Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Karantina, dari Kecemasan, Penyesalan, dan Bayang Kematian

7 Mei 2020   05:12 Diperbarui: 8 Mei 2020   01:09 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Sepertinya saya depresi karena terlampau cemas. Mungkin juga sudah mendekati gangguan kejiwaan. Tapi itu,... bagaimana jadinya jika hanya teledor lantas berbuah petaka bagi orang lain.

Saya memang masih bugar secara fisik, gejala-gejala penyakit seperti yang menjadi ukuran pun tak saya rasakan, bahkan saya mampu menghabiskan berbatang-batang rokok dan bergelas-gelas kopi dalam waktu yang terbilang singkat.

Namun sayang, itu belum mampu menjadi jaminan saya tidak terinfeksi, sungguh celaka jika virus ini serupa bom waktu di tubuhku dan hanya menunggu durasi untuk meledak.

Atau apapun itu, saya yang pecundang ini bakal menciptakan kengerian pada orang-orang sekitarku. "Hei!, ingat, yang kau bahayakan itu adalah para bapak tani yang rela sejak subuh hingga petang bertelanjang kaki di ladang, bergelut dengan tanah demi harapan taraf hidup yang lebih layak dalam masa serba merosot ini.

Ibu-ibu tani yang bermandi peluh di bawah terik, tulus hati tangan layunya tercabik-cabik duri di kebun demi memastikan tungku tetap berasap.

Juga anak-anak mereka, yang selalu riuh menyambut Ibu-bapak tani di rumah, memeragakan jenis permainan yang dimainkan pada siang hari, sembari tetap menyimpan angan-angannya menyantap ayam goreng tepung, seperti yang pernah ia lihat di Tv. Semua itu sekelap mata sirna hanya karena kau yang serampangan".

"Bagaimana jika bunuh diri saja sebelum semua terlambat?" kupikir ini bisa menjadi solusi atau ini adalah harga setimpal, harus ku bayar atas sikapku yang pengecut. Iya, menghabisi nyawa sendiri. Mungkin minum racun tidak terlalu membuatku menderita dibanding cara yang lain. Tapi,.... bukankah lebih nahas jika ternyata memang saya telah terinfeksi, dan orang-orang yang mengurus jenazahku tidak mewaspadai itu ?!.

Oh, tidak, tidak. Sebelum keracunan, saya bisa meninggalkan pesan di kertas dalam ukuran besar di dinding berhadapan dengan pintu.

Bunyinya mungkin kurang lebih akan seperti ini; "hormatku pada ibu, hormatku pada bapak. terpaksa memilih ini, saya takut menjadi beban dan membahayakan ibu dan bapak. saya khawatir menjadi bencana bagi orang di desa. 

"Saya tidak tahu, telah tertular virus atau tidak, tapi ini terbaik sebelum semuanya terlambat, terlalu sulit mendapatkan diagnosis dokter di kampung. mohon untuk merelakan ini, sekiranya ada yang sudi mengurus mayatku, tidak perlu dengan ritual agama, demi keselamatan bersama".

Toh, pada dasarnya kematian adalah jalan sunyi masing-masing. Seperti Ernest Hemingway yang memilih menembak kepalanya sendiri setelah berucap "selamat malam, kucingku" pada istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun