Mohon tunggu...
Mas
Mas Mohon Tunggu... Freelancer - yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances— Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gizi Ibu Hamil, Memutus Siklus Lingkaran Malnutrisi Dimulai dari Remaja

31 Januari 2022   06:06 Diperbarui: 31 Januari 2022   06:09 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motor Gizi (Mozi) Masagi (CANDRA YANUARSYAH/Antarafoto via kompas.com)

Ketika kita berbicara tentang kekurangan gizi, kita sering memikirkan seorang anak kecil yang tidak cukup makan. Namun, kenyataan di Indonesia lebih kompleks: remaja juga menghadapi krisis gizi dan tiga beban masalah gizi sekaligus atau triple burden.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes),beban ini terdiri dari permasalahan gizi kurang seperti stunting dan kurus (wasting); gizi lebih seperti kegemukan (obesitas); serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Stunting sendiri adalah kondisi gangguan pertumbuhan pada anak, yang terlihat dari tinggi badan yang di bawah standar, akibat masalah kurang gizi kronis.

Secara garis besar, untuk masalah gizi seperti stunting, Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara di Asia Tenggara, meskipun perbaikan mulai terlihat. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia menurun dari 36,8 persen pada 2007 menjadi 27,7 persen pada 2019, menurut Riskesdas dan Studi Status Gizi Balita di Indonesia yang dibuat oleh Kemenkes. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) dan wasting pun mengalami penurunan.

Kemenkes juga mencatat, prevalensi kegemukan pada anak balita menurun dari 14 persen pada tahun 2010 menjadi 8,04 persen pada tahun 2018. 

Akan tetapi, prevalensi obesitas di atas 18 tahun justru terus beranjak naik dari 10,5 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. 

Proporsi anemia pada ibu hamil meningkat pula dari 37,1 persen pada tahun 2013 menjadi 48,9 persen pada 2018, menurut Riskesdas. Artinya, hampir setengah dari seluruh ibu hamil di Indonesia menderita anemia dua tahun yang lalu.

Masalah gizi yang dihadapi bukanlah suatu hal yang langka. Di sisi ekstrim yang berseberangan, hampir seluruh penduduk (95,5 persen) berusia di atas 5 tahun tidak memenuhi porsi konsumsi buah dan sayur harian yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) dalam seminggu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018. Menurut riset tersebut, konsumsi penduduk dikategorikan kurang apabila mereka mengonsumsi kurang dari 5 porsi sayur dan/atau buah per hari, atau setara 250 gram sayur dan 150 gram buah.

Ini terlihat pula di alokasi jumlah Pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan minuman jadi (processed food) lebih tinggi sekitar 3 kali lipat daripada padi-padian per Maret 2020, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Pengeluaran ini juga lebih tinggi sekitar 4 kali lipat daripada sayur-sayuran ataupun ikan, udang cumi, dan kerang.

Padahal, pembekalan nutrisi kepada generasi penerus menjadi genting mengingat Indonesia sedang mengalami masa bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) jauh lebih besar dibanding jumlah penduduk usia tidak produktif. 

Generasi Z, atau sebutan untuk penduduk kelahiran tahun 1997 hingga 2012, mendominasi jumlah penduduk pada 2020 dengan 74,93 juta atau lebih dari seperempat total penduduk 270,20 juta jiwa, berdasarkan sensus penduduk BPS per September 2020. 

Di sisi lain, generasi yang lebih muda, atau kelahiran 2013 ke atas, yang disebut oleh BPS sebagai Post-Generasi Z, juga mengikuti dengan jumlah 29,17 juta jiwa di tahun 2020.

Menimbang pola makan masyarakat Indonesia yang kurang sehat, bagaimana sebenarnya kondisi permasalahan gizi di Indonesia saat ini, dan apa dampaknya terhadap masa depan sumber daya manusia (SDM)? Lalu, apa upaya yang sedang digodok berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan masalah ini?

Indonesia memiliki salah satu populasi remaja terbesar di dunia. Bahkan sebelum krisis pandemi covid-19, mereka menghadapi tiga beban malnutrisi: realitas kekurangan gizi, defisiensi mikronutrien, dan obesitas. Sekitar seperempat dari mereka terhambat, atau terlalu pendek untuk usia mereka; sekitar 8 persen terlalu kurus; 15 persen kelebihan berat badan atau obesitas; dan 22 persen remaja putri menderita anemia.

