"Perjalanan Ke Warung Paling Dekat"
Ilham hidup di sebuah kampung yang tak terjangkau oleh sinyal ponsel. Ia bukan pemuda istimewa. Ilham hanyalah seorang pengangguran, lulusan SMA yang menghabiskan hari-harinya dengan mengawasi ayam-ayam peliharaan ibunya atau duduk-duduk di bawah pohon rambutan di halaman depan rumahnya. Namun, ada satu hal yang membedakan Ilham dari pemuda kampung lainnya: ia sangat malas.
Bagi Ilham, segala sesuatu adalah perjuangan besar. Bahkan hal sekecil berjalan ke warung milik Pak Totok yang berjarak tak lebih dari 200 meter dari rumahnya.
--
Pagi itu, ibunya meminta Ilham membeli cabai dan garam. "Hanya itu," katanya. "Kalau tidak ada, kita tak bisa masak hari ini."
Ilham mengeluh dalam hati. "Kenapa aku? Kenapa tidak Ayu saja?" protesnya, merujuk pada adik perempuannya yang sedang asyik membaca novel di sudut dapur.
Namun, ibunya sudah keluar ke kebun belakang, tidak mendengar protes itu. Dengan langkah malas, Ilham mengenakan sandal jepitnya dan keluar rumah, memulai perjalanan yang akan menjadi pengalaman luar biasa baginya.
--
Baru beberapa langkah, ia bertemu Kakek Wiryo, tetangga sebelah rumah yang tengah menyapu halaman.
"Mau ke mana, Ham?" tanya kakek itu seraya tersenyum lebar.
"Ke warung," jawab Ilham singkat.
"Ah, hati-hati ya. Kadang jalan ke warung itu penuh rintangan," ujar Kakek Wiryo dengan nada misterius.
Ilham mengernyit. Apa maksudnya? Jalan ke warung itu lurus, tanpa tikungan, tanpa belokan. Rintangan apa yang mungkin ada?
--
Perjalanan terus berlanjut. Di tengah jalan, ia bertemu dengan anak-anak kecil yang sedang bermain kelereng. Salah satu dari mereka, Bimo, memanggilnya.
"Mas Ilham, main sebentar dong! Kami kurang satu pemain."
Ilham ingin menolak, tapi Bimo dan teman-temannya memaksa. "Sebentar aja, Mas! Kalau menang, dapat dua biji kelereng!"
Ilham menyerah. Ia duduk, ikut bermain. Lima belas menit berlalu. Lalu tiga puluh menit. Saat ia sadar, matahari sudah makin tinggi, dan suara ayam berkokok di kejauhan mengingatkannya akan tugasnya.
--
Ketika ia melanjutkan perjalanan, Ilham bertemu Pak Burhan, penjual es cendol keliling.
"Ham, mau es cendol? Diskon buat kamu, cuma seribu," ujar Pak Burhan seiring mendorong gerobaknya.
Godaan itu terlalu besar. Ilham berhenti, mengeluarkan uang receh dari sakunya, dan membeli segelas es cendol. Ia duduk di bawah pohon, menikmati minuman dingin itu dengan santai, melupakan sejenak tujuan awalnya.
Namun, di saat ia menghabiskan cendolnya, suara ibunya terngiang di kepalanya: "Kalau tidak ada, kita tak bisa masak hari ini."
 lantas, ia bangkit dan berjalan tergesa-gesa .
Ketika akhirnya ia tiba di warung Pak Totok, ia menemukan warung itu tutup. Sebuah papan kecil tergantung di pintu, bertuliskan: "Pergi ke pasar. Kembali jam dua siang."
Ilham putus asa menatap papan itu. Ia memutar langkah, kembali ke rumah dengan tangan kosong.
Di perjalanan pulang, ia bertemu kembali dengan Kakek Wiryo, yang masih menyapu halaman.
"Bagaimana, Ham? Sudah sampai warung?" tanya kakek itu . Senyumannya terselip suatu makna.
"Tutup, Kek," jawab. Nadanya terdengar lesu.
"Hmm, makanya. Jalan ke warung itu penuh rintangan, bukan?" Kakek Wiryo berkomentar sambil terkekeh.
Ilham tidak menjawab. Ia tahu, rintangan yang dimaksud bukan jalan itu sendiri, melainkan semua godaan yang ia temui di sepanjang perjalanan.
--
Ketika Ilham tiba di rumah, ibunya sudah menunggu di dapur.
"Cabainya mana?" tanya ibunya.
"Warungnya tutup," jawab Ilham.
Ibunya mendesah panjang. "Kalau begitu, makan siang kita cuma nasi dan kerupuk. Lain kali, belanja lebih pagi."
Ilham mengangguk pelan, lalu melirik Ayu yang masih asyik dengan novelnya. Di kepalanya, ia sudah merencanakan sesuatu: lain kali, ia akan memastikan Ayu yang pergi ke warung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H