Beberapa buah buku yang tempo hari kutinggalkan, gambar wajah Marx, Ernesto, Pram, Tan dan beberapa tokoh lain, hingga tumpukan kertas revisi skripsi. Tapi saya terlanjur terhuyung.
Sejenak mengingat pesan WhatsApp teman dengan nada "Weh jammoko dulu pulang, baek pi". astaga pulangko, masih hijau di kampung nah". "mu bahayakan orang di kampung kalo pulang ko". Saya menyesal, cemas, sesak kemudian *hening.
#
Saya menyesal, saya mengakui kesalahan, dan tanpa tedeng aling-aling, saya benar-benar berada dalam kepanikan yang luar biasa. Tidak ada cara lain selain mengurung diri di kamar, memang sekilas tampak berlebihan. Namun bagaimana lagi, protokol memvonisku sebagai ODP (orang dalam pantauan), sedang kecemasan menyeretku pada kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Itulah yang memaksaku menjalani hari-hari dengan waktu yang terasa begerak lebih lamban dalam masa karantina, diperparah dengan khawatir yang kian menjadi-jadi.
Banyak terjaga sepanjang malam, dan hanya mengintip matahari di selah papan setiap pagi. Satu hal yang tidak bolehku lewatkan hanyalah pagi, tepat ketika embun tebal jatuh pada bukit atau turun di seng-seng rumah di kampung kecil kami. Itu yang membuatku kadang melankolis.
Hingga kembali kehilangan pijakan dalam menyeimbangkan antara waspada, panik, dengan perasaan bersalah. Bagaimana menyikapinya dengan bijak jika kau sudah mulai berfikir bahwa wabah itu ada di tubuhmu, pertama akan menghabisi Ibu dan Bapakmu, kemudian virus yang lain kau simpan dibelakang rumah dan akan mengancam sampai menghabisi orang se-desamu.
"Huaah", saya pembunuh bahkan lebih menjijikkan dari pelaku bom bunuh diri. Kelak diantara tetangga-tetangga yang selamat, mereka akan mengenangku sebagai penyebab dari kematian orang di desa, menciptakan ketakutan.
Sayalah yang membuat orang-orang di desa lari ke hutan- hutan meninggalkan harta benda dan kebahagian yang mereka bangun selama berpuluh-puluh tahun. Lebih parah dari itu, suatu saat keluarga kami masih menanggung itu dan dicap sebagai pembawa petaka.
"Yaah Tuhan, jikalau hanya kehilangan nafas, jantung yang berhenti bekerja kemudian saya putus nyawa, saya sangat rela". Atau sekiranya kematian adalah kembali kepangkuan-Mu, saya bersedia kembali tanpa Engkau pangku asalkan tidak menjadi bencana bagi orang-orang sekitarku. *sekali lagi hening.
#