Malnutrisi, dalam segala bentuknya, merugikan perkembangan jangka panjang anak-anak -- dan bahkan dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Selain kinerja kognitif yang buruk dan produktivitas kerja yang rendah, remaja putri yang anemia, misalnya, lebih mungkin menjadi ibu anemia yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yang cenderung tumbuh kerdil. Hampir separuh dari seluruh ibu hamil di Indonesia mengalami anemia karena makanan yang mereka konsumsi kurang vitamin dan mineral yang dibutuhkan.

Sebuah buku berjudul The Second Sex tahun 1949, terungkap bagaimana wanita selalu dianggap sebagai "orang lain" dipraktikkan bahkan hingga hari ini di banyak bagian dunia. Wanita sering kali dikucilkan dari pengambilan keputusan, termasuk dari diskusi tentang kesehatan mereka sendiri. Di rangkaian miskin sumber daya, anak perempuan sering menderita gizi buruk selama masa kanak-kanak dan remaja, yang selanjutnya diperburuk selama kehamilan.

Wanita seringkali bertanggung jawab untuk menyiapkan makanan, namun mereka makan paling sedikit, tanpa pertimbangan khusus untuk nutrisi mereka jika mereka hamil. Seorang ibu yang kekurangan gizi lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat badan yang minim dan kekurangan gizi.

Wanita dari keluarga sosial ekonomi rendah, dalam kelompok berisiko tinggi, termasuk mereka yang terlalu muda atau tua, anemia atau memiliki status gizi buruk dan dengan akses yang lebih sedikit ke perawatan kesehatan, memiliki risiko lebih besar untuk morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.

Di sejumlah masyarakat Indonesia, kepercayaan dan kebiasaan takhayul menghadirkan hambatan tambahan bagi perempuan untuk mengakses perawatan antenatal. Beberapa etnis membatasi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan tanpa kehadiran saudara laki-laki atau perempuan lanjut usia, yang selanjutnya menunda perhatian medis.

Di banyak komunitas terpinggirkan, informasi kesehatan sebagian besar dibagikan melalui pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Mengingat pandemi saat ini, sebagian besar Puskesmas tutup untuk mencegah penularan penyakit dan informasi kesehatan kritis malah disebarluaskan secara online, melalui webinar, panggilan konferensi, atau WhatsApp atau pesan teks. 

Sementara 39 persen wanita sekarang memiliki smartphone seperti yang ditemukan oleh Pew Research Center pada Februari 2019, mereka belum tentu pengguna perangkat dan penggunaan ponsel dan teknologi tetap rendah di kalangan wanita. Bagi mereka yang memiliki akses ke perangkat, banyak yang melihat tanggung jawab rumah tangga mereka meningkat dan memiliki waktu luang yang terbatas untuk membaca pesan-pesan ini. Akibatnya, perempuan tidak menerima informasi penting untuk kesehatan mereka sendiri.

Dalam masyarakat di mana perempuan dan anak perempuan sering berjuang untuk mengakses kebutuhan dasar, seperti makanan sehat, pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, kebutuhan ini semakin jauh dari jangkauan karena pembatasan selama krisis pandemi covid-19.

Penelitian telah menunjukkan bahwa karena efek langsung dan tidak langsung dari krisis pandemi covid -19, peningkatan kematian ibu dan bayi baru lahir diperkirakan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Wanita berada di garis depan baik di rumah maupun di sektor perawatan kesehatan dan merasakan konsekuensinya yang paling akut.

Banyak aktivis telah memperjuangkan keterwakilan perempuan yang setara dalam pengambilan keputusan. Melibatkan perempuan dalam diskusi rumah tangga tentang kesehatan dan gizi mereka sendiri merupakan langkah awal yang penting untuk membawa perubahan.

Informasi juga harus dibuat lebih mudah diakses dengan memanfaatkan media mainstream seperti radio dan televisi untuk menyebarkan pesan kesehatan utama. Membangun kapasitas kelompok swadaya perempuan di kota dan melibatkan remaja yang memiliki ponsel untuk menyampaikan pesan gizi kepada ibu hamil juga merupakan langkah penting.

Kebiasaan baik yang dikembangkan selama masa remaja, seperti perilaku makan yang sehat dan aktivitas fisik, dapat bertahan seumur hidup dan dapat memutus siklus malnutrisi antargenerasi. Namun, program yang bertujuan untuk meningkatkan gizi selama tahun-tahun pembentukan ini masih terlalu sedikit dan jauh di seluruh negeri, dan perlu ditingkatkan dengan cepat. 

Dalam upaya mendukung gizi yang baik pada masa remaja, Pemerintah Indonesia dengan dukungan dari United Nations Children Fund (UNICEF) dan mitra lainnya telah menguji berbagai kebijakan dan intervensi kesehatan masyarakat. Sejak 2016, program nasional mendistribusikan suplementasi zat besi-asam folat mingguan kepada remaja putri di sekolah, berdasarkan bukti bahwa zat besi dan asam folat yang diawasi yang diberikan seminggu sekali dapat membantu menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri. Tapi cakupannya masih rendah.

Tahun 2021, sebuah program apa yang disebut Aksi Bergizi (Aksi Bergizi) dibangun di atas program nasional dengan menyediakan suplementasi zat besi dan asam folat setiap minggu bagi remaja putri maupun laki-laki, sesi pendidikan gizi dan pesan kesehatan masyarakat untuk mendorong kebiasaan gizi yang baik. 

Pada tahun 2019-2020, hasil dari program Aksi Bergizi di Klaten, Jawa Tengah dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan perbaikan persepsi dan perilaku kunci terkait gizi di kalangan remaja, seperti peningkatan konsumsi zat besi dan asam folat, aktivitas fisik dan pola hidup sehat. asupan makanan. Mulai tahun ini, intervensi Aksi Bergizi diharapkan masuk dalam program nasional Sekolah Sehat.

Krisis pandemi covid-19 telah berdampak buruk pada program-program seperti Aksi Bergizi. Banyak layanan gizi yang diandalkan remaja sangat terganggu, dan hanya 40 persen puskesmas yang mampu mendistribusikan suplementasi zat besi dan asam folat kepada remaja putri selama masa pandemi. 

Sebuah survei online UNICEF terhadap lebih dari 6.000 remaja menemukan bahwa hampir 90 persen anak perempuan tidak mengonsumsi suplemen ini selama pandemi, yang dapat menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah gadis remaja yang anemia.

Hari Gizi Nasional 2022 ke-62 diperingati pada 25 Januari 2022 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengampanyekan aksi Cegah Stunting dan Obesitas. 

"Stunting dan obesitas masih menjadi permasalahan di dunia. Penting bagi kita, mencari, memahami, dan menerapkan pola makan teratur dengan gizi yang seimbang," kata Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Dhian Probhoyekti dalam konferensi pers Hari Gizi dan Makanan Nasional 2022 yang diikuti dari YouTube Kemenkes RI di Jakarta, Selasa.

Stunting masih menjadi permasalahan yang belum selesai di Indonesia. Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes, Dr. Dhian Probhoyekti mengatakan permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia. Bahkan permasalahan ini menjadi fokus secara global.

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020-2024, yakni 14 persen.

"Dampak masalah gizi stunting dan obesitas berdampak jangka pendek dan jangka panjang karena kedua masalah gizi ini menjadi indikator pembangunan kesehatan bangsa yang berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus," katanya dalam konferensi Hari Gizi Nasional ke-62, Selasa (18/1/2021), dikutip situs web Kemenkes.

Hal ini membutuhkan upaya bersama dari beberapa sektor -- kesehatan, pendidikan, agama dan kementerian dalam negeri dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) -- untuk mengarusutamakan gizi remaja ke dalam kebijakan, rencana, anggaran, pelaksanaan dan pemantauan program. Sektor swasta juga memiliki peran penting dalam menyediakan dan mempromosikan pilihan makanan yang lebih sehat.

Terpenting, remaja harus diberdayakan untuk menjadi aktor gizi. Meskipun krisis pandemi covid-19, diupayakan remaja turut memotivasi dan mendukung teman sebayanya untuk berolahraga dan makan sehat, secara langsung maupun melalui media sosial.

Dengan melibatkan remaja sebagai mitra, dapat membantu mereka menavigasi pilihan makanan kompleks yang mereka hadapi dan membuat keputusan yang lebih baik yang akan mengarah pada kehidupan yang lebih sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun