Dan akhirnya saya telah sampai, bahkan melewati beberapa hal yang saya anggap keputusan-keputusan ini, tapi tidak untuk mengamankan diri.Â
Kuputuskan untuk pulang setelah melewati pertimbangan yang cukup panjang dan ternyata tidak matang, membawa kecemasan untuk diri sendiri, dan "mungkin" membuat risih orang-orang sekitarku -- tentu terkecuali ibu dan bapak.
Saya  tiba dengan rasa cemas yang menggunung, padahal beberapa belas jam sebelumnya kecemasan ini masih mampu kubungkus rapat-rapat dengan perencanaan-perencanaan yang telah kubuat sebelum berangkat, semisal otak yang harus kupastikan tetap aktif mengawasi kalau-kalau tanganku bergerak baik itu disengaja maupun refleks.Â
Juga bagaimana mensiasati aktivitas-aktivitas seperti ke kamar mandi, bagaimana nantinya jika hendak berjemur yang katanya baik untuk daya tahan tubuh, makan dan cuci piring sendiri hingga menentukan cara tidur yang akan selalu kubarengi dengan niatan meminimalisir resiko.Â
Di luar dari hal-hal seperti itu, kupastikan akan lebih banyak diam. Tak lupa kuingatkan pada diri sendiri agar berpikiran yang sewajarnya saja.
Sekonyong-konyong bangunan perencanaan itu runtuh setiba dirumah saat terpaksa harus menahan diri mencium tangan bapak dan mencium kening ibu sebagai legitimasi bahwa lanangnya benar-benar telah pulang dimasa peceklik ini. Tiba-tiba saja pikiran akan resiko-resiko tumpah, dan tak terbendung hanya oleh sekedar berpikir positif.
Dan astaga, kabut tebal serasa memenuhi mataku. Berdiri beberapa meter sebagai tanda mengatur jarak, Bapak menghajarku dengan sorot yang tajam seolah Ia mendapati luapan perasaan yang kukepal, sedang Ibu, dengan senyum tersimpul mendekat lalu kutampik dengan mengambil beberapa langkah ke belakang. "Ya Tuhan, saya membahayakan mereka" batinku meringis. Tak ada percakapan.
Sesegera mungkin menuju kamar mandi membersihkan badan dan mencuci baju yang kukenakan sesuai protokol pencegahan. Â
Apalagi di batas Desa tadi, pasukan gugus tugas telah menghujaniku -- bukan menyemprot -- cairan disinfektan yang sebenarnya belum jelas apakah itu baik untuk kesehatan. Setelahnya masuk kamar mengamankan diri.
Ya, kamar. Seperti biasa setiap kutinggalkan, akan selalu kujumpai kamar ini dalam keadaan nyaris tanpa debu sebutir pun. Ibulah yang rutin membersihkannya, meskipun di rumah hanya ibu dan bapak, ruangan yang kurang lebih 2x3 meter ini tak pernah luput dari perhatian mereka.
"Wooww dan selamat datang lagi, Bung! wahahaha!" seolah disambut girang oleh kursi, meja baca, kasur, lemari, botol-botol minuman keras yang dijadikan hiasan.
Beberapa buah buku yang tempo hari kutinggalkan, gambar wajah Marx, Ernesto, Pram, Tan dan beberapa tokoh lain, hingga tumpukan kertas revisi skripsi. Tapi saya terlanjur terhuyung.
Sejenak mengingat pesan WhatsApp teman dengan nada "Weh jammoko dulu pulang, baek pi". astaga pulangko, masih hijau di kampung nah". "mu bahayakan orang di kampung kalo pulang ko". Saya menyesal, cemas, sesak kemudian *hening.
#
Saya menyesal, saya mengakui kesalahan, dan tanpa tedeng aling-aling, saya benar-benar berada dalam kepanikan yang luar biasa. Tidak ada cara lain selain mengurung diri di kamar, memang sekilas tampak berlebihan. Namun bagaimana lagi, protokol memvonisku sebagai ODP (orang dalam pantauan), sedang kecemasan menyeretku pada kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Itulah yang memaksaku menjalani hari-hari dengan waktu yang terasa begerak lebih lamban dalam masa karantina, diperparah dengan khawatir yang kian menjadi-jadi.
Banyak terjaga sepanjang malam, dan hanya mengintip matahari di selah papan setiap pagi. Satu hal yang tidak bolehku lewatkan hanyalah pagi, tepat ketika embun tebal jatuh pada bukit atau turun di seng-seng rumah di kampung kecil kami. Itu yang membuatku kadang melankolis.
Hingga kembali kehilangan pijakan dalam menyeimbangkan antara waspada, panik, dengan perasaan bersalah. Bagaimana menyikapinya dengan bijak jika kau sudah mulai berfikir bahwa wabah itu ada di tubuhmu, pertama akan menghabisi Ibu dan Bapakmu, kemudian virus yang lain kau simpan dibelakang rumah dan akan mengancam sampai menghabisi orang se-desamu.
"Huaah", saya pembunuh bahkan lebih menjijikkan dari pelaku bom bunuh diri. Kelak diantara tetangga-tetangga yang selamat, mereka akan mengenangku sebagai penyebab dari kematian orang di desa, menciptakan ketakutan.
Sayalah yang membuat orang-orang di desa lari ke hutan- hutan meninggalkan harta benda dan kebahagian yang mereka bangun selama berpuluh-puluh tahun. Lebih parah dari itu, suatu saat keluarga kami masih menanggung itu dan dicap sebagai pembawa petaka.
"Yaah Tuhan, jikalau hanya kehilangan nafas, jantung yang berhenti bekerja kemudian saya putus nyawa, saya sangat rela". Atau sekiranya kematian adalah kembali kepangkuan-Mu, saya bersedia kembali tanpa Engkau pangku asalkan tidak menjadi bencana bagi orang-orang sekitarku. *sekali lagi hening.
#
Sepertinya saya depresi karena terlampau cemas. Mungkin juga sudah mendekati gangguan kejiwaan. Tapi itu,... bagaimana jadinya jika hanya teledor lantas berbuah petaka bagi orang lain.
Saya memang masih bugar secara fisik, gejala-gejala penyakit seperti yang menjadi ukuran pun tak saya rasakan, bahkan saya mampu menghabiskan berbatang-batang rokok dan bergelas-gelas kopi dalam waktu yang terbilang singkat.
Namun sayang, itu belum mampu menjadi jaminan saya tidak terinfeksi, sungguh celaka jika virus ini serupa bom waktu di tubuhku dan hanya menunggu durasi untuk meledak.
Atau apapun itu, saya yang pecundang ini bakal menciptakan kengerian pada orang-orang sekitarku. "Hei!, ingat, yang kau bahayakan itu adalah para bapak tani yang rela sejak subuh hingga petang bertelanjang kaki di ladang, bergelut dengan tanah demi harapan taraf hidup yang lebih layak dalam masa serba merosot ini.
Ibu-ibu tani yang bermandi peluh di bawah terik, tulus hati tangan layunya tercabik-cabik duri di kebun demi memastikan tungku tetap berasap.
Juga anak-anak mereka, yang selalu riuh menyambut Ibu-bapak tani di rumah, memeragakan jenis permainan yang dimainkan pada siang hari, sembari tetap menyimpan angan-angannya menyantap ayam goreng tepung, seperti yang pernah ia lihat di Tv. Semua itu sekelap mata sirna hanya karena kau yang serampangan".
"Bagaimana jika bunuh diri saja sebelum semua terlambat?" kupikir ini bisa menjadi solusi atau ini adalah harga setimpal, harus ku bayar atas sikapku yang pengecut. Iya, menghabisi nyawa sendiri. Mungkin minum racun tidak terlalu membuatku menderita dibanding cara yang lain. Tapi,.... bukankah lebih nahas jika ternyata memang saya telah terinfeksi, dan orang-orang yang mengurus jenazahku tidak mewaspadai itu ?!.
Oh, tidak, tidak. Sebelum keracunan, saya bisa meninggalkan pesan di kertas dalam ukuran besar di dinding berhadapan dengan pintu.
Bunyinya mungkin kurang lebih akan seperti ini; "hormatku pada ibu, hormatku pada bapak. terpaksa memilih ini, saya takut menjadi beban dan membahayakan ibu dan bapak. saya khawatir menjadi bencana bagi orang di desa.Â
"Saya tidak tahu, telah tertular virus atau tidak, tapi ini terbaik sebelum semuanya terlambat, terlalu sulit mendapatkan diagnosis dokter di kampung. mohon untuk merelakan ini, sekiranya ada yang sudi mengurus mayatku, tidak perlu dengan ritual agama, demi keselamatan bersama".
Toh, pada dasarnya kematian adalah jalan sunyi masing-masing. Seperti Ernest Hemingway yang memilih menembak kepalanya sendiri setelah berucap "selamat malam, kucingku" pada istrinya.
Atau, jika harus dieksekusi mati atas ancaman dan resiko yang mungkin akan kutimbulkan, saya mungkin akan meniru Danton tokoh revolusi Paris yang berpesan "tunjukkan kepalaku kepada orang ramai itu; Ada nilainya," sebelum dipancung.
Untuk  mengobati rasa sakit, saya cukup berusaha membayangkan suasana saat Engles pada pemakaman Marx yang berpidato "Pada 14 Maret pukul dua lebih-empat puluh lima menit-siang, seorang pemikir besar telah berhenti berpikir.Â
Saat itu dia baru saja dibaringkan, dan ketika kami kembali melihatnya dua menit kemudian, kami mendapati dia sedang tidur di kursinya dengan tenang ... untuk selamanya".
Hehe, tapi itu tidak perlu untukku. Dan saya bukan siapa-siapa untuk dikenang. "tok..tok..tok" pintu diketuk. "karantina hari ke enam belas" suara lembut ibu dari luar, memintaku keluar kamar, dan mengakhiri isolasi-isolasi ini. Jam menunjukkan pukul enam pagi, kali pertama saya menikmati kopi pagi di teras rumah setelah 16 hari terakhir.
"Ketakutan itu nyata. Ketakutan itu abadi", ucapku dalam hati  berulang-ulang, hingga matahari telah dua-tiga jengkal diatas pohon kelapa disamping rumah.
Di depan teras , seorang adik mungkin 5 tahun, berjalan. Menoleh ke arahku, diam sejenak, lalu oleh baju yang dikenakannya, ia menutup hidung dan mulutnya kemudian lari. Hehe selamat pagi, Dik!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI