Seandainya waktu bisa diputar ulang...
***
"Nara-san, presentasi Anda minggu lalu sangat mengesankan. Kami ingin menawarkan perpanjangan kontrak penelitian untuk dua tahun ke depan."
Aku menatap Prof. Tanaka yang duduk di hadapanku. Dua minggu sudah berlalu sejak aku kembali ke Jepang. Tawaran ini adalah kesempatan emas yang selama ini kuimpikan - kesempatan untuk melanjutkan riset sel punca yang sudah kukerjakan selama tiga tahun terakhir.
Dulu, aku pasti langsung menerima tawaran ini tanpa pikir panjang. Tapi sekarang...
"Maaf, Profesor. Saya sangat menghargai tawaran ini, tapi..." aku menarik napas dalam-dalam. "Saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia."
Prof. Tanaka terlihat terkejut. "Tapi penelitian Anda di sini sangat menjanjikan. Anda punya masa depan cerah di bidang ini."
"Saya tahu, dan saya sangat berterima kasih atas semua kesempatan yang telah diberikan. Tapi saya ingin melanjutkan penelitian ini di Indonesia. Negara saya butuh lebih banyak peneliti di bidang sel punca."
Aku tersenyum mengingat surat-surat Mama. "Dan ada seseorang yang mengajarkan saya bahwa mengejar passion tidak harus berarti mengorbankan hal-hal yang penting dalam hidup."
Sebulan kemudian, aku resmi bergabung dengan tim peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta. Gajinya memang tidak sebesar di Jepang, tapi setidaknya aku bisa pulang ke rumah setiap akhir pekan.
Rumah yang dulu kutinggalkan kini kuubah menjadi perpustakaan kecil untuk anak-anak di sekitar kompleks. Setiap Sabtu, aku mengajar kelas sains gratis di sana. Foto Mama kupajang besar di dinding utama, tersenyum hangat seolah ikut mengawasi anak-anak yang belajar.