Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (5)

10 Maret 2022   16:58 Diperbarui: 10 Maret 2022   17:02 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi meskipun nggak lama, Akang malah dapat tugas yang nggak ringan. Akang harus bikin daftar pesangon untuk nanti diajujan ke dia."

"Pesangon siapa Kang?" tanya Pepen.

Mendengar begitu Mira tak dapat menahan tawa.

"Pesangon siapa lagi kalau bukan pesangon kita semua?"

Pepen melirik ke Kusnadi. Yang dilirik santai saja terpejam sambil bersandar di kursi.

"Jadi ya Kang, PUBLIK berhenti?"

Zulkarnaen mengangguk.

Kusnadi yang awalnya merasa penat, matanya terbuka. Melirik ke Pepen.

"Gimana Kus?" kata Pepen merasa menemukan jalan.

"Akang sudah menyanggupi?" tanya Kusnadi ke Zulkarnaen.

"Menyanggupi apa?"

"Ya perkara pesangin itu?"

"Kalau menyanggupi belum. Kan Akang harus berunding dengan semuanya."

"Berapa orang ya karyawan PUBLIK teh?" tanya Kusnadi ke Mira.

"Sama yang jaga semua ada delapan belas."

"Sedikit." ujar Kusnadi pelan.

"Kenapa tiba-tiba ke pesangon ya Kang?" tanya Pepen.

Zulkarnaen tidak segera menjawab.

"Apa dulu atuh?" tanya Zulkarnaen sambil memadamkan rokok di asbak.

"Eh iya. Kan merundingkan mengenai terbit atau tidaknya juga belum tuntas."

"Belum teh kata kita. Kata Si Oom mah sudah tidak ada lagi pilihan."

"Nggak tahu kalau begitu."

"Makanya dia sudah minta daftar pesangon juga, mungkin saking kenapa?"

"Barangkali Akang pernah menyeludiki, apa sebabnya sampai Si Oom melakukan semua ini?"

Zulkarnaen tertawa kecil.

"Akang mah sudah nggak mau menyelidiki lagi apa sebabnya. Sudah capek! Sekarang mah Akang sudah bulat. Bagaimana menghadapi permintaan Si Oom itu."

"Akang sudah menyanggupi?" tanya Kusnadi.

"Kalau menyanggupi belum. Tapi mau bagaimana lagi."

Kusnadi, Pepen, dan Mira saling melirik.

"Jadi sekarang tinggal menentukan berapa-berapanya ya?" kata Mira.

Zulkarnaen mengangguk.

"Berapa tshun masa kerja kita teh?" tanya Pepen ke Mira.

"Tiga tahun lebih dua bulan!" jawab Mira.

"Belum lama geuning." gumam Pepen.

"Kayaknya nggak akan susah menghitungnya juga" kata Kusnadi. "Tinggal buka aturan perburuhan saja."

"Bener." kata Zulkarnaen. "Bagaimana jalau kita serahkan ke Mira. Nanti sebelum diajukan ke Si Oom kita rundingkan lagi."

"Iya gitu aja." kata Pepen.

"Gimana Kus?" tanya Zulkarnaen ke Kusnsdi.

Yang ditanya tidsk cepat menjawab.

"Kamu mah terus saja dipikirin." kata Pepen. "Sudahlah da PUBLIK mah nggak akan terbit lagi."

"Iya." jawab Kusnadi sambil menyeringai."Ingat dulu waktu nomor perdana baru terbit. Kita teh serempak ke NIKMAT, ngadain selametan."

"Kirain mikirin apa dari tadi termenung teh. "Pepen tertawa agak keras. "Dikerai, kirain mau terus sakit sebab PUBLIK sudah nggak bisa ditolong lagi."

Mira dan Zulkarnaen juga ikut tertawa.

"Itulah." kata Kusnadi sambil tertawa.  "Kayaknya mah sekarang juga kita harus ke sana lagi, perpisahan."

"Waaah, kan pesangonnya juga belum diterima." sergah Mira.

Akhirnya mereka bertiga pulang. Karena Pepen mengantar Mira, Kusnadi pulang sendiri.

Kusnadi berjalan santau. Malah mampir dulu ke toko buku. Agak lama membuka-buka buku Deliar Noor mengenai sejarah gerakan kaum Muslimin di Indonesia. Sudah dari dulu ingin membeli buku itu. Sayang harganya masih tak terjangkau. Ke luar dari toko buku masuk ke MAJESTIK. Tidak dilihat dulu judul filmnya, dilihat yang mainnya Catherine Deneuve. Mulai dari film Mayerling sangat suka kepadanya. Bukan karena mainnya bagus, suka rambutnya yang halus dan bibir tipisnya. Sekali sempat menontonnya bersama Mira dan Pepen. Suang ham dua bersama-sama berangkat dari kantor. Agak tidak nyaman duduknya, melihat Pepen dan Mira duduknya selalu tak bisa diam. Memang, tadi bilang mau terus pulang, tapi entah terus ke mana. Kalaupun pulang sekarang Pepen sedang berbuat apa. Dia jangankan berduaan di rumah, di kantor juga sering kepergok. Mira yang suka agak malu-malu, sedangkan Pepen selalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Pepen hidupnya berkecukupan. Bapaknya pensiunan pegawai tinggi Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan. Berasal dari Soreang. Ibunya dari Madura. Saudaranya hanya dua. Pepen anak ke dua. Kakaknya yang perempuan mendapat suami pegawai pabean di Jakarta. Adiknya yang lski-laki, baru kelas dua SMA. Pepen pernah kuliah di ITB, tetapi tidak lama. Bertemu dengan Kusnadi di IPMI. Lebih dulu Pepen bergabung ke situ, pertama tahu seluk-beluk membuat koran juga Kusnadi diajak Pepen. Saat itu masih ada Mimbar Demokrasi.

Pepen mengenalkan Kusnadi kepada Alex Rumondor. Orang Manado yang giginya ompong itu katanya pernah beberapa tahun kuliah di ITB.

Terdorong minatnya, Kusnadi sering ke luar masuk ke kantornya. Bahkan sampsi tahu ke percetakannya segala. Selanjutnya suka bantu-bantu. Sekali waktu ada kabar dari Indramayu yang harus dicek langsung ke sana. Karena yang lain tidak ada yang senggang, Kusnadilah yang ditugaskan. "Sambil belajar." kata Pepen menyemangati.

Selama berangkat, hatinya selalu deg-degan. Hanya sampai dengar-dengar saja, jadi wsrtawan itu harus begini harus begitu. Teorinya, sering membacanya, tetapi untuk prakteknya, harus bertanya-tanya dulu, ke siapa? Apa lagi kabar dari Indramayu itu mengenai persengketaan tanah. "Harus hati-hati Kus." pesan Pepen waktu mau berangkat.

Tetapi akhirnya berhasil dikerjakan. Laporannya dimuat di halaman depan. Hanya fotonya tidak begitu bagus. Untung ada yang jadi juga, kata Kusnadi, menggunakan foto tustel pun baru saat itu. Begitu juga, hampir semakam suntuk tak bisa tidur. Tulisannya di koran dibacanya beberapa kali, oleh Pepen,  waktu masih dikoreksi, ada beberapa bagian yang dibuang. "Terlalu bertele-tele." kata Pepen saat itu. Sebaliknya ada tambahan sedikit-sedikit. Terutama mengenai data.

Selang beberapa hari. Pepen mengabari, katanya ada beberapa surat masuk sebagai tanggapan terhadsp laporan soal Indramayu itu. Yang dari instansi resmi menjelaskan ada beberapa kekurangan. Keterangan dari masyarakat tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya surat-surat dari perorangan, ada yang menyebutkan apa sebabnya laporan itu tidak menampilkan keadaan yang sebenarnya dengan jelas dan lengkap. Begitu sambil ditambahkan informasi lain yang ada kaitannya dengan perkara itu.

Sejak saat itu Kusnadi mulai tertarik dengan jurnalistik. Kuliah semakin sering malasnya. Sebaliknya jadi senang  bepergian terutama ke pelosok. Apa lagi setelah Pepen meminjamkan foto tustel Olympus. "Sok aja pake." kata Pepen saat itu.

Ke luar dari Majestic sudah jam sebekas lebih. Dialun-alun mampir dulu ke tukang sekoteng. Sekarang perutnya sgak hsngat, tidak terlalu dingin seperti tadi. Badannya sudah terasa agak capai, namun masih jauh dari rasa kantuk. Malah ingat ke tetangganya. Perempuan muda putih dan montok. Siapa sangka perempuan nakal. Sudah cantik bersih lagi. Kusnadi tertarik oleh bulu betisnya. Kulit putih dan bulunya agak lebat.

Hingga tidurnya nyenyak sampai Subuh. Terbangun karena ada yang mengetuk pintu. Ah bukan mengetuk. Menggedor. Sangat keras. Bangunnya juga terperanjat. Dia sempoyongan pergi ke depan. Membuka pintu pun masih kesemutan. Pintu dibuka, matanya berkedip-kedip silau oleh cahaya dari luar.

"Baru bangun Kang Kus teh?"

Ternyata Lia yang menggedor pintu.

"Iya." Kusnadi .mengangguk sambil tersipu. "Silakan masuk. Dari mana Lia teh?"

"Pulang sekolah. Ada pelajaran bebas, ya pulang mampir ke sini."

Lia duduk di kursi.

"Tadi malam nggak bisa tidur."kata Kusnadi sambil memegangi rambutnya yang kusut. "Tidur nyenyak waktu Subuh. Kaget barusan ada yang menggedor pintu."

"Iya kan dari tadi diketuk-ketuk. Kirain teh sudah nggak ada di rumah. Tapi kata yang punya rumah belum kelihatan berangkat."

"Sudah lama Lia teh?"

"Adaaa..." matanya mendelik ke langit-langit. "Setengah jam."

"Setengah jam?"

Lia mengangguk.

"Oh gitu, sekarang sudah jam berapa?"

Lia melihat ke jam tangannya.

"Jam sepuluh lebih dua puluh."

"Masya Allah, kirain masih dini hari."

"Yee. Belum salat Subuh dong."

Kusnadi tertawa, lalu duduk. Baru jelas. Ternyata tidurnya tidak sempat ganti bsju, masih bekas main siangnya. Sepulang dari bioskop tidak bisa tidur. Malah begadang. Membuka buku. Tetapi membaca Beerling tidak selesai. Hanya sampai tiga lembar, tetapi tidak mengerti isinya. Terus mondar-mandir. Dari kamar ke depan. Lalu duduk sambil gelap-gelapan. Pikirannya melayang sekilas-sekilas. Ada Mira, ada Catherine Deneuve, ada meja tulisnya di kantor. Ada anak-anak sekolah, ada Lia. Iya, ada Lia juga.

Dilihatnya Lia yang sedang duduk di hadapan, asyik membuka-buka majalah. Entah dibaca atau tidak. Tetapi terbsyang sedang apa Lia tadi malam? Sedang membaca? Bukan. Perasaan sedang berdiri. Iya, sedang berdiri sambil berjalan. Sambil memegang radio kecil. Sambil memutar-mutar gelombangnya, mencari lsgu.

"Lagu apa Lia yang waktu itu?"

"Gimana Kang Kus?" tanya Lia seperti agak terkejut.

Kusnadi termenung.

"Kang Kus tadi ngomong apa?"

Sekarang Kusnadi yang agak tersipu. Telunjuk kanannya menggaruk ujung hidungnya.

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung, Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun