"Waaah, kan pesangonnya juga belum diterima." sergah Mira.
Akhirnya mereka bertiga pulang. Karena Pepen mengantar Mira, Kusnadi pulang sendiri.
Kusnadi berjalan santau. Malah mampir dulu ke toko buku. Agak lama membuka-buka buku Deliar Noor mengenai sejarah gerakan kaum Muslimin di Indonesia. Sudah dari dulu ingin membeli buku itu. Sayang harganya masih tak terjangkau. Ke luar dari toko buku masuk ke MAJESTIK. Tidak dilihat dulu judul filmnya, dilihat yang mainnya Catherine Deneuve. Mulai dari film Mayerling sangat suka kepadanya. Bukan karena mainnya bagus, suka rambutnya yang halus dan bibir tipisnya. Sekali sempat menontonnya bersama Mira dan Pepen. Suang ham dua bersama-sama berangkat dari kantor. Agak tidak nyaman duduknya, melihat Pepen dan Mira duduknya selalu tak bisa diam. Memang, tadi bilang mau terus pulang, tapi entah terus ke mana. Kalaupun pulang sekarang Pepen sedang berbuat apa. Dia jangankan berduaan di rumah, di kantor juga sering kepergok. Mira yang suka agak malu-malu, sedangkan Pepen selalu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Pepen hidupnya berkecukupan. Bapaknya pensiunan pegawai tinggi Departemen Pendidikan  dan Kebudayaan. Berasal dari Soreang. Ibunya dari Madura. Saudaranya hanya dua. Pepen anak ke dua. Kakaknya yang perempuan mendapat suami pegawai pabean di Jakarta. Adiknya yang lski-laki, baru kelas dua SMA. Pepen pernah kuliah di ITB, tetapi tidak lama. Bertemu dengan Kusnadi di IPMI. Lebih dulu Pepen bergabung ke situ, pertama tahu seluk-beluk membuat koran juga Kusnadi diajak Pepen. Saat itu masih ada Mimbar Demokrasi.
Pepen mengenalkan Kusnadi kepada Alex Rumondor. Orang Manado yang giginya ompong itu katanya pernah beberapa tahun kuliah di ITB.
Terdorong minatnya, Kusnadi sering ke luar masuk ke kantornya. Bahkan sampsi tahu ke percetakannya segala. Selanjutnya suka bantu-bantu. Sekali waktu ada kabar dari Indramayu yang harus dicek langsung ke sana. Karena yang lain tidak ada yang senggang, Kusnadilah yang ditugaskan. "Sambil belajar." kata Pepen menyemangati.
Selama berangkat, hatinya selalu deg-degan. Hanya sampai dengar-dengar saja, jadi wsrtawan itu harus begini harus begitu. Teorinya, sering membacanya, tetapi untuk prakteknya, harus bertanya-tanya dulu, ke siapa? Apa lagi kabar dari Indramayu itu mengenai persengketaan tanah. "Harus hati-hati Kus." pesan Pepen waktu mau berangkat.
Tetapi akhirnya berhasil dikerjakan. Laporannya dimuat di halaman depan. Hanya fotonya tidak begitu bagus. Untung ada yang jadi juga, kata Kusnadi, menggunakan foto tustel pun baru saat itu. Begitu juga, hampir semakam suntuk tak bisa tidur. Tulisannya di koran dibacanya beberapa kali, oleh Pepen, Â waktu masih dikoreksi, ada beberapa bagian yang dibuang. "Terlalu bertele-tele." kata Pepen saat itu. Sebaliknya ada tambahan sedikit-sedikit. Terutama mengenai data.
Selang beberapa hari. Pepen mengabari, katanya ada beberapa surat masuk sebagai tanggapan terhadsp laporan soal Indramayu itu. Yang dari instansi resmi menjelaskan ada beberapa kekurangan. Keterangan dari masyarakat tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya surat-surat dari perorangan, ada yang menyebutkan apa sebabnya laporan itu tidak menampilkan keadaan yang sebenarnya dengan jelas dan lengkap. Begitu sambil ditambahkan informasi lain yang ada kaitannya dengan perkara itu.
Sejak saat itu Kusnadi mulai tertarik dengan jurnalistik. Kuliah semakin sering malasnya. Sebaliknya jadi senang  bepergian terutama ke pelosok. Apa lagi setelah Pepen meminjamkan foto tustel Olympus. "Sok aja pake." kata Pepen saat itu.
Ke luar dari Majestic sudah jam sebekas lebih. Dialun-alun mampir dulu ke tukang sekoteng. Sekarang perutnya sgak hsngat, tidak terlalu dingin seperti tadi. Badannya sudah terasa agak capai, namun masih jauh dari rasa kantuk. Malah ingat ke tetangganya. Perempuan muda putih dan montok. Siapa sangka perempuan nakal. Sudah cantik bersih lagi. Kusnadi tertarik oleh bulu betisnya. Kulit putih dan bulunya agak lebat.