Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (1)

7 Maret 2022   21:45 Diperbarui: 7 Maret 2022   21:47 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Surat kabar mingguan PUBLIK sudah sebulan benar-benar tidak bisa terbit. Untuk Kusnadi, artinya dia menghela nafas saja. Itu juga kalau ada acara-acara, dia selalu datang. Malah kemarin baru menonton sepak bola antara Persib Bandung melawan PSIT Cirebon di Stadion Siliwangi.

"PUBLIK sudah terbit lagi?" tanya Zaenal yang menjadi sekretaris SIWO waktu bertemu di kantor KONI.

"Mudah-mudahan minggu depan." balas Kusnadi pelan. Menjawabnya begitu daripada tidak menyahut saja.

"Katanya mau dijual?" tanya Wawan. Wartawan Antara yang relatif rajin.

"Kata siapa?" Kusnadi agak terkejut, karena belum mendengar kabar itu sebelumnya.

"Ada yang bilang, katanya Wijaya sudah tak sanggup memberi modal lagi. Apa katanya korannya selalu merugi. Sehingga beralih ke usaha peternakan di Pangalengan.

Kusnadi mengangguk pelan.

"Buka peternakan?" Zaenal sepertinya tidak percaya.

"Padahal ikut saja Kus,. Lebih baik mengurus sapi, daripada jadi wartawan. Mudah-mudahan bisa sehat kan setiap hari minum susu."

Kusnadi tertawa kecil. Dia terus pergi ke lapangan. Saat sepak bola sudah berlangsung pikirannya tidak terlalu ruwet. Duduk di sudut berdampingan dengan Iwan dari Pikiran Rakyat yang sedang asyik memotret, dia tidak banyak bicara. Iwan juga katanya sudah mendengar, PUBLIK akan dijual. Atau kalau diperhalus, akan merger. Tetapi apa benar Wijaya yang menjadi pemimpin umum sekarang akan aktif lagi atau tidak, belum begitu pasti.

"Kalau dijual secara terang-terangan, tentunya juga kan tidak bileh." kata Iwan. "Cuma kalau saja ada yang berniat ngemodalin, oleh Wijaya akan dianggap saudaranya."

"Iya." sahut Kusnadi pendek.

"Yang dulu ada di SIT nya, siapa saja?

"Wijaya dan Zulkarnaen." kata Kusnadi. Zulkarnaen itu pemimpin redaksi.

"Kata Zul gimana?"

"Dia gimana Wijaya saja."

Dari lapangan Kusnadi berangkat ke rumah Zulkarnaen. Tetapi tampak sepi sekali. Karena menekan bel beberapa kali tidak ada yang ke luar juga, Kusnadi melingkar ke belajang. Di dapur tampak Bi Tiah sedang bekerja.

"Kang Zul ke mana Bi?" tanya Kusnadi dari pintu.

"Nggak tahu ya semuanya pada berangkat kemarin. Denger-denger sih ke luar kota."

"Di sini cuma Bibi saja?"

"Ada Neng Lia. Sebentar ya barangkali ada di kamarnya."

Tak lama Lia muncul sambil menggenggam radio kecil.

"Hey, Kang Kus. Ayo masuk."

"Barangkali Lia tahu Kang Zul berangkat ke mana?" ujarnya lalu duduk di kursi makan di ruang tengah.

Lia mengeluarkan stoples berisi ke semprong dari lemari. Tak usah dipersilakan lagi, Kusnadi mengambil satu lalu dimakannya.

"Kang Zul sama Teh Iceu mah pada berangkat dari kemarin." kata Lia.

"Ke mana?"

" Ke Pangalengan. Mau menyejukkan diri katanya."

Bibir Kusnadi yang yang sedang menggigit kue semprong, lama melongo. Saking terkejutnya.

"Ke Pangalengan? Suka sering pergi ke sananya?"

"Baru dua kali." Lia asyik memutar-mutar gelombang radio. "Dua kali itu pergi sama Teh Iceu. Kalau Kang Zul mah sehari-hari di sana."

Kusnadi terhenyak. Tidak salah lagi. Padahal minggu kemarin terakhir bertemu dengan Zulkarnaen. Tetapi sama sekali tidak menyebut-nyebut perkara Pangalengan. Malah dia sendiri yang sering memberi gambaran bahwa PUBLIK akan terbit lsgi. Atau begitu, benar kata berita, akan diterbitkan oleh yang lain?

" Lia juga suka main ke Pangalengan?"tanya Kusnadi ingin tahu. Tetapi yang ditanya hanya menggelengkan kepala.

"Apa Kang Zul punya usaha baru di sana?"

"Nggak tahu. Lia mah nggak suka sengaja nanyain."

Beberapa menit Kusnadi termenung. Kalau saja benar Zulkarnaen rasanya keterlaluan. Mengapa tidak berterus terang saja.

"Kang Kus mau makan?"

Kusnadi menggelengkan kepala. Padahal perutnya terasa lapar. Dan sudah biasa juga ikut makan di rumah Zulkarnaen. Tetapi sekarang mendadak tidak ingin.

"Biasanya ke Pangalengan sama siapa?"

"Nggak tahu. Lia nggak suka sengaja nanyain, PUBLIK nggak akan terbit lagi?"

"Sok atuh sama Lia tanyain ke Kang Zul?"

"Kata Kang Zul mau terbit lagi."

"Kapan?"

"Katanya sekarang-sekarang."

"Nggak tahu. Harusnya Kang Kus yang lebih tahu. Lia kan cuma gitu aja, dengerin Kang Zul ngobrol-ngobrol soal itu."

"Suka sama siapa ngobtolnya?"

Tangan Lia yang dari tadi memutar-mutar gelombang radio, berhenti saat terdengar lagu C 'est La Vie.

"Sama Oom Jaya. Pernah ada yang lain juga. Katanya masih teman Oom Jaya."

Kusnadi termenung beberapa saat.

"Kalau begitu Kang Kus belum dikabarin apa-apa?"

"Belum. Ketemu Kang Zul minggu kemarin. Tapi dia nggak bilang apa-apa?"

"Nggak tahu tuh. Lia juga nggak tahu bener. Lusa malah ada Oom Jaya ke sini. Juga ngajak Lia ke Pangalengan, kan lagi libur sekolah."

"Kenapa Lia nggak ikut?"

"Kata Kang Zul jangan sekarang. Nanti saja kapan-kapan. Sekarang mah lagi buru-buru katanya."

"Buru-buru kenapa?"

"Nggak tahu tuh Kang Kus. Lia mah kan bukan wartawan, nggak pernah investigasi kayak Kang Kus."

Kusnadi tertawa lalu minum.

"Kang Kus teh haus." ujarnya sambil memutar-memutar gelas yang sudah kosong. "Tadi nonton sepak bola di Siliwangi."

"Mana yang kalah?" tanya Lia sambil berdiri mengambil poci dari atas rak.

"Persib." menjawabnya begitu, tetapi pikirannya melayang-layang.

Setelah puas minumnya, Kusnadi pamitan.

"Nanti besok pagi Lia bilangin ke Kang Zul, ada Kang Kus ke sini."

"Kalau begitu, apa pasti besok pulangnya?"

Lia mengernyitkan alisnya.

"Ini kan barangkali."

"Mending jangan dibilangin. Biar saja Kang Kus besok atau lusa ke sini lagi."

Lia mengangguk. Kusnadi pamitan. Baru saja sampai di gang, perutnya keroncongan. Terasa lapar lagi. Jadi tidak langsung pulang, mampir dulu ke lapangan Gasibu. Lalu duduk di warung nasi.

"Rames saja, Bi." pintanya.

"Sudah tidak ada apa-apa , Cep. Cuma ada goreng tempe."

Kusnadi termenung sambil melihat-lihat.

"Nasinya saja Bi. Biar saya kasih kuah mi." kata Kusnadi sambil beranjak ke sebekah, pesan ke yang jual mi kocok.

Selama melahap dia terus berpikir. Bagaimana caranya agar bisa meneliti sendiri ke Zulkarnaen. Ingin tahu bagaimana sebenarnya. Jangan-jangan ada sebab-sebab lain hingga memutuskan koran tidak terbit lagi. Menurut perhitungannya rasanya tidak usah tidak terbit. Terakhir oplahnya masih lima ribu. Terhitung merosot kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jangan beberapa tahun ke belakang. Waktu menghsdapi kampanye pemilu, oplah koran melonjak. Tetapi hingga saat ini terus menurun.

Pada rapat mendekati berhenti, wijaya pernah berkata mencela isi koran.

"Semakin ke sini, isi PUBLIK semakin turun saja.Tidak pernah ada tulisan bermutu, yang digarsp serius." ujarnya bersemangat.

"Serius di mananya Oom?" sahut Zulkarnaen.

"Pokoknya dalam isinya, ada masalah politik, tapi tidak ke sana tidak ke sini. Ada hiburan, tapi terkadang sampai suka bertanya, apa istimewanya soal begitu sampai harus menjadi berita? Apa tidak ada lagi soal lain?"

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung. Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa. Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra), Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun