadopsi dasar asumsi politik modern yang sedang tren di Amerika Utara dan Eropa Barat, melainkan mengadopsi nilai-nilai budaya dan agama yang ada di Indonesia. 

Dalam konteks ini, Neo-Modernis Islam memandang demokrasi sebagai aturan politik yang paling tepat, sedangkan agama diposisikan sebagai alat pengatur moral dalam penerapannya demokrasi.  

Dalam hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia, ada dua masalah yang dihadapi yaitu, yang pertama adalah masalah filosofis, yaitu, jika klaim agama kepada pemeluknya secara keseluruhan dapat menggeser perekonomian dan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang artinya hal ini juga dapat mengubah prinsip demokrasi di Indonesia. 

Dua masalah sosiologis historis adalah padahal sebenarnya peran agama sering dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politik mereka dan dapat merusak sistem demokrasi di Indonesia.

Menurut Abdurrahman Wahid,  ada nilai-nilai demokrasi yang dasar dan ada pula yang merupakan turunan atau lanjutan dari yang utama. 

Menurut beliau, ada tiga nilai utama demokrasi, yaitu keadilan, kebebasan, dan pertimbangan. Keadilan adalah dasar demokrasi dan kesempatan bagi semua orang untuk mengatur kehidupan mereka sesuai dengan keinginan mereka. 

Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan individu di hadapan kekuasaan Negara atau hak individu sebagai warga negara dan hak kolektif masyarakat, sedangkan musyawarah adalah bentuk pemeliharaan kebebasan dan memperjuangkan keadilan melalui musyawarah. 

Ide demokrasi pada dasarnya menganut asas kesetaraan manusia sehingga hak-hak individu untuk mendapat kebebasan terjamin.  

Menurut Nurcholish Madjid, nilai demokrasi dapat mengacu pada ideologi suatu bangsa dan bukan hanya karena pertimbangan prinsip, yaitu karena nilai-nilai demokrasi dibenarkan dan didukung oleh semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan politik yang terbuka dan sesuai dengan nilai-nilai ideologi Indonesia.  

Etika Berpolitik dalam Islam
Peran etika dalam dunia politik sangat penting untuk mewujudkan kestabilan politik, yang nantinya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan atas dasar kepentingan umum (al-maslahah al-'ammah). 

Etika atau akhlak merupakan pondasi dalam ajaran Islam, bahkan tujuan utama risalah kenabian Muhammad SAW adalah membangun dan menyempurnakan etika/akhlak ummat-Nya. Sebagaimana sabda-Nya:

  . ( )

"Sesungguhnya Aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Baihaqi)

Logika hadis ini hendak mengemukakan bahwa masyarakat tidak akan sempurna tanpa etika atau budi pekerti (akhlak). Nabi tidak perlu diutus jikatidak ada misi penyempurnaan moral.

Etika dalam Al-Qur'an setidaknya memiliki 4 komponen pokok, yakni: Pertama, etika Al-Qur'an adalah etika yang sumber utamanya berasal dari ajaran Al-Qur'an. 

Kedua, objek etika Al-Qur'an adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia, termasuk sikap dan persepsinya tentang hidup dan kehidupan, baik secara pereorangan maupun secara sosial. 

Ketiga, dari segi fungsinya, etika dalam al-Qur'an berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap perbuatan yang dilakukan manusia, apakah perbuatan tersebut dinilai baik, buruk, benar, salah, mulia, hina, pantas atau tidak pantas dan sebagainya berdasarkan ajaran al-Qur'an dan mendorong manusia melakukan perbuatan yang baik dan benar, serta bertanggung jawab mewujudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sosial. 

Keempat, dari segi sifatnya, etika dalam al-Qur'an memiliki dua dimensi, yang tetap dan yang berubah sesuai dengan kemaslahatan umum.

Oleh karena itu, nilai-nilai etika dalam al-Qur'an memiliki sifat humanistik dan rasionalistik. Humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapain hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. 

Selanjutnya, bersifat rasionalistik bahwa semua pesan-pesan al-Qur'an, seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, menghargai orang lain, bekerja keras, semuanya tidak ada yang bertentangan dengan kedua sifat di atas.

Dalam al-Qur'an, ada banyak ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. 

Etika yang diajarkan al- Qur'an mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah SWT. Figur yang menjadi contoh konkret dalam bidang etika ini adalah Nabi Muhammad Saw sendiri. Sebagaiman firman Allah dalam QS. Al-Qalam ayat 4 yang terjemahannya :

" dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung."

Ayat di atas merupakan petunjuk al-Qur'an tentang nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya. Rasulullah sebagai puncak keteladanan serta figur publik sepanjang masa telah memberikan sendi-sendi etika/akhlak kepada umat-Nya. 

Hal ini telah dirasakan sendiri oleh Anas, sebagai pembantu Rasulullah Saw selama 10 tahun, tidak pernah dikecewakan dan dimarahi. 

Bahkan, ketika A'isyah ditanya oleh para sahabat tentang akhlak/etika Rasulullah, Aisyah menjawab: Akhlak Rasulullah adalah al-Qur'an.  Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa al-Qur'an sebagai sumber etika.

Dalam perspektif Islam (al-Qur'an), etika tidak saja merupakan ajaran yang bersifat konseptual tetapi juga praktikal. Keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai figur keteladanan dalam bidang tingkah laku (behaviour) telah memberikan kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika yang dapat ditiru secara langsung oleh umat manusia. 

Dari sini, al-Qur'an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak, atau moral bagi kehidupan manusia. 

Maka, tidaklah mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk kepada al-Qur'an. Al-Qur'an mengandung pesan-pesan moral yang sangan sistematik, ajaran-ajaran tentang moral ini dapat dijadikan sebagai standar nilai yang dituangkan dalam bentuk etika Qur'ani (Etika dalam perspektif al-Qur'an).

Etika politik merefleksikan kualitas moral para pelaku politik dan sekaligus masalah tatanan hidup kemasyarakatan, hukum, keadilan, karena etika politik akan berpegang pada nilai-nilai, norma, etik, dan moral. 

Etika politik melandaskan pada nilai keluhuran dan moral, dan tidak bertolak dari pandangan yang membolehkan cara-cara yang jahat untuk mencapai tujuan. 

Etika politik merupakan abstraksi moral untuk memberi arti bagi kehidupan politik, yang pada gilirannya akan memacu berfungsinya hati nurani para pelaku politik yang dimanifestasikan dalam tindakan. 

Etika politik menunjukkan tentang baik-buruk, benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan politik, sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban pelaku politik yang harus diikuti agar bersikap dan berperilaku benar, lurus, bersih, terpuji, dan konsisten memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Al-Qur'an menegaskan, bahwa etika al-Qur'an tentang politik itu berdasarkan sebuah konsep bahwa politik merupakan akses terhadap kekuasaan Negara yang secara lahiriyah berasal dari amanat rakyat.  

Maka kekuasaan politik itu harus bisa dipertanggung jawabkan kepada Allah sesuai dengan perundang-undangan Allah yang disebutan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. 

Etika al-Qur'an dalam politik juga sangat memperhatikan nilai-nilai keadilan dalam membentuk masyarakat yang damai, aman dan sejahtera.

Sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa' ayat 58: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. 

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat." (QS. An-Nisa': 58)

Pada ayat tersebut terdapat dua etika dalam berpolitik, yaitu amanah dan adil. Amanah menyangkut hak bagi orang mukallaf yang berhubungan dengan hak-hak orang lain.

Bentuk Etika Berpolitik
1. Jujur
Jujur adalah sebuah ungkapan kesesuaian dan kebenaran antara perkataan dan perbuatan. Kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, termasuk juga dalam berpolitik.

2. Amanah
Amanah merupakan seuatu titipan yang harus dijaga dan dipelihara.
Amanah menyangkut hak bagi orang mukallaf yang berhubungan dengan hak-hak orang lain.  Seorang pemimpin yang amanah adalah orang yang dapat memenuhi hak-hak rakyatnya dan mampu mempertanggung jawabkannya. 

Selanjutnya, seseorang yang mendapat amanah kepemimpinan (kekuasaan) politik, maka menjadi keharusan konstitusional dan sekaligus kewajiban agama untuk menunaikan amanah yang menjadi tanggung jawabnya.  

Setiap pemimpin harus memahami, bahwa amanah bukan sekedar jabatan yang diraihnya, akan tetapi sebagai tanggung jawab sosial yang mesti dijalankan dengan baik.

3. Keadilan
Keadilan dalam politik Islam merupakan konsistensi seluruh pelaku politik dengan standar akidah atau tauhid dalam menghadapai seluruh konstalasi politik.  

Al-Qur'an menggunakan beberapa term untuk menunjukkan arti keadilan; yaitu al-'adl, al-qisth, dan al-mizan. Sayyid Qutub memberikan penekanan makna al-'adl sebagai persamaan yang merupakan asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang, keadilan bersifat inklusif tidak eklusif untuk golongan tertentu, sekalipun misalnya yang menetapkan keadilan itu seorang muslim untuk orang non-muslim.
Dalam al-Qur'an, keadilan memiliki beberapa dimensi, antara lain: Kesamaan (QS. an-Nisa':8), Keseimbangan (QS. Al-Infithar: 6-7), Proporsional (QS. Al-A'raaf: 156-157)

4. Kesejahteraan
Kesejahteraan dalam Islam, merupakan jaminan kesejahteraan terhadap warga yang bukan hanya sekedar teori, namun dibarengi dengan konsep yang konkret dalam merealisasikannya. Seorang pemimpin Negara berkewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya secara merata.  

Kita dapat menjumpai ayat- ayat yang memerintahkan Rasulullah untuk mengambil zakat dari si kaya untuk kemudian didistribusikan kepada orang-orang miskin, sehingga tercipta keseimbangan sosial dalam masyarakat.

5. Musyawarah
Musyawarah merupakan salah satu etika dalam berpolitik yang sangat penting
untuk diperhatikan dalam rangka mempersatukan persepsi dan langkah bersama
untuk kepentingan bersama.

6. Kebebasan
Kebebasan dalam Islam memiliki nilai individu dan sosial sekaligus. Ajaran Islam memberikan batasan bagi setiap individu agar ia dapat melaksanakan kebebasan secara proporsional. Hak untuk mendapatkan kebebasan sama pentingnya seperti hak untuk hidup. Kebebasan dapat diterapkan secara purna pada niat pribadi, kehendak dan penguasaan atas prilaku.

7. Persamaan dan Perbedaan
Menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persaudaraaan serta menjauhkan diri dari perpecahan, merupakan realisasi pengkuan bahwa pada hakekatnya kedudukan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt. 

Manusia di dunia sebenarnya adalah umat yang satu. Tempat berpijak yang berbeda menyebabkan tumbuhnya adat istiadat, perangai dan cara berfikir yang berbeda, sehingga tidak mustahil terjadi benturan-benturan, pertikaian dan permusuhan di antara mereka.

Dengan berpijak pada kode etik di atas, al-Qur'an mendorong kepada umat Islam untuk bekerja sama dan menjalin rasa persaudaraan dengan pemeluk agama lain. Disamping itu, ajaran al-Qur'an juga sangat menghargai prinsip-prinsip pluralitas yang merupakan fakta yang dikehendaki oleh Allah SWT.

PENUTUP
Mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim serta menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Tentang Islam dan politik di Indonesia sangat erat hubungannya karena masyarakat Indonesia yang sebagian besar Umat Islam, cenderung menerapkan nilai-nilai agama sesuai dengan ideologi umat Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. 

Semua orang di Indonesia bisa menerima apapun agama dan saling menghormati. 

Prinsip-prinsip tersebut adalah untuk menciptakan keharmonisan dan hidup toleran dalam berbangsa. Nilai-nilai ideologi pancasila wajib untuk partai politik di Indonesia dan dapat dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak sebuah Negara Islam tetapi Negara yang menerapkan nilai-nilai Islam dan berbagai agama dapat hidup berdampingan secara damai untuk kemajuan dan pembangunan di Indonesia.

Politik memiliki peran yang sangat strategis dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan di seluruh sektor pemerintahan tentunya tidak lepas dari peran politik. 

Maka, disaat suhu politik semakin memanas, sangat rentan munculnya praktik-praktik kotor yang akhirnya berimbas pada kebijakan negara yang kurang berpihak pada rakyat, dan hanya mementingkan sekelompok orang. 

Dari sinilah, peranan etika dalam politik menjadi sesuatu yang mendasar dan tidak kalah pentingnya dengan politik itu sendiri. 

Etika politik merefleksikan kualitas moral para pelaku politik dan sekaligus masalah tatanan hidup kemasyarakatan, hukum, keadilan, karena etika politik akan berpegang pada nilai-nilai, norma, etik, dan moral.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baihaqi, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar , Sunan al-Baihaqi al-Qubra, (Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.

Anderson, B. "Religion and Politics in Indonesia since Independence." Benedict R.OG Anderson et. al. Religion and Social Ethos in Indonesia. Victoria: The Australia-Indonesia Association and the Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.

Azra, A. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Jakarta: Mizan, 2006.

Biglari A.. Political Equality and The Issue of Citizenship Rights in Contemporary Islamic Thought. Journal of Islamic Political Studies.1 (2). doi: 10.22081/jips.2019.68396. 2019.

Dardirie, Achmad. "ETIKA POLITIK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN." AL-TADABBUR 5.1 (2019)

Doogue, G and P. Kirkwood. Tomorrow's Islam: Uniting Age-Old Beliefs a Modern World. Sydney: ABC Books, 2005.

Firmanzah. Pengurus Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.

Haris S.. Partai, Pemilu dan DPR di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2014.

Hidayat, Komaruddin, Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dengan Kehidupan Modern, Jakarta: Paramadina, 1995

Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Kairo: Dar al-Hadits, 2002

Kemenag RI, Tafsir Al-Qur'an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2009

Madjid N.. Kekayaan Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 2011.

Muhammad S.I. & Nursiha B.A. Islamic Brand: A Conceptual Definition of Brand from Islamic Perspective. Journal of Islamic Studies and Culture. 4 (2). 2016. doi: 10.15640/jisc.v4n2a6

Munawir. Ulama dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Paramadina. 2013.

Nawawi, I.. Politik dalam Perspektif Islam. Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, 1(01). (2011).

Noer, Deliar. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: Rajawali Pers. 1983.

Qohar, A.. Politik dan Islam di Indonesia. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 13(1). (2017).

Ridha, Muhammad Rsyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005

Robert W.H. Which Islam? Whose Shariah? Islamization and citizen recognition in contemporary Indonesia. Journal of Religious And Political Practice.4 (3). 2018. doi.org/10.1080/20566093.2018.1525897.

Setiawan, Refly, Melinda Esti, and Viktor V. Sidorov. "Islam and Politics in Indonesia." RUDN Journal of Political Science 22.4 (2020)

Sumarkan, S.. Islam dan Politik Kenegaraan Perspektif Muhammad Arkoun. Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, 2(2). (2012).

Thahir, T.. Demokrasi Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Paramadina. 2014.

Wahid A. Perjuangan Negara dan Budaya. Depok: Desentara. 2001.

Yukihiro Y. The effects of bureaucracy on political accountability and electoral selection. Journal Elsevier/European Journal of Political Economy. 51 (1). 2018. doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2017.03.009.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun