Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (4)

9 Maret 2022   22:49 Diperbarui: 9 Maret 2022   22:57 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dimas beranjak ke belakang. Kusnadi, mengibas-ngibaskan air hujan dari jaketnya. Rambutnya disisir ke belakang menggunakan tangan. Meraba-raba saku, mencari rokok. Namun ketinggalan. Dia duduk  bersandar di kursi sambil menatap langit-langit. Pada ke mana rumahnya sepi? Berliburkah? Biasanya suka ramai. Adiknya Mira ada empat orang. Apa lagi Tantan, yang paling nakal. Kalau Kusnadi datang pasti menghampiri. Menceritakan segala hal, maklum anak baru empat tahun.

Kusnadi hanya melirik dengan sudut matanya saat Mira muncul dari tengah rumah. Rambutnya dikibas-kibaskan ke belakang, masih mengenakan dastet.

"Sampai harus pegel menanti Tuan Putri bangun." kata Kusnadi.

Mira hanya tertawa.

"Nggak tidur kok, cuma rebahan."

"Sambil mimpi." balas Kusnadi sambil mengeluarkan surat dari Zulkarnaen, dari saku bajunya.

"Ini surat dari Kang Zul." ujarnya. Suratnya diserahkan ke Mira.

"Surat apa?"

"Baca saja."

"Sebentar ya." kata Mira sambil mengusap matanya. Pergi ke kamar. Sekeluarnya sudah memakai kacamata.

"Surat apa Kus?" tanya Mira sambil meraih surat dari atas meja.

Kusnafi tidak menjawab.

"Kirain surat penting." kata Mira setelah membaca surat. "Pepen mana?"

"Di rumahnya sepi. Kirain ada di sini."

"Sudah beberapa hari nggak ke sini. Belum minum ya Kus?" kata Mira sambil bangkit.

"Nggak usahlah, kan kita mau ke Kang Zul."

"Nanti saja, kan sekarang masih hujan."

Mira pergi ke belakang. Agak lama tidak kembali lagi. Malah yang membawakan minum Si Bibi. Saat Si Bibi pergi ke belakang, Kusnadi minum. Sudah kehujanan, sekarang minum air teh hangat, terasa lewatnyacke usus. Waktu Mira kembali menghampiri, sekarang sudah ganti pakai rok. Malah sudah sisiran. Rambutnya rapi disisir ke belakang.

"Hujannya juga bertambsh lebat, Kus." ujarnya sambil duduk di hadapan Kusnadi.

"Mudah-mudahan nggak lama. Yang lainnya pada ke mana nih, kok sepi?"

"Mama ke Tasik, menjemput cucu, kan sekolshnya pada libur. Sambil sekalian mengantarkan yang dari sini mau liburan ke pamannya du Pangandaran."

"Giliran ya."

"Mama kan begitu ke cucunya.kalau musim liburan nggak pada ke sini, suka nanyain, takut kenapa-kenapa?"

Kusnadi berbalik memandang ke luar. Mengamati hujan yang semakin lebat.

"Yang dari Jakarta pada ke sini juga?" tanya Kusnadi. Kakaknya Mira ada yang tinggal di Jakarta. Kakak laki-lakinya yang sulung, menikah dengan orang Bali.

"Nggak. Tahun ini liburannya giliran ke neneknya yang di Bali. Gantian setahun sekali."

Kusnadi teringat kepada orang tuanya. Jangan-jangan tidak terlalu berbeda. Keponakan-keponakannya sudah mulsi berdatangan pada liburan. Terbayang nakal-nakal. Ke neneknya bermanja-manja melebihi ke ibunya. Apa lagi anak-anaknya Teh Kiki. Nakalnya lebih dari yang lain. Ibu suka terganggu kalau mau salat. Tetapi Kusnadi juga tahu, ibunya itu sabar dihormati orang. Senakal apapun cucunya, tidak sampai ada yang disabet apa lagi dipukul. Cukup menegurnya saja. Sepertinya itulah yang menyebabkan cucu-cucunya pada betah.

"Gimana kalau hujannya nggak berhenti?"  tanya Mira agak bermalas-malasan.

Kusnadi tak menjawab. Dia terus mengamati air hujan yang jatuh dari atap.

"Iya."  ujarnya pelan. "Kata orang tua kalau hujan putih mah suka lama."

"Gimana kalau yang menemui Kang Zul Kus aja sendiri."

"Ah nggak akan bener. Gimana kalau di sana teh ngajak merundingkan pesangon?" kata Kusnadi sambil tertawa.

"Pesangon apa?" tanya Mira heran. 

"Jangan-jangan, kalau benar PUBLIK nggak akan terbit lagi, mungkin kita harus dikasih uang pesangon."

"Bukan keinginan kita kan?"

"Entah." kata Kusnadi sambil menegakkan posisi duduknya.

"Rasanya selalu mengherankan."

"Si Oom?"

"Bukan cuma Si Oom. Kang Zul juga sekarang mah beda."

"Beda gimana?"

"Beda saja, kalau dibandingkan sama yang dulu-dulu."

"Kirain Mira aja  yang merasa begitu."

"Perubahan apa yang Mira rasaksn?"

"Kang Zul sekarang kayaknya sudah luntur."

"Luntur cita-citanya?"

"Bisa jadi belum sampai kayaknya kalau ke tingkatan cita-cita. Ini kan bukan ke sifat sehari-hsri saja. Sangat jsuh berbeda sama dulu. Kan waktu itu, waktu ngajakin kita bikin koran juga, siapa yang meragukan?"

Kusnadi terdism beberapa lama.

"Kus sejak kapan kenal sama Kang Zul?"

"Wah sudah agak lama." jawabnya sambil terus termenung, mengingat-ingat. "Kayaknya sudah dekapan tshun lebih."

"Masa nggak tHu sama sifat-sifatnya?"

"Nggak terlalu tahu. Sama itu lagi, semakin ke sini semakin berubah. Semakin sering menemukan sifat-sifatnya yang dulu nggak pernah ada. Misalnya saja, sikap formalnya dalam menghadapi satu masalah. Itu sifatnya sekarang. Dulu kan nggak pernsh begitu. Seksrang mah menghadapi apa saja selalu kaku."

"Kayaknya bawaan kedudukannya. Bagaimanapun sekarang Kang Xul pemimpin kita. Jangan-jangan Kang Zul sendiri sengaja, biar kita merasa kaku kepadanya."

"Ya. Bisa jadi begitu."

"Bagaimana kita menghadapinya sekarang?"

"Justru itu yang menjadi pikiran. Kita kan sudah mempercayakan, memberi mandat ke Kang Zul untuk menemui Si Oom. Jangan-jangan yang membuat Kang Zul nyuruh kita ngumpul, soal itu?"

"Makanya Kus aja sendiri yang berangkat. Mira nunggu kabarnya aja."

"Ah nggak akan bener kalau begitu. Sekarang kita tanya Kang Zul saja. Bagaimana kabarnya?"

"Gimana kalau nanti kabarnya ngga mengenakkan?"

Kusnadi tertawa.

"Mau enak mau nggak enak, gimana nanti aja. Sekarang kita berangkat."

"Madih hujan."

"Apa kagi nanti, hujan tetsp nggak reda, kemalaman lagi."

"Kalau bisa nawar, males banget Kus. Sehatian tadi juga nggak ke luar ke luar, diam di rumah aja."

"Apa lagi begitu. Jelek kalau seharisn nggak ke luar rumsh. Mending jslsu lsgi dipinggit."

Mira tertawa.

"Nanti ya, kalau tetep maksa." Mira pergi ke dalam.

Sampai ke rumah Zulkarnaen hujan masih belum reda. Tampak Zulkarnaen sedang membuka-buka msp.

"Mana Pepen?" katanya waktu Kusnadi dan Mira masuk.

"Tadi teh nggak ada. Tapi saya sudah titip surat. Kirain sudah ke sini?"

Map dan koran-koran yang berantakan di mrja dirapikan oleh Zulkarnaen. Lalu disimpan ke dalam.

"Dulu teh bulan Juni ya Kus?" tanya Zulkarnaen sambil duduk lagi.

"Apanya Kang?"

"Awal terbitnya PUBLIK."

"Iya." Mira membantu menjawab. Kusnafi termenung. " Tanggal 3 Juni."

"Nah hapal sama tanggalnya."

"Kan belum lama Kang, baru empst tahun jalan." jawab Mira sambil tertawa.

"Iya." kata Zulkarnaen. "Tidak lama umur koran kita teh. Cuma jalan tiga tahun. Seumur jagung, kata orang tua mah."

" Kalau begitu sudah pasti PUBLIK teh nggak akan terbit lagi?" Kusnadi bertanya, tampak sudah tidak sabar.

"Makanya sama Akang sekarang cepat-cepat dikasih surat juga. Sudah beberapa kali Akang sengaja menemui Si Oom baru malam tadi bisa ketemu. Itu juga nggak lama, kan dia harus menghadiri resepsi di Kertamukti. Ngobrolnya dinas sekali. Tapi meskipun cuma sebentar, kepastiannya sudah lebih dari pasti. Sebab sekarang Akang ditugaskan untuk mengajukan daftar pesangon."

"Pesangon?" Kusnadi tercenung. Melirik ke Mira. Yang dilirik tersenyum memberi isyarat mengerti. Tetapi Kusnadi tampak malas tertawa. Iya tadi sempat mengobrol menyebut-nyebut soal pesangon, tadinya hanya tebakan. Malah hanya candaan. Sekarang menjadi nyata.

"Pesangon gimana Kang?" katanya lagi ke Zulkarnaen.

Zulkarnaen agak bergeser duduknya. Saat mau bicara, di halaman ada motor berhenti. Zulkarnaen beranjak ke pintu menyingkap gordin.

"Pepen." ujarnya sambil membuka kunci pintu.

Setelah menggantungkan jas hujan di kursi yang ada di teras, Pepen masuk. Meskipun memakai jas , celananya basah juga.

"Ada surat dari Ibu?" tanya Kusnadi. Duduknya bergeser memberi tempat untuk Pepen duduk. Tetapi Pepen memilih menduduki kursi di sampingnya.

"Iya." jawabnya sambil menyeka wajahnya dengan sapu tangan. "Ada apa Kang Zul bikin kaget saja? Kalau berundingnya sudah selesai, kasih saya kepastiannya saja. Maaf terlambat" bicaranya sambil tertawa.

"Ih boro-boro selesai. Baru juga mulai!"

"Aduh...kirain teh..."

"Begini Pen." kata Zulkarnaen. "Nggak apa-apa ya capek juga. Baru saja, sudah Akang sampaikan ke Kus sama Mira. Kan waktu itu Akang menerima mandat, untuk menemui Si Oom."

"Betul." Pepen mengangguk-angguk.

"Nah sekarang sudah ketemu. Malam kemarin, cuma nggak lama, kan Si Oom ada keperluan lagi yang lebih penting.

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung., Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradidi Sunda (Dasentra) Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Bsrata).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun