Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (9)

14 Maret 2022   17:18 Diperbarui: 14 Maret 2022   17:24 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setibanya, Pepen sedang berganti pakaian di pavilyunnya, baru pulang dari latihan softball.

"Dari mana Kus?" tanya Pepen sambil melap keringat.

"Dari kantor?"

"Gitu? Sudah kerja di mana gitu?"

"Kerja apaan? Baru pulang dari kantor kita."

"Oh kirain teh sudah kerja di tempat lain lagi. Kemarin lusa kalau nggak salah mah dari sana teh. Nganterin Mira beresin surat-surat."

"Katanya mau kerja di bank ya?"

"Iya. Kan kuliahnya sudah mau cepat lulus juga."

"Pepen katanya malah msu berlayar?"

"Mudah-mudahan." Pepen melemparkan handuk kecil ke tempat tidurnya. "Ada teman ngajak daftar ke HAL. Ikut-ikutan tes. Ternyata lulus. Kalau Engkus gimana?"

"Gimana apanya?" katanya malah balik bertanya. "Sudah diterima ya?"

Pepen mengangguk.

"Jadi sudah pasti?"

"Belum. Kan ada training dulu. Nantinya dites lagi. Kalau lulus ya jadi. Kalau nggak lulus ya nggak akan."

Kusnadi termenung.

"Malahan babe nggak begitu ngijinin."

"Kenapa?"

"Mungkin khawatir." Pepen bicaranya sambil tertawa.

"Kalau Mira?"

Pepen termenung, duduk bersila di kasur. Pepen tidak cepat menjawab. Malah menuangkan air dari termos.

"Mau kopi Kus?"

Kusnadi menggeleng.

"Sudah makan? Kalau belum kita minta ke Si Bibi."

"Belum lapar. Padahal tadi baru sarapan baso sama Lia."

"Sama siapa?"

"Sama Lia."

"Gitu? Gimana ceritanya tuh?" tanya Pepen sambil tertawa.

"Pulang sekolah katanya. Terus mampir ke rumah." sekarang Kusnadi yang menahan tawa.

"Kapan katanya mau mampir lagi?" Pepen bertanya sambil menyeruput air kopi. Segelas sekali teguk.

"Jadi Kang Zul buka peternakan. Mira kerja di bank. Pepen menjelajah dunia sambil jadi jongos kapal. Iya kan, jadi jongos di HAL teh?"

Pepen mengangguk sambil menyeringai.

"Jadi jongos oma-oma dan opa-opa. Tinggal sekarang Kus mau ke mana?"

Kusnadi tidak jadi tertawa.

"Kita dulu pernah berunding Kus." kata Pepen. "Masih ingat? Kalau nggak salah mah merundingkan meraih cita-cita. Arau apa atuh namanya, biar nggak terlalu keren kedengarannya. Bukan cita-cita mungkin, tapi ini mah cuma menerawang. Benar, semua juga bicaranya masih berdasarkan terawangan. Tak seorang pun yang berpengalaman. Tapi karena belum ada pengalaman semangatnya juga hebat sekali. Mau nggak dibilang hebst gimana. Kus juga sampai beringas kan?"

Kusnadi mendongak. Awalnya obrolan di rumah Pepen. Terus di rumahnya Mira. Hanya di tempat tinggal Kusnadi saja tidak pernah ada pertemuan. Sebab tidak ada yang akan menjamu.

"Sekarang dipikirin lagi." kata Pepen tampak mengingat-ingat masa-masa ke belakang. "Kita semua orang tersesat. Mira dari ekonomi, Engkus dari sospol, aku belajar elektro. Ceritanya, ingin punya koran! Kata siapa bukan orang yang linglung?

Tetapi ternyata terbukti, pada gagasan tidak terlalu menyimpang. Malah Kus bilang bagus segala. Ada ahli ekonominya, ada ahli politiknya, malah tukang bengkelnya tidak akan gagal. Terbilang regu yang terpilih.

Buktinya gimana? Kus, gimana buktinya?" bicaranya sambil pelan sambil menatap wajah Kusnadi.

"Kita semua ahli. Tapi menikung. Kita semua besar kemauan. Tapi menikung lagi. Makanya ya wajar saja, kalau akhirnya jadi begini."

Pepen melangkah ke rak buku. Mengambil catatan.

"Banyak yang ditulis di sini teh Kus. ujarnya sambil membuka-buka. "Coba di antaranya saja : Menemui Kang Zul, sebab dia berpengalaman di koran, sama kuliahnya di publisistik lagi. Dia sangat bersemangat waktu diajak. Yang duluan ditanyain, dari mana modalnya?" catatannya ditutupkan lagi. Dilempar ke meja.

"Aku bilang waktu itu, kan Kus ada yang menyanggupi. Optimis sekali! Optimis sekali. Gagasan banyak, modal ada yang nawarin. Apa lagi? Kan rasanya dunia ini milik kita!"

"Pepen juga kan yang menemui Oom Jaya."

"Iya. Sama Mira. Kan Mira yang sudah kenal lebih dulu. Nggak susah lagi cerita-ceritanya. Ujug-ujug percaya. Kita percaya ke dia. Dia kayaknya ya begitu."

"Kalau sekarang masih begitu mah."

Pepen tersenyum.

"Sekarang sudah nggak begitu Kus. Dianya sudah beda. Kita juga sama. Atau Kus mah lebih percaya ke Oom Jaya?"

"Ke yang namanya Pepen juga aku mah sudah tidak percaya." jawab Kusnadi.

"Bagus Kus. Harus begitu. Jangan terlalu percaya ke orang. Jangankan ke orang lain, meski ke diri sendiri harus sgak hati-hati."

"Termasuk kepada niat mau jadi jongos mungkin begitu ya."

Pepen tertawa kecil. Minum lagi.

"Mau pisang nggak Kus? Di situ ada yang jualan. Pantas lagi. Coba ya." menghampiri kapstok, merogoh uang dari saku dari saku celana.

"Bi! Bii!" panggilnya sambil pergi ke dalam.

Kusnadi termenung. Jarinya dijentikkan ke tangan-tangan kursi. Baru jelas sekarang di meja tulis Pepen ada foto Mira diberi figura kecil. Sedang menyeringai, giginya sedikit terlihat, di dinding atasnya menempel gadis Jepang, berbaring sexy. Di luar jendela, ada pohon mangga sedang masanya hijau daun.

"Comronya akan bikin ketagihan Kus." kata Pepen sambil membawa poci.

"Barangkali mau air teh?" tawarnya.

"Engkus mah kayak nggak begitu percsya aku mau kerja di kapal teh."

"Iya. Selalu nggak kepikiran apa alasannya."

"Ah masa nggak kepikiran. Masa nggak mengerti kalau mau main keliling dunia nggak harus bayar?"

"Malah dibayar."

"Iya. Malah dibayar. Sebelah mana nggak mengertinya?

"Kuakui, dalam hal ini aku yang butek."

"Ya begitu. Balasan dari suka merasa pintar. Sekali dipinterin orang bingung mengatasinya."

Datang Si Bibi sambil membawa pisang sepiring, comro sepiring.

"Sok Kus. Kalau sudah nyobain pasti ketagihan. Pedesnya ada, ngeprosnya ada. Katanya orang Tasik yang jualan." sambil makan comro satu.

"Dari Jalan Gunung Sabeulah  bukan di Tasiknya?" tanya Kusnadi sambil mengambil comro.

"Belum ditanyain jalan-jalannya mah. Tapi katanya pernah sekolah di Pendidikan Guru Agama."

"Pinter ngaji ya?"

"Sayang tadi malah nyuruh Si Bibi ya. Coba kalau kita nongkrong di sana. Dari Malangbong ke Tasik mah dekat Kus, nggak akan susah seserahan. Tapi biarin Kus, biar gampang saling mengunjungi." tertawa terbahak.

"Gimana atuh kan Mira juga orang Tasik?"

"Oh iya ya." kata Pepen agak terkejut.

Kusnadi tertawa kecil. Mengambil comro lagi.

"Ya, aku bilang pasti ketagihan."

"Kenapa Pen, nyuguhin teh kaya yang munafik. Kaya nggak ridho dihabisin?"

"Buat bekal ke rumah mah nanti lagi." jawab Pepen, sambil tertawa agak keras. "Sambil kita tengok yuk ke jongkonya. Harus dicek ke sumber beritanya  kan segalanya juga?"

"Mau orang Tasik kek mau orang mana kek, terserah." kata Kusnadi sambil mengunyah comro. "Yan penting, ini perut dari tadi pagi diisi makanan pedas melulu.. Jangan-jangan sehari ini nggak akan  makan nasi."

"Jelas, comro buatan Tasik mah dimakan sama nasi masa bikin tersedak. Kirain iya belum lapar. Baru dengar kabarnya, sudah langsung bikin lahap makan. Apa lagi kalau sudah ketemu orangnya." Pepen bicara begitu sambil pergi lagi ke luar. Tak lama datang Si Bibi membawa nasi dua piring. Datang lagi telur ceplok. Datang lagi sayur kacang.

"Belum ada guramenya mah Kus, masih di Tasik." kata Pepen saat masuk ke kamar.

"Biarin Boss, nggak usah nyusahin."

Mereka makan berdua. Sekesai makan mereka terlentang.

"Perut kenyang...Terima kasih Neng...siapa namanya teh?"

"Nah lho, yang dimakan barusan bukan comro sembarangan, Kus."

"Sekarang lagi kepincut sama tukang comro, nanti mah mungkin yang jadi cerita teh Si Non."

Pepen lama termenung. Lalu rebah berbaring di kasur. Mengganjal kepalanya dengan tangan.

"Mira juga pernah nyindir begitu." ujarnya pelan.

Kusnadi lama menatap wajah Pepen. Tetapi yang ditatapnya seperti sedang asyik mengumbar lamunan.

"Sudah mau empat tahun hubungan sa.a Mira teh." kata Pepen seperti bicara ke dirinya sendiri.

"Pernah jadi pikiran itu juga, kalau aku jadi kerja di kapal, gimana Mira? Tapi dia teh melarang nggak, ngijinin nggak. Cuma dari perangainya kelihatan seperti nggak setuju. Malah Mama yang banyak bertanya."

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung, Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra), Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun