Mohon tunggu...
Kim Ikarose
Kim Ikarose Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ika Maya Rose, penulis aktif novel dan cerpen di berbagai platform menulis, selain itu hobby menggambar dan melukis. Suka membaca dalam kesendirian. Di luar kegiatan sebagai penulis., bekerja sebagai guru seni menggambar untuk anak-anak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagaimana Aku Esok,,Jika Mama Tiada

22 Desember 2024   05:59 Diperbarui: 22 Desember 2024   05:59 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana Aku Esok, Jika Mama Tiada

Aku menatap layar ponsel yang berkedip-kedip. Nomor tak dikenal. Biasanya aku enggan mengangkat panggilan dari nomor asing, tapi entah mengapa kali ini tanganku bergerak sendiri menekan tombol hijau.

"Halo, dengan Nara?" suara di seberang terdengar formal.

"Ya, benar. Ini siapa?"

"Saya dari Rumah Sakit Harapan Bunda. Ada yang perlu kami sampaikan mengenai Nyonya Amelia..."

Duniaku seketika berhenti berputar. Mama. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali berbicara dengannya. Tiga bulan? Empat bulan? Atau lebih? 

Sejak memutuskan pindah ke Jepang untuk mengejar karir sebagai peneliti sel punca, komunikasiku dengan Mama hanya sebatas chat singkat di WhatsApp. Itupun jarang kubalas. Terlalu sibuk, selalu itu alasanku. Padahal hanya butuh beberapa menit untuk mengetik "Mama apa kabar?" atau "Mama sudah makan?"

"...stroke mendadak. Kondisinya kritis. Sebaiknya Anda segera ke sini."

Tanganku gemetar memegang ponsel. Keringat dingin mengucur di tengkuk. Aku bahkan tak mendengar sebagian besar penjelasan perawat itu. Yang kutahu, aku harus pulang. Sekarang juga.

***

"Kenapa kamu nggak bilang kalau sakit, Ma?" bisikku lirih sambil menggenggam tangan Mama yang terbaring lemah. Berbagai selang dan kabel menempel di tubuhnya. Monitor di samping tempat tidur menunjukkan detak jantung yang lemah tapi stabil.

Mama masih belum sadarkan diri sejak stroke yang menyerangnya kemarin. Dokter bilang ada penyumbatan pembuluh darah di otaknya. Mereka sudah melakukan yang terbaik, tapi semuanya tergantung kekuatan Mama untuk bertahan.

Aku mengusap air mata yang mulai menggenang. Mama selalu terlihat kuat di mataku. Bahkan setelah Papa meninggal lima tahun lalu, Mama tetap tegar menjalani hidup sendirian. Tak pernah mengeluh, selalu tersenyum meski aku tahu dia kesepian.

"Maaf Ma, aku jarang pulang..." 

Memori masa kecil berputar di kepalaku. Mama yang selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan. Mama yang tak pernah absen mengantar-jemputku sekolah meski harus bolak-balik naik motor butut kami. Mama yang rela kerja sampingan mengajar les privat agar aku bisa kuliah di universitas negeri.

Tapi apa yang kulakukan untuk membalas semua pengorbanannya? Aku malah memilih pergi jauh, mengejar impian egoisku sendiri.

"Nara..."

Suara lemah itu membuatku tersentak. Mama membuka matanya perlahan.

"Ma! Mama sudah sadar?" Aku segera menekan tombol untuk memanggil perawat.

Mama tersenyum tipis. Bibirnya yang pucat bergerak-gerak mencoba bicara.

"Jangan dipaksakan dulu Ma, tunggu dokter datang ya..."

Tapi Mama menggeleng pelan. "Nara... maafin Mama..."

Air mataku tumpah. "Kenapa Mama yang minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf karena sudah jadi anak durhaka."

"Mama... bangga sama kamu, Nak." Suaranya terdengar semakin lemah. "Kejar... terus mimpimu..."

"Ma, please... jangan bicara dulu. Mama harus istirahat biar cepat sembuh."

Tapi Mama tetap melanjutkan. "Mama... sayang... ka..."

Bunyi monoton dari monitor jantung memenuhi ruangan. Garis lurus hijau yang menakutkan itu membuat kakiku lemas. 

"MAMA!" 

Para perawat dan dokter bergegas masuk. Aku didorong keluar ruangan sementara mereka berusaha menyelamatkan Mama. Air mataku mengalir deras. Bibirku terus menggumamkan doa.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Lima belas menit kemudian, dokter keluar dengan wajah muram.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin..."

Aku jatuh terduduk di lantai koridor rumah sakit. Mama pergi. Benar-benar pergi. Dan kata-kata terakhirnya adalah ungkapan cinta dan dukungan untukku, bukan kemarahan atau kekecewaan atas sikap egoisku selama ini.

***

Seminggu berlalu sejak kepergian Mama. Aku masih di Indonesia, belum kembali ke Jepang. Ada banyak hal yang harus kuurus, termasuk rumah peninggalan orangtuaku.

Saat membereskan kamar Mama, aku menemukan sebuah kotak kayu berukir di lemari pakaiannya. Di dalamnya ada tumpukan surat yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Tanganku gemetar membuka amplop pertama. Surat itu ditujukan untukku, ditulis tiga bulan lalu.

"Untuk anakku tersayang, Nara.

Mama menulis surat ini karena ada banyak hal yang ingin Mama sampaikan, tapi Mama tahu kamu sedang sibuk dengan penelitianmu. Mama nggak mau mengganggumu dengan telepon atau chat yang mungkin akan membuatmu merasa bersalah karena jarang membalas...

Mama cuma mau bilang kalau Mama sangat bangga padamu, Nak. Melihatmu mengejar mimpimu dengan gigih membuat Mama bahagia. Jangan pernah merasa bersalah karena memilih jalan hidupmu sendiri. Itulah yang selalu Mama dan Papa inginkan - melihatmu tumbuh menjadi perempuan mandiri yang berani mengejar passion-nya.

Mama memang kadang kesepian, tapi bukan berarti Mama menyalahkanmu. Justru kesepian itu membuat Mama belajar banyak hal baru. Mama mulai ikut kelas memasak, belajar berkebun, bahkan sekarang sudah bisa main gitar lho! Coba kalau kamu pulang nanti, Mama akan nyanyikan lagu kesukaanmu waktu kecil.

Oh iya, minggu lalu Mama check up ke dokter. Katanya tekanan darah Mama agak tinggi, tapi nggak perlu khawatir. Mama sudah diberi obat dan diminta untuk lebih hati-hati dengan pola makan. Mama nggak cerita ini ke kamu karena nggak mau kamu cemas dan terganggu pekerjaanmu..."

Aku tak sanggup melanjutkan membaca. Air mata mengaburkan pandanganku. Di kotak itu masih ada belasan surat lainnya, semua ditujukan untukku, ditulis dalam rentang waktu berbeda.

Mama menulis semua ini untukku, tapi tak pernah mengirimkannya. Dia memilih menyimpan kerinduannya dalam lembaran-lembaran kertas ini, tak ingin memberatkanku dengan cerita tentang kesepian dan kondisi kesehatannya.

Kuraih ponselku, membuka galeri foto. Ada ratusan foto hasil penelitianku di lab, tapi nyaris tak ada foto bersama Mama. Bahkan foto terakhir kami berdua diambil saat wisudaku tiga tahun lalu.

Seandainya waktu bisa diputar ulang...

***

"Nara-san, presentasi Anda minggu lalu sangat mengesankan. Kami ingin menawarkan perpanjangan kontrak penelitian untuk dua tahun ke depan."

Aku menatap Prof. Tanaka yang duduk di hadapanku. Dua minggu sudah berlalu sejak aku kembali ke Jepang. Tawaran ini adalah kesempatan emas yang selama ini kuimpikan - kesempatan untuk melanjutkan riset sel punca yang sudah kukerjakan selama tiga tahun terakhir.

Dulu, aku pasti langsung menerima tawaran ini tanpa pikir panjang. Tapi sekarang...

"Maaf, Profesor. Saya sangat menghargai tawaran ini, tapi..." aku menarik napas dalam-dalam. "Saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia."

Prof. Tanaka terlihat terkejut. "Tapi penelitian Anda di sini sangat menjanjikan. Anda punya masa depan cerah di bidang ini."

"Saya tahu, dan saya sangat berterima kasih atas semua kesempatan yang telah diberikan. Tapi saya ingin melanjutkan penelitian ini di Indonesia. Negara saya butuh lebih banyak peneliti di bidang sel punca."

Aku tersenyum mengingat surat-surat Mama. "Dan ada seseorang yang mengajarkan saya bahwa mengejar passion tidak harus berarti mengorbankan hal-hal yang penting dalam hidup."

Sebulan kemudian, aku resmi bergabung dengan tim peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta. Gajinya memang tidak sebesar di Jepang, tapi setidaknya aku bisa pulang ke rumah setiap akhir pekan.

Rumah yang dulu kutinggalkan kini kuubah menjadi perpustakaan kecil untuk anak-anak di sekitar kompleks. Setiap Sabtu, aku mengajar kelas sains gratis di sana. Foto Mama kupajang besar di dinding utama, tersenyum hangat seolah ikut mengawasi anak-anak yang belajar.

"Kak Nara, itu foto mama kakak ya?" tanya Dina, salah satu murid kecilku.

"Iya, cantik kan?"

"Mama kakak di mana sekarang?"

Aku tersenyum, menahan air mata yang mulai menggenang. "Mama sudah di surga. Tapi dia selalu ada di sini," aku menunjuk dadaku, "dan di sini." Aku menunjuk perpustakaan kecil ini.

"Kalau Mama masih ada, dia pasti senang melihat perpustakaan ini. Dulu dia guru les privat lho, suka sekali mengajar anak-anak."

Dina mengangguk-angguk. "Pasti Mama kakak bangga deh, lihat Kak Nara sekarang jadi guru juga."

Aku memeluk Dina erat. Ya, kuharap Mama bangga. Kuharap dia tahu bahwa pelajaran terpenting dalam hidupku justru kudapat dari kepergiannya - bahwa mengejar mimpi tak berarti apa-apa jika kita kehilangan orang-orang yang kita cintai dalam prosesnya.

Setiap malam sebelum tidur, aku masih membaca surat-surat Mama. Kadang sambil tersenyum, lebih sering sambil menangis. Ada begitu banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Tentang penelitianku yang kini fokus mencari terapi untuk stroke. Tentang perpustakaan kecil yang semakin ramai dikunjungi. Tentang betapa aku merindukannya setiap hari.

Tapi aku tahu Mama mendengar. Dia selalu mendengar, sama seperti dulu saat aku masih kecil dan tak bisa tidur karena mimpi buruk. Mama akan duduk di sampingku, mengusap rambutku pelan sampai aku tertidur.

Sekarang, saat rindu itu datang terlalu mencekik, aku akan membuka jendela kamar, menatap langit malam, dan membisikkan, "Ma, aku kangen..."

Dan angin malam akan berhembus lembut, seolah membawa pelukan Mama untukku.

***

Waktu memang tak bisa diputar ulang. Tapi waktu yang tersisa bisa diisi dengan hal-hal yang bermakna. Itulah yang kupelajari dari kepergian Mama. Bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar mimpi, tapi juga tentang merawat hubungan dengan orang-orang yang kita sayangi.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke lab, aku selalu menyempatkan diri mengunjungi makam Mama. Membawa bunga kesukaannya - anggrek putih yang sekarang kutanam di halaman rumah. Menceritakan rencana hariku, atau sekadar mengucapkan, "Pagi, Ma. Aku berangkat kerja dulu ya."

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana aku esok jika Mama tiada? Jawabannya ternyata sederhana - aku akan terus hidup, mengejar mimpi-mimpiku, tapi dengan cara yang berbeda. Cara yang akan membuat Mama tersenyum bangga di surga sana.

Karena cinta seorang ibu tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk - menjadi kenangan manis yang memberi kita kekuatan untuk terus melangkah, menjadi bisikan lembut yang menuntun kita pulang saat kita tersesat.

Dan aku? Aku akan terus berjalan di jalan yang kupilih, membawa cinta Mama dalam setiap langkahku. Karena bagaimanapun aku esok, Mama akan selalu ada - dalam setiap detak jantungku, dalam setiap mimpi yang kuwujudkan, dalam setiap kebaikan yang kulakukan untuk orang lain.

Terima kasih, Ma. Untuk segalanya.

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun